Pengungsi Muslim India dari Desa Kharad yang melarikan diri dari kekerasan agama didera trauma yang mendalam. Mereka tidak lagi memiliki keinginan untuk kembali ke desa mereka. Kejadian mengerikan selama dua hari tidak jua pupus dari ingatan. seperti hal nya Muhammad Akhtar, salah seorang warga Muslim yang meninggalkan segala benda miliknya di Desa Kharad.
Bekas tetangga Muhammad Akhtar singgah ke kamp pengungsian dan mengatakan kepadanya bahwa sekarang sudah waktunya bagi Muhammad Akhtar untuk pulang, mencoba meyakinkan bahwa tidak ada lagi yang perlu ditakutkan. Mereka mencoba untuk membujuk Muhammad Akhtar, mengingatkannya bahwa keluarga Hindu dan Muslim sudah hidup bersama dengan damai di desa tersebut selama beberapa generasi, sebelum kejadian September 2013, saat kekerasan sektarian melanda daerah itu, menyebabkan sekitar 50.000 orang melarikan diri dari rumah mereka.
Empat bulan kemudian setelah kekerasan tersebut, sekitar 15.000 Muslim terkapar di tenda darurat di negara bagian Uttar Pradesh. Mereka sudah tidak percaya lagi bahwa mereka akan merasa aman setelah mereka kembali ke desa mereka. Mereka mengalami trauma yang sangat mendalam. Dalam tenda darurat tersebut mereka harus menghadapi musim dingin yang ekstrim. Anggota keluarga tidur saling menempel satu sama lain untuk mendapatkan sedikit rasa hangat. Air yang dingin menetes dari tenda yang bocor, belum lagi tenda yang basah dan becek karena banjir dari luar. Pada pertengahan Desember, menurut pemerintah, 35 anak-anak di kamp-kamp darurat tersebut telah meninggal.
Muhammad Akhtar, seperti ribuan tetangganya yang lain, masih tidak mau kembali ke rumah.
“Lihat, mereka datang kepada kami dan berkata, ‘Silahkan kembali, itu tanggung jawab kami untuk memastikan Anda aman’. Kami tidak percaya lagi kepada mereka. Di mana tanggung jawab mereka ketika kami diserang? Kami mencoba untuk memanggil orang-orang untuk minta bantuan, tapi tidak ada. Bahkan polisi pun mematikan telponnya.”
Kekerasan terhadap Muslim bukan sesuatu yang baru di India. Biasanya kerusuhan di desa Loi berlangsung beberapa hari, dan berhenti ketika polisi datang. Tapi saat itu mereka telah mengubah struktur sosial, mereka mulai menyulut kecurigaan dan ketakutan terhadap Islam ke daerah di mana kelompok agama berbaur dengan bebas. Di negara bagian barat Gujarat, lebih dari 20.000 Muslim yang melarikan diri saat kerusuhan tahun 2002, dan masih tinggal di kamp-kamp bantuan selama 10 tahun kemudian, menurut Amnesty International.
Perpecahan tersebut diperparah oleh kondisi yang menyedihkan yang sering menanti, yaitu penderitaan yang dialami oleh orang-orang yang melarikan diri.
Selama bertahun-tahun, India telah berhasil memberikan bantuan yang memadai bagi korban bencana alam, tetapi tidak untuk korban kerusuhan dengan korban kelompok minoritas, sebagian besar karena secara politik hal tersebut berisiko.
Tapi musim dingin ini, musim pemilihan umum yang sangat penting, kamp-kamp kumuh bermunculan, menanggung risiko mereka sendiri, berdiri sebagai bukti grafis dari kegagalan negara, kata Farah Naqvi, seorang penulis dan aktivis.
Kisah Muhammad Akhtar, yang meninggalkan rumahnya di desa Kharad, sekitar dua mil dari tenda pengungsian di Uttar Pradesh, menunjukkan betapa sulitnya bagi mereka untuk menjalin kembali kebersamaan yang telah tercabik-cabik dalam kekerasan selama dua hari tersebut.
Kharad, merupakan bangunan batu bata yang rapi yang berbentuk labirin dan gang-gang berbatu, merupakan rumah bagi 12.000 warga, sekitar seperempat dari mereka Muslim, yang secara tradisional memegang peran sebagai buruh tani, tukang bangunan, tukang cuci dan pengrajin. Pengusaha dan pelanggan mereka adalah pemilik tanah Jat, warga Hindu yang makmur yang mendominasi politik lokal.
Pada sore pekan lalu, Tetangga Muhamamd Akhtar dari Jat mengatakan mereka akan dengan senang hati menyambutnya kembali ke Kharad.
Pemerintah Uttar Pradesh tidak mengidentifikasi Kharad sebagai salah satu dari sembilan desa yang ditimpa kekerasan yang serius, sehingga orang-orang yang melarikan diri dari sana tidak akan menerima kompensasi. Sementara itu,warga Jat di Kharad semakin merendahkan orang-orang yang menolak untuk kembali, dan mengatakan bahwa mereka adalah penumpang yang serakah.
Sekitar 20 orang Jat yang sedang berkelompok membahas masalah ini pada hari Rabu. Mereka mendorong maju seorang anak laki-laki yang berusia 11 tahun, satu-satunya Muslim di antara mereka, sebagai bukti bahwa umat Islam tidak perlu takut. “Apakah Anda takut? Apakah Anda merasa takut? “Mereka bertanya, tertawa mengejek, saat anak kecil itu tersenyum dengan malu malu.
Raj Singh, seorang petani berusia 78 tahun dengan tangan yang rapi terawat, mengatakan bahwa banyak warga Muslim yang melarikan diri telah mengganggu dia, karena dia tidak bisa menemukan pekerja untuk membawa hasil panennya.
“Mereka hanya menciptakan sandiwara besar, tidak ada yang perlu ditakutkan,” kata Mr Singh. “Orang-orang marah selama lima menit. Ini sudah lewat,” katanya. Dia menambahkan dengan penuh rahasia,” Saya akan memberitahu Anda situasi yang sebenarnya, mereka akan menyabotase rumah-rumah mereka sendiri sehingga mereka bisa mendapatkan kompensasi,” tuduhnya.
Muhammad Akhtar, yang telah merelokasi rumahnya menjadi dua lantai yang dibangun di sebidang tanah yang tidak terpakai di desa mayoritas Muslim Loi, tampak tidak terima oleh argumen ini.
Muhammad Akhtar mengatakan kejadian yang sebenarnya, bahwa pada hari kekerasan terjadi dia melihat massa menyerang masjid, yang terletak di dekat rumahnya, kemudian massa tersebut dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil dan menyebar di seluruh desa. Dia begitu takut sehingga ia merangkul anak-anaknya dan berlari tanpa menunggu untuk mematikan teko yang mendidih di atas kompor.
Muhammad Akhtar pernah kembali ke Kharad setelah kejadian tersebut, namun ia merasa bahwa sesuatu telah berubah secara permanen antara dirinya dan tetangganya. Di antara kerusakan yang telah dipertahankan adalah pukulan bagi “harga diri” nya.
“Tidak ada pertanyaan untuk kembali,” katanya. “Mereka tertawa dan tersenyum mengejek pada kami. Mereka mengatakan, ‘Lihat, mereka berani kembali ke desa. Kami membuang orang-orang ini, tetapi mereka tidak memiliki harga diri, mereka masih datang kembali’.”
Muhammad Akhtar mengatakan ia telah mendengar semua penawaran tentang adanya rencana pemerintah untuk membuka kantor polisi baru di dekat rumahnya,dengan staf dari petugas Muslim, tapi tidak satupun dari mereka yang menemukan keyakinan atas tawaran tersebut. Muhammad Akhtar tetap bersikeras tidak mau kembali. Dia akan membangun rumah baru di tempat lain. Dia tidak peduli di mana, selama ia tidak melihat tetangga lamanya.
“Keamanan datang saat kita berada bersama umat Islam,” kata Muhammad Akhtar. “Tidak ada keamanan bagi kami di sana sekarang.”