(Arrahmah.com) – Penyebab seringnya Densus 88 salah tangkap diduga karena Densus seperti sedang kejar setoran. Densus 88 ingin membuktikan kepada publik bahwa terorisme masih ada sehingga Densus 88 masih bisa melakukan tindakan dan anggaran masih perlu dialirkan. Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri dituding melakukan banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia, mulai salah tangkap, salah gerebek hingga salah tembak. Kita bisa bayangkan saat mereka digerebek, lalu kaget dan spontan lari. Bisa jadi, mereka tewas dieksekusi dengan alasan diduga membahayakan.
Kasus Siyono menjadi pelajaran berharga bagi Polri. Sebab, kasus ini sudah memicu keberanian publik untuk melakukan autopsi ulang terhadap korban kekerasan. Autopsi ulang ini menunjukkan bahwa independensi dan profesionalisme Tim Forensik Polri makin diragukan publik. Indonesia Police Watch (IPW) menilai, kasus autopsi ulang jenazah Siyono menjadi pukulan telak bagi profesionalisme Polri. “Selama ini sudah banyak keluhan publik terhadap prilaku Densus 88 yang cenderung menjadi eksekutor tapi tidak pernah ada evaluasi yang menyeluruh terhadap kinerja Densus dan tidak ada pengawasan yang maksimal,” kata Ketua Presidium IPW, Neta S. Pane di Jakarta, Kamis (14/3/2016).
Terkait dengan meninggalnya Siyono (39) warga Dusun Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Klaten saat dibawa Densus 88, Jumat (11/3/2016), perlu disampaikan beberapa tanggapan sebagai berikut:
Pertama, bahwa saksi di TKP menyatakan korban telah dijemput paksa oleh Densus 88 dalam kondisi sehat wal afiat, Selasa (8/3/2016) tanpa sakit tanpa luka. Korban dijemput setelah Shalat Maghrib di Mesjid dekat rumah dan saat ini korban telah dinyatakan tewas oleh kepolisian. Alasan korban tewas, menurut Karo Penmas Polri Brigjen Agus Rianto, adalah karena kelelahan setelah berkelahi dengan Densus 88 di dalam mobil.
Kedua, tentu publik tidak mudah percaya dengan perubahan karakter Densus 88 yang tiba-tiba menjadi tidak ganas. Selama ini, semua orang juga tahu akan keganasan Densus 88 saat bekerja. Tidak ada ceritanya, ada terduga yang dapat lolos dari kawalan Densus. Setelah ditangkap dengan cara kasar, biasanya terduga langsung diborgol, dilakban mukanya. Bahkan, kaki dan tangan terduga, 100% tidak mungkin dapat bergerak bebas, karena memborgol kaki dan tangan adalah standard baku mereka.
Jadi kalau sampai ada terduga lepas dari kawalan, apalagi berani melawan Densus seperti Siyono, ini sebuah fenomena baru. Boro-boro berkelahi. Terduga menggerakkan tangan saja, kemungkinan sudah ditembak mati karena dianggap melawan. Ini adalah kejahatan extra ordinary crime.Kejahatan tingkat tinggi, yang resiko dari kejahatannya dapat membunuh banyak orang. Maka dari itu, kebiasaan Densus, adalah bermain keras dan ganas—jika tidak mau kita sebut kejam. Densus sering memberlakukan diskresi. Korban dari pengadilan di luar Gedung Pengadilan juga sudah banyak.
Ketiga, kematian Siyono, jelas menyisakan banyak pertanyaan. Oleh karena itu, patut dilakukan pengusutan serius terhadap operasi Densus ini. Jika perlu, dilakukan audit total terhadap satuan khusus anti terorisme ini. Kenapa harus diaudit, karena kenaikan anggaran Rp. 1,9 Triliun untuk Densus 88, diakui Luhut Panjaitan adalah untuk kenaikan gaji 400 Anggota Densus, Peremajaan alat, penguatan intelijen, dan sebagainya. Namun jika kenaikan tersebut tidak menambah keahlian Densus dalam dinas, maka anggaran tersebut perlu diaudit dan kalau perlu, selama audit, operasi Densus 88 sementara dikembalikan ke Brimob terlebih dahulu.
Keempat, cara-cara Densus menggeledah perlu dievaluasi. Banyaknya pelanggaran di lokasi penggerebekan termasuk di TK Roudhatul Athfal Klaten. Penggeledahan disaat anak-anak TK yang sedang belajar di lokasi, tidaklah perlu. Jika fungsi intelijen akan ditingkatkan dengan kenaikan anggaran, maka cara-cara brutal seperti itu jelas tidak elok.
Dr. Sri Yunanto, Dosen Pemikiran dan Gerakan Politik Islam, Universitas Indonesia dalam Forum Komunikasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah yang merupakan kepanjangan BNPT di tingkat provinsi dalam diskusi penanggulangan terorisme di Solo pada Sabtu (20/9/2014) menjelaskan, siapa saja orang yang berpikiran akan menegakkan khilafah maka orang tersebut termasuk radikal karena di negara ini sudah sepakat dengan Pancasila.
Sering kita dengar argumentasi defensif bahwa ketidakadilan penyikapan kekerasan di Indonesia juga menjadi penyebab lahirnya teror kaum radikal. Namun tanda Tanya besarnya, bisa jadi berbagai tindakan terorisme tersebut adalah rekayasa mereka. Sesungguhnya pemimpin itu tidak mengkhianati rakyatnya dan sesungguhnya kriminalitas Negara melalui berbagai UU liberal telah nyata teror Negara atas rakyat Indonesia.
Telah berlangsung tradisi bahwa barat dan antek-anteknya bertemu di atas kepentingan meraih capaian mulia milik umat ini. Mereka mengotorinya agar berubah dari kenikmatan menjadi bencana karena tidak adanya kesadaran dan keikhlasan. Dan sekarang mereka sibuk untuk mempertahankan dan memenangkan ide mereka, kepentingan mereka dan tokoh-tokoh mereka. Ada banyak pemimpin dunia dan di negeri ini yang dengki kepada Islam. Mereka menganggap Islam sebagai sumber terorisme. Sungguh aneh dan mengherankan, Densus 88 yang dibiayai dari harta rakyat bertindak hina dan pengecut. Ini adalah adat kebiasaan mereka sejak umat ini diuji dengan keberadaan mereka. Mereka ditemani oleh senjata, mereka hidup bersama dengan senjata untuk membunuh umat Islam.
Penulis: Ainun Dawaun Nufus (Muslimah HTI Kediri)
(*/arrahmah.com)