Oleh Ummu Alifah
Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK
Manusia itu makhluk sosial. Mulai dari kelahiran, hidup, hingga kematian, manusia membutuhkan pihak lain dalam menjalaninya. Apa yang terjadi di Kalideres menjadi bukti betapa hubungan sosial yang sehat antar individu di tengah masyarakat itu mutlak dibutuhkan.
Siapa yang tak terhenyak dengan tragedi tewasnya keluarga di Kalideres Jakarta Barat? Bagaimana tidak, empat orang yang terdiri dari ayah, RG (71); ibu, KM (66); anak, DF (42); dan paman, BG (68) ditemukan oleh warga sekitar dalam kondisi tak bernyawa pada Kamis (10/11/2022). Bahkan jenazah didapati telah membusuk dan mengering di dalam rumahnya, Perumahan Citra Garden I Ekstension. Kapolres Metro Jakarta Barat, Kombes Pol Pasma Royce menyampaikan laporan dari tim forensik RS Polri Kramat Jati Jakarta Timur bahwa dari keempat jenazah tak ditemukan sisa makanan di dalam lambungnya. Bahwa tidak ditemukan juga bercak darah, rumah rapi, sebagai tanda tak ada kekerasan dalam kasus tersebut. (tribunnews.com, 13/11/2022)
Kabut misteri kematian mereka hingga kini memang masih gelap menyelimuti. Namun analisis dari beberapa pihak mulai berseliweran. Awal dugaan mengarah pada kasus kelaparan. Setelah ditemukan tambahan petunjuk, analisis mengarah bahwa ada motif melaparkan diri hingga dilaparkan oleh pihak tertentu. Kabar yang santer menyebut dikaitkan dengan dugaan para korban menjalani ritual bunuh diri disebabkan menganut keyakinan sekte apokaliptik hingga motif perebutan harta.
Apapun motif di baliknya yang jelas bahwa saat ini kepolisian masih terus mendalami kasusnya. Namun yang wajib menjadi bahan perhatian adalah betapa terlambatnya warga sekitar mengetahui tragedi tersebut. Padahal tentu dari proses kelaparan, dilaparkan atau melaparkan diri hingga terjadinya kematian itu butuh waktu tak sebentar. Yang menjadi pertanyaan, kenapa sampai tidak ada satu pihak pun yang tidak menyadari akan kondisi itu? Baik yang terdekat dari sisi lokasi kejadian atau dari sisi kekerabatan.
Muncul alasan bahwa korban semuanya memiliki kesamaan sifat yakni menutup bahkan menjauhkan diri dari dunia luar. Kebanyakan tetangga dan orang dekat mengatakan, terakhir berkomunikasi atau bahkan sekadar melihat keluar rumah itu beberapa pekan hingga beberapa bulan sebelum ditemukan meninggal. Masih dikutip dari media yang sama dengan menyebut bahwa hubungan terakhir keluarga dengan korban juga sudah lima tahun yang lalu, itu pun hanya by phone.
Dari kasus tersebut minimal ada tiga hal yang patut menjadi bahan renungan. Pertama adalah sikap anti sosial (ansos) yang saat ini mulai menjangkiti individu masyarakat. Perilaku berupa mengasingkan diri dari dunia luar, enggan bersosialisasi, hingga menarik diri dari semua kegiatan kemasyarakatan. Ada beberapa alasan yang bisa melatarbelakanginya. Mulai dari faktor internal yang merasa sungkan ketika harus merepotkan pihak lain. Juga kemalasan untuk sekadar membuka diri dengan lingkungan luar dikarenakan prinsip berupa kemanfaatan menjadi penentu dilakukan atau ditinggalkannya sebuah perbuatan. Relasi akan dibangun jika ada kemanfaatan yang hendak diraih, jika tidak, maka lebih baik hidup sendiri, mengasingkan diri dan mengurusi urusan sendiri. Menjalin hubungan silaturahim dengan keluarga, membangun relasi pertetanggaan akhirnya dianggap sesuatu yang buang-buang waktu saja, tak ada manfaatnya sama sekali. Toh belum tentu pihak lain memahami dan membantu.
Kedua merebaknya sikap individualistis. Dimana hal tersebut kian mengikis rasa kepedulian terhadap sesama. Kesibukan mengurusi urusan pribadi menjadikan individu masyarakat saat ini merasa tak memiliki waktu atau bahkan tak peduli dengan urusan orang lain. Jika ada saudara, kerabat, teman, atau tetangga yang menarik diri dari lingkungan, untuk apa mesti repot-repot memikirkannya, itu kan urusan mereka, urusan sendiri juga sudah banyak dan bikin pusing.
Ketiga, permasalahan hidup yang demikian pelik dihadapi masyarakat saat ini. Masalah ekonomi kian sulit, keamanan semakin mahal, makin klop-lah menjadikan masyarakat menjalani kehidupan itu cukup hanya untuk menyelesaikan urusan sendiri-sendiri.
Hal di atas sungguh terjadi karena sistem kehidupan yang dianut adalah Kapitalisme sekuler. Dalam masyarakat sekuler, agama hanya diberi ruang untuk urusan ibadah vertikal kepada Tuhan, dan hanya menjadi urusan pribadi. Perihal urusan kehidupan dan relasi dengan sesama, agama dianggap absen mengaturnya. Nilai materi yang mengedepankan peraihan maslahat menjadi nilai yang diagungkan. Tiada materi atau maslahat yang bisa diraih, maka perbuatan atau urusan tersebut akan ditinggalkan. Tak heran ketika saling peduli dengan sesama dipandang minim bahkan tak akan mendatangkan maslahat dan materi, so tinggalkan dan lupakan saja.
Kehidupan terasa kian menghimpit dalam sistem Kapitalisme. Negara memosisikan diri sekadar sebagai pembuat aturan yang cenderung berpihak pada kaum berduit tebal (kapitalis), bukan rakyat. Sementara urusan rakyat telah lama ditinggalkan oleh penguasa. Kebutuhan dasar berupa pangan, sandang dan papan diserahkan ke tangan swasta bermodal besar untuk menyediakannya. Jika rakyat hendak mendapatkannya wajib ditebus dengan prinsip jual beli. Tak ada uang, jangan harap urusan lancar dan apa-apa bisa didapat. Tidak terkecuali urusan vital yang asasi. Begitupun dengan kebutuhan kolektif kesehatan, keamanan dan pendidikan, menjadi urusan individu per individu. Kalau mau mengaksesnya, ya wajib dibayar dengan besaran uang yang kian tak terjangkau. Rakyat pada akhirnya dibuat sibuk memikirkan urusan perut dan kebutuhan dasar lainnya, hingga tak punya cukup waktu sekadar untuk saling peduli satu dengan lainnya.
Tragedi Kalideres tak semestinya terjadi jika prinsip kehidupan disandarkan pada aturan Islam. Sebagai agama yang paripurna, aturan Islam (syariat) bukan hanya dijadikan panduan ketika beribadah langsung kepada Allah semata (hablum minallah). Syariat pun mengatur hubungan antara manusia dengan sesama (hablum minannas), bahkan hubungan manusia dengan dirinya sendiri (hablum minan nafsihi) dalam kehidupan masyarakat.
Aturan hablum minannas mengarahkan tiap individu untuk saling peduli dengan lainnya. Hubungan yang dijalin bukan sekadar untuk peraihan manfaat dan kepentingan (maslahat) semata. Dengan prinsip peraihan nilai insaniyah (kemanusiaan), relasi yang dibangun dipenuhi dengan rasa saling mengasihi sesama makhluk Allah. Terlebih kepada sesama muslim, maka rasa kasih dan sayang wajib dijalin.
Syariat juga mengajarkan bagaimana adab dalam bertetangga. Dimana satu dengan lainnya wajib memperhatikan hak dan kewajiban. Allah Swt. berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu ….” (TQS. An-Nisa: 36)
Di antara hak tetangga adalah tidak mengganggu satu dengan lainnya, dan saling melakukan perbuatan yang makruf dan mencegah dari kemungkaran. Di antara perbuatan makruf yaitu peduli dengan kondisi masing-masing, berusaha saling mengunjungi, membantu kesulitan, jika sakit maka ditengok, jika meninggal maka tunaikan haknya dengan bertakziyah dan mempulasarai jenazahnya, dan seterusnya.
Semua itu dilakukan dengan sepenuh kesadaran dan keikhlasan hanya berharap balasan berupa pahala dari Allah Ta’ala, bukan untuk peraihan materi dan maslahat.
Adapun negara dan penguasa telah diamanahkan oleh syariat untuk mengurus semua urusan rakyat dengan sebaik-baiknya. Kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat wajib ditunaikan dengan bersandar pada aturan Allah saja. Sandang, pangan, papan, juga kesehatan, keamanan, dan pendidikan wajib diselenggarakan serta mudah didapat dan diakses semua individu rakyat tanpa kecuali.
Rasulullah saw. bersabda, “Seorang imam (kepala negara) itu laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyat (yang digembalakannya).” (HR. Imam Al-Bukhari dan Imam Ahmad, dari sahabat Abdullah bin Umar)
Seorang pemipin dalam sistem Islam (Khalifah) tidak akan membiarkan satu pun rakyatnya kesulitan dalam menjalani urusan kehidupan, hingga semuanya akan merasa urusannya diperhatikan dan kebutuhannya dapat terpenuhi. Sehingga tak ada alasan untuk bersikap anti sosial dan individualistis.
Negara dalam sistem Islam (Daulah Khilafah) juga akan mengurus perihal pemikiran dan keyakinan yang dianut rakyat. Meski negara tak memaksa rakyat untuk urusan keyakinan agama, tetapi tetap akan bertindak tegas. Terutama jika didapati sekte-sekte yang mengarahkan pada perilaku yang berpotensi membahayakan jiwa, atau perilaku pelanggaran syariat yang bersifat publik kemasyarakatan. Dalam hal ini negara akan mencegah kemunculannya hingga membasminya jika telanjur menyebar. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.