WASHINGTON (Arrahmah.id) — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyatakan warga Palestina tidak akan memiliki hak untuk kembali ke Gaza di tengah rencana pengambilalihan AS. Trump menggambarkan proposalnya sebagai “pengembangan real estate untuk masa depan.”
Dalam wawancara dengan Fox News Channel yang dikutip The Guardian (10/2/2025), Trump mengatakan rencana tersebut mencakup pembangunan perumahan bagi warga Palestina di luar Gaza, dengan kemungkinan adanya lima hingga enam lokasi baru. Namun, dunia Arab dan komunitas internasional telah menolak rencana tersebut secara tegas.
“Tidak, mereka tidak akan kembali, karena mereka akan mendapatkan perumahan yang jauh lebih baik,” ujar Trump ketika ditanya apakah warga Palestina tetap memiliki hak untuk kembali ke wilayah tersebut, yang sebagian besar telah hancur akibat serangan militer Israel sejak Oktober 2023.
Menurut Trump, kondisi di Gaza saat ini tidak memungkinkan bagi warga untuk kembali dalam waktu dekat.
“Saya berbicara tentang membangun tempat permanen bagi mereka, karena jika mereka harus kembali sekarang, akan butuh waktu bertahun-tahun sebelum bisa dihuni kembali,” tambahnya.
Trump pertama kali mengungkapkan rencana ini dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pekan lalu. Pernyataan tersebut langsung memicu kemarahan dari warga Palestina dan negara-negara Timur Tengah.
Menteri Luar Negeri Mesir Badr Abdelatty segera terbang ke Washington untuk bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio. Sementara itu, Raja Yordania Abdullah II dijadwalkan bertemu dengan Trump pada Selasa (11/2) untuk membahas masalah ini.
Trump menyatakan bahwa ia akan membangun “komunitas yang indah” bagi lebih dari dua juta warga Palestina yang saat ini tinggal di Gaza.
“Bisa lima, enam, bisa juga dua. Tapi kami akan membangun komunitas yang aman, sedikit jauh dari tempat mereka berada sekarang, di mana semua bahaya ini terjadi,” katanya.
Trump juga menyebut bahwa proyek ini harus dilihat sebagai “pengembangan real estate untuk masa depan.” Ia bahkan menyebut bahwa Gaza bisa diubah menjadi “Riviera Timur Tengah.”
Rencana Trump mendapatkan kecaman luas, termasuk dari negara-negara Arab dan sekutu Eropa. Kanselir Jerman Olaf Scholz menyebut rencana ini sebagai “skandal” dan menegaskan bahwa pemindahan paksa warga Palestina adalah “tidak dapat diterima dan melanggar hukum internasional.”
Sementara itu, Netanyahu menyambut baik rencana Trump, menyebutnya sebagai “visi yang jauh lebih baik bagi Israel.”
Namun, rencana tersebut juga mengancam gencatan senjata enam minggu antara Israel dan Hamas di Gaza. Jika dilanjutkan, kebijakan ini berpotensi memperburuk situasi di wilayah yang telah dilanda perang sejak Oktober tahun lalu.
Trump tetap yakin bahwa ia dapat meyakinkan Mesir dan Yordania-dua negara penerima bantuan militer besar dari AS-untuk menerima rencananya.
“Saya pikir saya bisa membuat kesepakatan dengan Yordania. Saya pikir saya bisa membuat kesepakatan dengan Mesir. Anda tahu, kami memberikan mereka miliaran dan miliaran dolar setiap tahun,” katanya. (hanoum/arrahmah.id)