QUETTA (Arrahmah.id) — Di kota Quetta sebelah barat daya Pakistan, penduduknya punya tradisi suka kongkow dengan teman-teman dan keluarga di kafe dan restoran pinggir jalan, seusai salat tarawih hingga makan sahur.
Salah seorang warga Quetta Mohammad Asif mengaku, ia senang kumpul-kumpul bersama sekelompok teman di restoran pinggir jalan. Mereka dan juga warga lainnya akan berada di tempar tersebut hingga jam 4 pagi hari.
Mereka sibuk mengobrol dan menikmati beberapa cangkir teh panas.
Di ibu kota provinsi Balochistan, Quetta, berkumpul dengan teman dan keluarga di kafe atau restoran pinggir jalan setelah buka puasa dan tetap berada di luar sampai makan sahur, atau sahur, telah menjadi semacam tradisi. Orang-orang berdatangan ke restoran teh yang tersebar di seluruh kota setelah berbuka puasa, biasanya setelah mereka selesai salat tarawih, dan tetap tinggal sampai subuh.
“Setelah berbuka puasa, orang sering pergi jalan-jalan dengan teman, dengan kerabat … sampai sahur, mereka duduk di luar, itu adalah cara menghabiskan waktu bagi mereka,” kata Asif kepada Arab News (18/4/2023) di Chai Kada, sebuah restoran teh terkenal yang terletak di Jalan Samungli Quetta.
“Karena ini adalah norma di sini, kami juga mengikuti norma. Itu memberi kami energi untuk duduk di sini bersama teman-teman,” kata Asif, menambahkan: “Dan teh menggandakan energi.”
Pakistan adalah importir teh internasional terbesar di dunia, menghabiskan lebih dari US$ 600 juta untuk produk tersebut setiap tahun. Menurut Asosiasi Teh Pakistan yang mewakili importir, Pakistan setiap tahun mengimpor 250 juta kilogram teh.
Tetapi dengan inflasi tertinggi dalam 50 tahun di Pakistan, harga satu kilogram teh naik menjadi Rs1.700 (sekitar Rp 89.000) tahun ini dari Rs1.400 tahun lalu, memaksa restoran teh untuk menaikkan harga secangkir teh dari Rs 60 hingga Rs 80 di bulan Ramadhan.
Terlepas dari tekanan inflasi dan cuaca dingin Quetta, orang masih berduyun-duyun ke restoran hingga larut malam, dengan penjual dan pelayan mengatakan mereka harus menggandakan pasokan teh dan susu untuk memenuhi permintaan.
“Pada hari-hari biasa, kami memesan 100 kilogram susu untuk hotel kami, tetapi di bulan Ramadan pesanan susu kami naikkan menjadi 200 kilogram dari peternakan sapi perah karena banyaknya pelanggan yang datang setelah shalat tarawih.” Khursheed Ahmed, pembuat teh berusia 25 tahun di Chai Kada, mengatakan kepada Arab News.
Saat teh terus mengalir, pelanggan terus bermunculan.
“Di Quetta, 100 persen orang berpuasa di bulan Ramadan dan mereka tetap berada di luar sampai waktu sahur,” kata Azizuddin. “Mereka pulang ke rumah pada saat sahur, jadi inilah mengapa ada begitu banyak orang di tempat kami.” (hanoum/arrahmah.id)