ACEH (Arrahmah.com) – Saat gelombang tsunami dahsyat menghantam Aceh pada tahun 2004, warga Aceh mendapati Masjid Raya Baiturrahman tetap berdiri kokoh di tengah puing-puing bangunan yang hancur karena terjangan tsunami yang melanda Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Menghadapi kehancuran setelah tsunami, sejumlah besar ummat Islam Aceh mulai berupaya untuk kembali kepada Islam, dan mengatakan bahwa bencana dahsyat tersebut merupakan ujian dari Allah yang membawa berkah di tengah rasa pilu yang melanda.
“Orang Aceh memiliki cara hidup yang baru sekarang,” Ramli Sulaiman, mantan pejuang gerakan separatis Aceh yang bertugas di parlemen provinsi, mengatakan kepada Wall Street Journal, sebagaimana dilansir oleh onislam.net, Kamis (25/12/2014).
Siapapun tidak akan pernah lupa dengan tragedi 26 Desember 2004, saat tsunami dahsyat menghantam Aceh dan menyebabkan sekitar 169.000 orang tewas dan 600.000 kehilangan rumah mereka. Lebih dari 40.000 orang tewas di tempat lain, terutama di Thailand, India dan Sri Lanka.
Bencana ini juga menghancurkan 141.000 rumah di Aceh, menyebabkan kerusakan senilai 4.5 milyar dollar dan mengakibatkan seperempat dari penduduk provinsi itu kehilangan mata pencaharian.
Gambar dari kehancuran di sekitar Lampuk, di mana masjid raya Aceh merupakan satu-satunya bangunan yang masih berdiri di tengah puing-puing, beredar di seluruh dunia pada hari-hari setelah bencana.
Rumah, sekolah, bisnis dan pasar hanyut sejauh tujuh kilometer (empat mil), dan lebih dari satu dari lima penduduk desa kehilangan nyawa mereka.
Di tengah kepiluan, rakyat Aceh mencoba bertahan dan tabah dan mengatakan bahwa tsunami merupakan ujian dari Allah yang membawa berkah, termasuk berakhirnya hampir tiga dekade perang sipil. Bantuan senilai 5 miliar dollar dari berbagai negara juga dikirim ke Aceh.
Selain itu, rakyat Aceh meminta untuk menerapkan hukum syariah, membuat Aceh satu-satunya provinsi di Indonesia yang menjalankan berbagai hukum berdasarkan syariah Islam.
Disebut sebagai “Serambi Mekah,” Aceh adalah titik terdekat Indonesia ke Timur Tengah dan tempat di mana para pedagang Arab pertama kali tiba, membawa Islam Aceh.
“Agama dan Aceh seperti daging dan darah,” kata Gubernur Zaini Abdullah.
Pemerintah provinsi di daerah itu telah mengadopsi serangkaian peraturan yang mengatur pelaksanaan Syariah Islam di Aceh.
Dalam rangka menerapkan hukum-hukum Islam, polisi agama di Aceh, Wilayatul Hisbah, beroperasi secara independen dari penegakan hukum konvensional, untuk menegakkan aturan.
Petugas polisi agama berpatroli di jalan-jalan, meminta perempuan muda untuk mengenakan pakaian longgar, meminta pria untuk menghadiri masjid saat waktu shalat dan menegur pasangan yang belum menikah untuk tidak duduk berdekatan.
“Tujuan kami adalah agar orang-orang memiliki perilaku yang baik, memiliki pekerjaan yang baik, selalu berusaha untuk menjalani kehidupan yang lebih baik bagi diri mereka sendiri,” kata Syahrizal Abbas, Kepala Badan Islam Syariah di Aceh.
(ameera/arrahmah.com)