GAZA (Arrahmah.id) – Pakar militer, Brigadir Jenderal Elias Hanna, menyatakan bahwa bayang-bayang peristiwa 7 Oktober 2023 masih menghantui benak para pemimpin militer ‘Israel’. Hal ini ia sampaikan saat menanggapi peringatan yang dilontarkan oleh militer ‘Israel’ mengenai potensi eskalasi serangan oleh pejuang Hamas.
Menurut Hanna dalam wawancaranya dengan Al Jazeera, militer ‘Israel’ fokus untuk mengamankan zona penyangga di dalam Jalur Gaza. Tujuan utamanya adalah memberikan rasa aman bagi permukiman-permukiman ‘Israel’ di sekitar Gaza serta memungkinkan kembalinya para pengungsi ke wilayah tersebut. Selain itu, langkah ini juga menambah tekanan terhadap pihak perlawanan karena secara perlahan memperkecil wilayah yang dikuasai Gaza.
Dalam konteks ini, Kepala Staf Militer ‘Israel’, Herzi Halevi, menyampaikan bahwa militer akan meningkatkan intensitas operasinya jika tidak ada kemajuan berarti dalam upaya pembebasan tawanan ‘Israel’. Ia menegaskan bahwa tekanan terhadap Hamas akan terus diperketat semaksimal mungkin.
Pernyataan tersebut muncul tak lama setelah media ‘Israel’ melaporkan tewasnya seorang tentara dan setidaknya tujuh lainnya terluka dalam sebuah “insiden keamanan serius” di Gaza. Suara ledakan besar terdengar beruntun di wilayah tersebut. Insiden ini diketahui melibatkan pasukan artileri dan Divisi ke-36.
Sumber-sumber media ‘Israel’ menyebutkan bahwa insiden tersebut terjadi di wilayah utara Jalur Gaza dan melibatkan aksi penembakan jitu serta serangan roket anti-tank yang diarahkan ke pasukan ‘Israel’. Menanggapi serangan itu, angkatan udara ‘Israel’ langsung menggencarkan serangan udara ke lokasi kejadian dalam upaya mengevakuasi para prajurit yang terluka.
Menurut Brigjen Hanna, kemampuan perlawanan untuk mencapai target-target ‘Israel’ di dekat pagar pembatas menunjukkan bahwa mereka masih memiliki jalur aman, kemungkinan melalui terowongan, yang belum berhasil ditemukan atau dihancurkan oleh militer ‘Israel’.
Ia juga menyoroti efektivitas serangan yang dilancarkan Hamas di daerah Beit Hanoun sebelum kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan diberlakukan. Serangan itu menyebabkan tewasnya 12 tentara ‘Israel’.
Lebih lanjut, Hanna mengatakan bahwa militer ‘Israel’ kini menjalankan strategi penghancuran sistematis, memutus konektivitas antar wilayah di Gaza, dan membuka jalan-jalan baru, yang secara signifikan mengubah kondisi lapangan serta karakter medan tempur.
Di sisi lain, kelompok perlawanan merekrut pejuang-pejuang baru dan menerapkan taktik perang gerilya, seperti penembakan jitu, penyergapan, dan peledakan ranjau terhadap kendaraan serta pasukan ‘Israel’.
Hanna menekankan bahwa dalam peperangan, militer seharusnya merancang strategi berdasarkan skenario terburuk, sambil berharap akan mendapatkan hasil yang lebih baik. Namun, menurutnya, militer ‘Israel’ saat ini tidak mampu menguasai dan mempertahankan wilayah yang mereka duduki.
Ia juga menambahkan bahwa perlawanan memiliki kemampuan untuk memantau pergerakan pasukan Israel dan menyerang sasaran-sasaran penting saat peluang terbuka. Selain itu, mereka memiliki strategi keluar yang jelas dan jalur mundur yang aman.
Sementara itu, situs berita ‘Israel’ Walla mengutip sumber militer yang menyebut bahwa ‘Israel’ telah memperkuat pertahanan di pangkalan-pangkalan militernya yang berada di zona penyangga.
Sumber tersebut juga menyatakan bahwa militer tengah bersiap menghadapi kemungkinan eskalasi serangan dari Hamas, yang diperkirakan akan menggunakan taktik-taktik perang gerilya seperti penembakan jitu, penyergapan, serta operasi gabungan lainnya. (zarahamala/arrahmah.id)