GAZA (Arrahmah.id) – Anak-anak muda ‘Israel’ telah memulai tren yang meresahkan di TikTok, di mana mereka mengejek penderitaan anak-anak Palestina di Gaza. Dalam video-video yang beredar, para remaja ‘Israel’ ini meminta saudara-saudara mereka yang sudah dewasa untuk menyumbang bagi anak-anak Gaza, yang kemudian memancing kemarahan dan hinaan. Tren ini telah menimbulkan keterkejutan dan menyoroti rasisme dan dehumanisasi yang mengakar terhadap rakyat Palestina.
Dalam sebuah video viral, seorang gadis muda ‘Israel’ meminta ayahnya untuk menyumbang kepada anak-anak di Gaza, sambil menahan tawa, ia mengatakan bahwa mereka tidak bersalah dan tidak berafiliasi dengan Hamas. Alih-alih bersimpati, sang ayah malah meluapkan amarahnya, melontarkan kata-kata makian kepada anak-anak Gaza. Ia kemudian mempertanyakan identitas putrinya, “Apakah kamu Yahudi atau Arab?”
Video lain memperlihatkan seorang ayah dengan marah berkata, “Mereka bukan manusia di Gaza; mereka adalah binatang.” Dalam klip terpisah, seorang wanita, setelah serangkaian hinaan, mengungkapkan keinginannya agar setiap anak di Gaza mati satu per satu.
Video-video ini telah menimbulkan kegemparan yang meluas, mengungkap budaya dehumanisasi yang mengakar terhadap warga Palestina. Tren ini muncul saat Gaza menghadapi bencana kemanusiaan yang disebabkan oleh genosida ‘Israel’, di mana anak-anak merupakan salah satu korban yang paling terdampak.
Anak-anak di Gaza: Sasaran Utama ‘Israel’
Menurut laporan PBB tentang kematian yang terverifikasi, 44% dari mereka yang tewas di Gaza adalah anak-anak. Sebagian besar berusia antara lima dan sembilan tahun, dan 80% meninggal di rumah mereka. Banyak yang tertimpa reruntuhan, mati lemas, atau dibiarkan meninggal tanpa bantuan medis karena kekurangan pasokan yang parah. Yang lainnya menderita sakit luar biasa akibat luka yang tidak diobati, meninggal tanpa anestesi atau penghilang rasa sakit.
Momen-momen mengerikan sebelum kematian masih belum diketahui dalam banyak kasus. Banyak keluarga yang musnah seluruhnya, tidak ada korban selamat yang dapat menceritakan kisah mereka. Satu pengecualian adalah Hind Rajab, seorang gadis berusia lima tahun yang memohon pertolongan melalui telepon sebelum sambungan telepon terputus di tengah tembakan ‘Israel’
Gaza kini memiliki hampir 40.000 anak yatim, ribuan orang yang diamputasi, dan ratusan ribu anak terlantar. Sekolah-sekolah telah hancur, dan trauma psikologis tersebar luas. Lebih dari 20.000 anak masih hilang, terkubur di bawah reruntuhan atau di kuburan massal. Banyak dari mereka tidak akan pernah mendapatkan penghormatan yang layak, nama-nama mereka hilang dalam ketidakjelasan statistik.
Menormalkan Kebencian pada Anak-Anak ‘Israel’
Tren TikTok ‘Israel’ yang mengejutkan seperti ini tidak terjadi begitu saja karena kebijakan pendidikan ‘Israel’ mendorong sikap rasis dan tidak manusiawi. Sebuah laporan yang diterbitkan oleh Haaretz pada 2016 mengungkapkan bahwa siswa sekolah menengah ‘Israel’ didorong untuk membaca buku-buku yang mempromosikan supremasi Yahudi dan sentimen anti-Arab.
Sarjana ‘Israel’’, Profesor Nurit Peled-Elhanan, telah mempelajari buku pelajaran sekolah dan menyimpulkan bahwa buku-buku tersebut secara sistematis menanamkan rasisme. Ia menggambarkan apartheid ‘Israel’ bukan hanya sebagai seperangkat hukum tetapi juga pola pikir yang menentang penduduk asli Palestina.
Sejak 1953, Undang-Undang Pendidikan ‘Israel’ telah mengamanatkan bahwa pendidikan harus didasarkan pada “nilai-nilai budaya Yahudi, kesetiaan kepada negara, dan cita-cita Zionis.” Ideologi ini mempersiapkan kaum muda ‘Israel’ untuk menghadapi konflik di masa mendatang. Pada 1982, Menteri Pendidikan ‘Israel’ Zevulun Hammer menyatakan, “Manusia terbaik adalah orang Yahudi ‘Israel’. Kami siap berperang untuk memastikan hal ini tetap berlaku.”
Ajaran agama juga memperkuat superioritas. Rabi Ariel pernah menyatakan, “Orang-orang non-Yahudi diciptakan dalam bentuk manusia hanya untuk melayani orang-orang Yahudi, yang untuknya dunia diciptakan.”
Masyarakat ‘Israel’ mengagungkan para pemimpin militer yang bertanggung jawab atas pembantaian. Pada 2009, Menteri Pendidikan Gideon Sa’ar mengamanatkan agar semua siswa ‘Israel’ mempelajari kehidupan Menachem Begin, pendiri milisi Lehi, yang melakukan pembantaian Deir Yassin yang terkenal kejam.
Sistem pendidikan ‘Israel’ membina hubungan yang erat antara anak-anak dan militer. Peneliti Hagit Gor Ziv dari Center for Critical Education mencatat bahwa tema militer sering muncul di buku-buku sekolah. Dalam salah satu buku teks matematika kelas lima, sebuah pertanyaan berbunyi: “Dari 6.340 tentara yang dilatih, 2.070 bergabung dengan pasukan terjun payung, dan 1.745 bergabung dengan infanteri. Berapa banyak tentara yang tersisa?”
Normalisasi militerisasi ini secara luas dipandang sebagai faktor dalam membentuk pola pikir anak-anak ‘Israel’ untuk melihat kekerasan sebagai bagian tak terelakkan dari kehidupan. Di sebagian besar masyarakat demokratis, praktik pendidikan semacam itu akan dianggap sebagai indoktrinasi.
Banyak orang melihat tren TikTok yang mengejek penderitaan anak-anak Palestina sebagai akibat dari dehumanisasi sistemik selama bertahun-tahun dalam masyarakat ‘Israel’. Ketika anak-anak menertawakan penderitaan orang lain, hal itu mengungkap dilema moral dalam budaya yang dibentuk oleh pendidikan, politik, dan narasi sejarah. (zarahamala/arrahmah.id)