Dihantui oleh ketakutan perang selama delapan tahun terakhir, generasi baru dari anak-anak yatim Muslim Thailand selatan, menunjukkan tingkat stres dan trauma yang tinggi setelah kehilangan orang terkasih dalam serangkaian serangan brutal oleh tentara musyrik Thailand di wilayah yang bergolak.
“Ketika saya pergi keluar, saya hanya berada di dekat rumah, saya tidak pernah pergi jauh,” ujar Ahmad (12) kepada AFP.
Mengenakan kaos sepakbola berwarna merah, Ahmad merupakan salah satu dari ribuan anak yatim piatu yang dilupakan oleh seluruh dunia.
Kakaknya yang berusia 15 tahun, Sunnah, mengatakan pembunuhan ayah mereka oleh orang-orang bersenjata tak dikenal enam tahun lalu menandai berakhirnya masa kecil mereka. Mereka harus hidup tanpa kedua orang tua setelah kematian ibu mereka dalam kecelakaan.
“Aku tidak merasa aman, terutama dengan orang asing,” ujar Sunnah.
“Saya menduga-duga orang lain ketika mereka melihat saya. Prajurit Thailand yang terburuk.”
Hidup selama bertahun-tahun dengan ancaman, penembakan dan jam malam, banyak pemuda di Thailand selatan yang bergejolak menunjukkan tingkat trauma yang tinggi.
Thailand memiliki populasi Muslim sekitar 9,5 juta jiwa dan kebanyakan tinggal di wilayah selatan. Muslim Thailand yang membentuk lima persen dari jumlah keseluruhan populasi yang didominasi oleh ummat Budha, telah lama mengalami diskriminasi di bawah praktek brutal oleh militer.
Mereka juga menyerukan bahasa Melayu menjadi bahasa resmi dan mengganti kurikulum Budha dengan kurikulum Islam.
Dilaporkan lebih dari 5.000 orang telah tewas di Thailand Selatan selama kekerasan delapan tahun. Sedikitnya 60 orang korban tewas adalah remaja berusia di bawah 15 tahun dan ratusan anak-anak terluka.
Sebuah penelitian oleh organisasi non-pemerintah, Pattani Juvenile Observation menunjukkan jumlah anak yatim di wilayah tersebut lebih dari 5.000 orang. Kelompok lainnya memperkirakan angka itu dua atau tiga kali lebih tinggi.
Ketakutan
Dengan penelitian yang komprehensif tentang efek kesehatan mental, statistik yang tersedia amat memprihatinkan dan para ahli mengatakan itu terus memburuk.
“Ketakutan adalah masalah nomor satu,” ujar pakar kesehatan pemerintah Pechdau Tohmeena.
“Beberapa anak telah melihat orang tua mereka ditembak di depan mereka, toko keluarga mereka dibakar, kerabat mereka dipukuli dan disiksa.”
Kemarahan dan ketakutan adalah gejala umum dari depresi, menunjukkan bahwa anak-anak menanggung beban konflik delapan tahun.
“Mereka mendengar rumor tentang kekerasan. Mereka menyaksikan helikopter terbang di atas mereka dengan senjata yang mengarah ke bawah, ke arah mereka,” tambahnya.
“Sulit untuk hidup sebagai target setiap hari.”
“Beberapa dari anak telah tumbuh dengan kekerasan,” ujar laporan oleh badan kesehatan mental pemerintah yang memimpin survei.
“Beberapa anak usia sekolah dasar mengatakan kepada kami apa yang paling mereka butuhkan untuk memperbaiki kehidupan mereka adalah pistol!”
International Crisis Group mendesak pemerintah Thailand untuk mulai mempersiapkan mayoritas Budha menerima negosiasi otonomi untuk Muslim di selatan.
Pattani, Yala dan Narathiwat adalah provinsi di Thailand selatan yang berpenduduk mayoritas Muslim dan sebelumnya merupakan kesultanan Muslim sampai akhirnya dicaplok satu abad yang lalu. (haninmazaya/arrahmah.com)