(Arrahmah.com) – Telah kita ketahui bersama bahwa utang-piutang sudah menjadi hal yang lumrah di tengah-tengah masyarakat negeri kita. Akan tetapi, di sisi lain krisis kepercayaan melanda era globalisasi ini, tak terkecuali di nusantara. Sehingga, tak mengherankan bila di dalam akad utang-piutang, pihak yang meminjamkan meminta jaminan, baik berupa harta, benda, atau jasa.
Nah, oleh sebab itu, sudah seharusnya kita sebagai seorang muslim mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan praktik semisal ini dari kacamata syariat Islam. Terlebih lagi transaksi jenis ini sudah dikenal lama sehingga sudah dibahas oleh ulama-ulama salaf maupun kontemporer.
Definisi Rahn
Secara bahasa, rahn memiliki banyak definisi. Di antaranya adalah habs yang berarti tertahan, terhalang, tercegah, atau yang semakna dengannya. Hal ini senada dengan firman Allah Ta’ala,
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“Setiap jiwa tertahan untuk mempertanggungjawabkan apa yang pernah ia perbuat.” (QS. Al-Mudatstsir: 38)
Definisi lain dari rahn adalah dawam yang bermakna diam atau tetap. Syaikh Al Utsaimin rahimahullah mengumpamakan, jika ada seseorang yang mengatakan air ini rahin, maksudnya air ini diam, tenang, dan tidak mengalir.[1]
Adapun menurut istilah ulama fikih, rahn atau gadai adalah berutang dengan menyerahkan barang sebagai jaminan.
Contoh Gadai
Untuk memudahkan kita memahami persoalan ini ada baiknya kita mengenal pihak yang bertransaksi di dalam muamalah ini. Pihak pertama adalah rahin (si peminjam atau orang yang menggadaikan), sedangkan pihak kedua adalah murtahin (pemberi utang).
Adapun contoh gadai, misalnya, rahinberutang sebesar satu juta rupiah kepada murtahin. Ia lantas menyerahkan barang yang dapat dijadikan jaminan untuk melunasi utangnya kepada murtahin.
Hukum Gadai
Sistem transaksi utang piutang dengan gadai diperbolehkan dalam Islam. Hal ini berlandaskan dalil dari Alquran, sunah, maupun konsensus kaum muslimin sejak dulu.
Dalil utama yang menjelaskan disyariatkannya penggadaian adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Jika kalian berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kalian tidak menemui seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang memberi piutang)…” (QS. Al-Baqarah: 283)
Adapun penyebutan safar/bepergian dalam ayat ini bukanlah bermaksud untuk membatasi syariat gadai hanya boleh di waktu bepergian semata. Akan tetapi hal itu dikarenakan dahulu gadai sering kali dilakukan di dalam perjalanan.[3]
Hal ini berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh istri Nabi yaitu Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau mengisahkan bahwa suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi. Beliau pun menggadaikan sebuah baju perang yang terbuat dari besi.[4]
Ketika kejadian ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang tidak melakukan safar. Kisah ini juga merupakan dalil dari sunah yang menjelaskan diperbolehkannya transaksi gadai.
Syekh Abdullah al-Bassam rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin telah bersepakat diperbolehkannya transaksi gadai ini, meskipun sebagian ulama bersilang pendapat di beberapa persoalannya.”[5]
Hikmah Pergadaian
Faedah pensyariatan gadai sangatlah besar. Karena dengan gadai, seorang pemberi utang akan merasa tenang dan tidak khawatir hartanya akan lenyap begitu saja disebabkan peminjam tidak membayar utang.
Selain itu, pergadaian merupakan bentuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa jika memang dibutuhkan. Gadai juga merupakan solusi di dalam situasi krisis, dan mempererat rasa sosial dan interaksi sesama manusia.
Rukun Gadai
Ulama telah merumuskan beberapa rukun yang harus terpenuhi di dalam melakukan transaksi gadai, yaitu:
- Barang yang digadaikan;
- Utang;
- Akad;
- Dua pihak yang bertransaksi, yaitu rahin dan murtahin.
Syarat Gadai
Pertama, transaksi gadai tersebut berdasarkan utang yang wajib dibayar.[6]
Kedua, barang gadai tersebut diperbolehkan dalam jual beli. Jika seorang rahin menggadaikan seekor babi misalnya, maka transaksi gadai dalam kasus ini tidak sah. Karena babi adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam jual beli. Termasuk pula tidak diperbolehkan menggadaikan barang wakaf atau barang yang bukan miliknya.[7]
Akan tetapi dikecualikan dalam masalah ini menggadaikan hasil pertanian atau buah-buahan yang belum matang. Meskipun sebagaimana yang kita ketahui hukum asal menjual buah-buahan yang belum matang adalah terlarang.[8]
Ketiga, rahin hendaklah orang yang boleh mempergunakan jaminannya, baik karena memilikinya atau diizinkan mempergunakannya secara syariat.
Keempat, hendaknya barang yang digadai diketahui kadar, sifat, dan jenisnya.[9]
Memanfaatkan Barang Gadai?
Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah tidak diperbolehkannya bagi murtahin memanfaatkan barang yang digadaikanrahin. Hal ini berdasarkan ketentuan bahwa segala utang yang mendatangkan manfaat adalah riba.
Karena pada hakikatnya barang tersebut statusnya masih milik rahin. Sedangkan murtahin hanya berhak untuk menahan barang tersebut, bukan malah memanfaatkannya. Baik dengan izin dari rahin ataupun tanpa seizinnya.
Lain halnya jika barang gadai tersebut berupa hewan tunggangan dan ternak, maka boleh bagi murtahin menunggangi maupun memerah susunya jika memang murtahin tersebut memberi makan hewan-hewan tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbicara dalam hal ini,
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Punggung hewan tunggangan yang digadaikan boleh dinaiki. Begitu pula susu hewan ternak yang digadaikan boleh diminum. Akan tetapi wajib bagi yang menunggangi dan meminum susunya untuk memberi hewan-hewan tersebut makanan.”[10]
Semoga artikel sederhana ini bisa menambah wawasan kita seputar pergadaian sehingga kita tidak terjatuh di dalam kesalahan semisal memanfaatkan barang gadai yang hakikatnya bukan milik si peminjam atau menggunakan barang haram untuk digadaikan.
—
Catatan Kaki
[1] Lihat Mudzakirah al-Fiqh 2/109
[2] Lihat contoh-contoh ini di dalam Mudzakhirah al-Fiqh 2/109-110
[3] Al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau al-Kitab wa as-Sunnah, hal. 227
[4] HR. Bukhari: 2513, dan Muslim: 1603
[5] Taisir al-Allam Syarh Umdah al-Ahkam 2/77
[6] Mudzakirah al-Fiqh2/110
[7] Al-Fiqh al-Muyassar hal. 227
[8] Mudzakirah al-Fiqh2/110
[9] Lihat Al-Fiqh al-Muyassar hal. 227
[10] HR. Tirmidzi: 1254
Daftar Pustaka:
Abdullah al-Bassam. Taisir al-Allam Syarh Umdah al-Ahkam. 1442/2002. Jilid ke-2. Cetakan pertama. Dar al-Aqidah: Kairo – Mesir.
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Mudzakirah al-Fiqh. 1428/2007. Jilid ke-2. Cetakan pertama. Dar al-Islam li an-Nasyr wa at-Tauzi’: Al-Jizah – Mesir.
Kumpulan ulama. Al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau al-Kitab wa as-Sunnah. 1424 H. Majma’ al-Malik al-Fahd li Thaba’ah al-Mushaf asy-Syarif: Madinah – Arab Saudi.
—
Penulis: Roni Nuryusmansyah
Murajaah: Ust. Muhammad Yassir, Lc
Artikel Muslim.Or.Id
(*/Arrahmah.com)