(Arrahmah.com) – Donald Trump, kandidat presiden AS dari kubu Republik dengan slogan kampanye Buat Amerika Hebat Lagi (Make America Great Again) akhirnya menjadi pemenang di Pilpres AS. Kemenangan Trump berbeda dengan prediksi, polling dan analisa pakar politik serta sosial. Meski demikian, peristiwa ini dapat dimengerti. Ketika “American Dream” di AS pudar dan tingkat kepercayaan publik kepada lembaga sosial seperti presiden dan Kongres menurun drastis, maka wajar jika suatu hari kemarahan publik akan meledak.
Apakah kebijakan Pemerintah AS akan berubah setelah dipegang Trump? Dalam pidato kemenangannya, Trump mengajak seluruh potensi masyarakat untuk sama-sama mewujudkan mimpi Amerika menjadi yang paling kuat di dunia. “Saya melihat jutaan pria dan wanita dari berbagai latar belakang yang memiliki potensi luar biasa untuk menjadikan Amerika tak tersaingi,” kata Trump. Trump juga berjanji membangun ekonomi AS menjadi tak tersaingi. Dia akan mewujudkan pembangunan jembatan, sekolah, jalan raya, dan infrastruktur pendukung lainnya.
Presiden boleh datang dan pergi, kebijakan mungkin berubah, tetapi tidak akan ada perubahan yang benar-benar nyata (real change). Menurut tradisi politik di Amerika, presiden terpilih setelah menang di pemilu mulai melupakan sebagian janjinya atau dengan berbagai dalih seperti konspirasi kubu oposisi, enggan melaksanakan janjinya. Presiden Amerika saat ini, Barack Obama di tahun 2008 berhasil menang di pemilu setelah mengumbar janji-janji seperti penutupan penjara Guantanamo, menghindari perang lintas batas dan menyelesaikan isu imigran gelap. Namun tidak ada satu pun janjinya yang terealisasi. Oleh karena itu, nasib janji-janji Trump juga tidak akan jauh dengan pendahulunya.
Dalam kebijakan politik, di bawah kepemimpinan Barack Obama, Pemerintah AS juga tidak akan keluar dari khittah politik luar negeri. Mereka akan tetap menjaga dominasinya atas berbagai wilayah di dunia ini untuk kepentingan politik dan ekonomi AS. Jadi, Obama tidak akan berbeda dengan presiden sebelumnya. Pemerintah AS selalu berupaya melebarkan sayap mereka ke negara-negara lain. Dengan cara itulah, negara AS selalu mencari cara untuk mempertahankan dominasi di dunia dan terus melanjutkan agenda eksploitasi kapitalisnya.
AS sejauh ini merupakan negara dengan ekonomi terbesar di dunia dan sebuah bangsa degan teknologi paling maju, dan memiliki pangkalan-pangkalan militer di seluruh dunia untuk melindungi kepentingan-kepentingannya. Namun, perang selama satu dekade menjadikan AS mengalami pendarahan hingga membuatnya sekarat dan hal ini telah menyebabkan munculnya tantangan-tantangan yang lebih besar, lebih dalam dan lebih luas bagi AS di berbagai wilayah di dunia yang telah disimbolkan sebagai kebangkitan ‘negara-negara sisa’ (the rest).
Negara-negara yang mampu bersaing dengan AS adalah Rusia, Inggris, Perancis dan Jerman; keempat negara itu memiliki ambisi internasional di seluruh dunia. Rusia dalam dekade terakhir telah berhasil mendapatkan kontrol atas sumber daya mineral dan utilitas dan membuang banyak oligarki yang diuntungkan dari pecahnya Uni Soviet. Dengan cadangan energi terbesar dunia yang dimilikinya, negara itu saat ini sedang mengembangkan militernya dan bersaing secara langsung dengan Amerika Serikat di wilayah di mana hegemoni AS selama hampir satu dekade tidak tersaingi.
Yang jelas, AS tetaplah Aggressor State, pemerintah AS yang didukung oleh medianya dan setiap pemangsa dalam Kongres yang telah mengambil setiap kesempatan untuk membersihkan konsep Islam ‘Khilafah’ dan merusaknya dalam pikiran umat Islam dan non-Muslim. Pertempuran ideologis di wilayah tersebut dan di seluruh dunia menjadi semakin meninggi. setelah perang satu dekade dan dengan pasukan AS yang menderita kelelahan perang. Konflik di Timur Tengah yang direkayasa AS telah menimbulkan mimpi buruk yang membebani pemerintah Amerika secara berturut-turut. Secara budaya, Barat khususnya AS akan menggunakan media massa untuk membawa pandangannya dan mengekspor ide-ide kapitalisme liberal kepada dunia Islam.
Sikap Eropa sendiri tidak hanya menyerang Amerika secara politik di negara-negara Arab yang sedang dilanda oleh pemberontakan rakyat, tetapi juga aktif menjadi pesaing Amerika terkait isu sentral di Timur Tengah, yaitu masalah Palestina. Eropa memanfaatkan kegagalan Amerika untuk memberikan tekanan pada para pemimpin entitas Yahudi agar mereka menghentikan aktivitas pembangunan pemukiman. Dari berbagai penilaian itu disimpulkan bahwa sikap “Israel” terhadap konflik “Israel” Palestina telah mempengaruhi posisi Washington di wilayah tersebut. Bahkan para pemimpin antek Arab semakin khawatir bahwa Amerika Serikat tidak mampu mengendalikan Israel. Konstelasi belum berubah, Negara Yahudi Israel dan Inggris yang bersamanya tidak dapat melakukan tindakan apapun secara mandiri tanpa dukungan sikap dari Amerika. Mengingat, hak veto AS tetap menentukan dan mendominasi setiap keputusan yang akan diambil oleh negara Yahudi atau negara-negara besar Eropa, seperti Perancis atau Inggris.
Amerika tidak berniat untuk menggantikan rezim-rezim despotik itu, melainkan berusaha menempatkan agen-agennya sebagai rezim-rezim sementara sambil membuat alasan-alasan palsu tentang kebebasan dan demokrasi di seluruh dunia. Amerika dengan bermodal “Doktrin Truman” mulai melanjutkan mencabut kebebasan Dunia Arab dari para tiran dan kemampuan untuk memerintah diri sendiri. Negara itu secara diam-diam menopang rezim-rezim itu agar penduduk negara-negara Arab tetap terpenjara dan tunduk. Tapi pada tahun 2011, pemberontakan rakyat meletus di seluruh wilayah negara-negara Arab, dengan menjatuhkan sebagian tiran, dan menggoyahkan tatanan politik yang telah dibangun dengan susah payah untuk disatukan oleh Amerika.
David S Mason (2009) dalam bukunya, Berakhirnya Abad Amerika, mengatakan, “Amerika kini berada di akhir periode kepemimpinan global dan dominasi yang kita nikmati selama 50 tahun. Negeri ini sudah bangkrut secara ekonomi. Kita kehilangan dominasi politik, ekonomi dan sosial. Kita tidak lagi bisa dibandingkan dengan negeri lain dan tidak lagi dikagumi sebagaimana dulu. Kita pun tidak lagi dianggap sebagai model ekonomi dan politik seperti dulu. Sungguh ini merupakan pergeseran global dalam sejarah dunia, baik bagi Amerika dan seluruh dunia.
Amerika bukan merupakan adidaya yang dihormati, namun ia adalah adidaya yang mendominasi. Meski dibangun dengan teknologi yang terbaik dan rumit, Amerika secara etika, ekonomi, strategi dan politik adalah bangsa yang bisa dikatakan bangkrut. Penduduk Amerika sendiri tidak lagi yakin dengan pemerintahnya dan sistemnya sendiri. Bahkan fondasi ideologinya pun mulai dipertanyakan oleh rakyatnya sendiri. Dua puluh tahun setelah jatuhnya Tembok Berlin, survei oleh BBC menemukan ketidakpuasan mereka dengan sistem Kapitalisme Pasar Bebas (James Robbins, BBC, 9/11/2009).
Kekuatan AS, walau masih dominan, sudah mulai redup. Pada saat ini, percaturan politik tidak lagi didominasi oleh kaum sekularis, namun sebuah gelombang baru kebangkitan Islam dengan cepat mengisi kekosongan ini. Revolusi Arab menantang tatanan dunia yang ada. Rakyat yang bangkit menggulingkan para penguasa mereka. Revolusi Arab masih bekerja menuju suatu kemajuan. Peran Islam dalam masyarakat dan pemerintahan akan meningkat. Partai-partai yang ingin melemahkan Islam akan melihat diri mereka sendiri tersisih.
Amerika dan dunia Barat terseok-seok bersaing dengan dunia Islam yang menjadi muda kembali. Dunia Islam membuktikan mampu mematahkan belenggu ketakutan, dengan menjatuhkan rezim represif dukungan Barat, untuk menentukan nasib mereka di tangan mereka sendiri. Dunia Islam menginginkan perubahan. Kecenderungan alami dari muslim Arab adalah tertarik terhadap sistem Khilafah-sebuah sistem politik yang membuat mereka bersatu di bawah seorang pemimpin tunggal selama lebih dari seribu tahun. Dan tentu saja dunia Arab sungguh berada pada lintasan itu, dengan tidak mempedulikan apa yang digambarkan oleh pemerintah Amerika.
Umar Syarifudin (Lajnah Siyasiyah DPD HTI Jatim)
(*/arrahmah.com)