JAKARTA (Arrahmah.com) – Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) 1 tahun penjara terhadap terdakwa kasus penyiraman penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dinilai telah mencederai fungsi penegakan hukum dan tidak sesuai dengan fakta hukum.
Hal tersebut disampaikan Direktur HRS Center, Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH. Selain itu, lanjutnya, juga tidak sesuai dengan ajaran (prinsip) ilmu hukum.
“Perbuatan pelaku penyerangan terhadap Novel Baswedan tidak bisa didasarkan pada alasan dengan tidak sengaja. Kesengajaan terhadap perbuatan dan menimbulkan suatu akibat tidak bisa dipisahkan,” jelas Dr. H. Abdul Chair Ramadha, lansir Harian Terbit, Ahad (14/6/2020).
Abdul Chair menjelaskan, suatu akibat yang walaupun tidak diinginkan oleh pelaku, tetap itu harus dipertanggungjawabkan.
Menurutnya, kesengajaan adalah tanda adanya kesalahan sebagai unsur subjektif yang ada pada pelaku. Akibat perbuatan dalam kasus a quo justru menjadi dasar penuntutan dengan menggunakan ancaman hukum yang terberat, bukan sebaliknya.
“Alasan pelaku untuk memberikan pelajaran dan oleh karenanya menjadi dalil tuntutan Penuntut Umum adalah alasan yang sesat. Tidak pada tempatnya alasan tersebut didalilkan oleh Penuntut Umum,” tegasnya.
Sementara itu, Tim Advokasi Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana menyebut tuntutan 1 tahun terhadap Novel terkonfirmasi adanya sandiwara hukum yang selama ini dikhawatirkan oleh masyarakat.
Oleh karena itu, lanjutnya, tuntutan 1 tahun terhadap dua terdakwa penyiram Novel, tidak hanya sangat rendah, tetapi juga memalukan serta tidak berpihak pada korban kejahatan. Alih-alih dapat mengungkapkan fakta sebenarnya, justru penuntutan tidak bisa lepas dari kepentingan elit mafia korupsi dan kekerasan.
Kurnia mengungkapkan, sejak awal pihaknya mengemukakan terdapat kejanggalan dalam persidangan 2 penyiram Novel. Antara lain saksi-saksi yang dianggap penting tidak dihadirkan jaksa di persidangan.
Dalam pantauan Tim Advokasi Novel Baswedan setidaknya terdapat tiga orang saksi yang semestinya dapat dihadirkan di Persidangan untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya.
Tiga saksi itu pun juga diketahui sudah pernah diperiksa oleh Penyidik Polri, Komnas HAM, serta Tim Pencari Fakta bentukan Kepolisian. Namun, jaksa menganggap kesaksian mereka tidak memiliki nilai penting dalam perkara ini.
“Padahal esensi hukum pidana itu adalah untuk menggali kebenaran materiil, sehingga langkah jaksa justru terlihat ingin menutupi fakta kejadian sebenarnya,” jelasnya.
Menurut Kurnia, persidangan kasus ini juga menunjukan hukum digunakan bukan untuk keadilan, tetapi sebaliknya hukum digunakan untuk melindungi pelaku dengan memberi hukuman “alakadarnya”, menutup keterlibatan aktor intelektual, mengabaikan fakta perencanaan pembunuhan yang sistematis, dan memberi bantuan hukum dari Polri kepada pelaku.
(ameera/arrahmah.com)