TUNIS (Arrahmah.com) – Abu Hassan dan anak remajanya, Marwan adalah pendatang baru di ibukota Tunisia. Duduk di lobi Hotel Pasha di jantung pusat kota Tunis, pasangan tersebut meninggalkan rumah mereka di Libya dua hari sebelumnya. Kini, insinyur berusia 46 tahun, istri dan putra bungsu mereka hanyalah segelintir dari ribuan warga Libya yang telah lolos dari kekerasan politik yang tengah melanda negara mereka.
“Sangat sulit berada jauh dari rumah kami, anggota keluarga dan teman-teman. Aku meninggalkan anak berusia 20 tahun untuk mengurus rumah dan pertanian kami,” ujar Abu Hassan yang meminta nama lengkapnya tidak disebutkan di media, kepada Al Jazeera.
Meskipun keluarga Abu Hassan berencana untuk pindah ke Skotlandia, ia mengatakan bahwa sebagian besar warga Libya tidak memiliki sarana keuangan untuk melanjutkan perjalanan dari Tunisia, sementara yang lain masih terjebak di Libya dalam keadaan buruk.
Mencapai Tunisia saat ini hampir tidak mungkin, setelah pemerintah negara itu menyegel penyeberangan perbatasan utama dengan Libya pada Jum’at (1/8/2014) lalu, setelah ribuan warga Mesir dan warga dari negara lainnya menyerbu melintasi perbatasan dan dilarang memasuki Tunisia. Namun pada Sabtu (2/8), Tunisia membuka sebentar pintu perbatasannya sehingga sekitar 200 orang bisa memasuki Tunisia.
Menteri Luar Negeri Tunisia, Mongi Hamdi mengklaim bahwa “situasi ekonomi negara tidak stabil dan kami tidak bisa mengatasi ratusan ribu pengungsi,” menambahkan bahwa pemerintah akan menutup perbatasan jika kepentingan nasional membutuhkannya.
Hamdi menjelaskan bahwa antara 5.000-6.000 orang telah memasuki negara itu setiap hari sejak kekerasan di Libya dimulai.
Abu Hassan mengatakan bahwa penutupan perbatasan akan meninggalkan ribuan orang akan hidup dalam keadaan buruk di mana pertempuran terus melanda kota-kota di barat dan timur Tripoli.
Menurut laporan Al Jazeera mengutip Kementerian Kesehatan Libya, sedikitnya 97 orang telah tewas dalam bentrokan di Libya sejauh ini.
“Pemerintah tidak hadir sama sekali,” ujar Abu Hassan yang berasal dari Tripoli. “Ini semua dikendalikan oleh panglima perang. Pertempuran ini hanya mengenai siapa yang dapat mengontrol kekuasaan dan sumber daya dan uang,” menurut klaimnya.
Pertempuran telah menyebabkan pemadaman listrik di banyak daerah di dan sekitar Tripoli. Mereka yang belum memiliki sarana untuk meninggalkan negara itu, mencari perlindungan di bagian lain yang lebih tenang dari ibukota dan wilayah Libya barat.
“Terdapat kekurangan bahan bakar, obat-obatan dan perlengkapan umum karena gudang dan pasokan daerah cenderung berada di tempat di mana pertempuran berlangsung,” ujar Magdalena Mughrabi, peneliti Amnesti Internasional di Libya. (haninmazaya/arrahmah.com)