SURABAYA (Arrahmah.com) –Selepas azan Asar, Izza (19) beranjak meninggalkan rumahnya di Jalan Kauman III menuju Jalan Samanhudi, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Tidak hanya Izza, Wahyuni (35) yang salah seorang karyawan toko di Jalan Veteran, Gresik pun beranjak menuju tempat yang sama setelah jam kerjanya selesai pada sore hari.
Aktivitas dua orang itu, hampir sama dilakukan pula oleh mayoritas warga Gresik pada sore hari, yakni berduyun-duyun mendatangi Jalan Samanhudi yang dijadikan pusat penjualan ikan bandeng pada penghujung bulan Ramadhan.
Berburu bandeng merupakan agenda tahunan yang menjadi rutinitas warga Gresik saat tanggal 28 dan 29 Ramadhan.
“Saya sengaja datang lebih awal di pasar bandeng yang dipusatkan di Jalan Samanhudi untuk membeli bandeng yang terbesar dan terberat, di antaranya yang dijual pedagang,” tutur Izza di lokasi pasar bandeng, Jumat (17/8) seperti dirilis Antara.
Konon, mereka yakin apabila dapat menjumpai dan membeli bandeng paling berat dan besar di pasar itu, maka membawa rejeki yang banyak pada tahun depan, apalagi jika ikan dimakan bersama tetangga sekitar rumah.
Lain halnya dengan Wahyuni, warga Kelurahan Lumpur, Gresik, itu yang menyatakan bahwa perburuan bandeng sudah dilakukannya sejak lima tahun lalu.
“Ini sudah tradisi bagi warga di wilayah Giri untuk mendapatkan bandeng dengan berat minimal 3 kilogram, sebab menurut kepercayaan bila disuguhkan untuk orang banyak akan mendapatkan rejeki besar di tahun depan,” ucapnya.
Senada dengan Wahyuni, salah seorang warga bernama Farida, yang beralamat di Jalan Akim Kayat, mengatakan bahwa perburuan yang dilakukannya sudah turun temurun sejak mengikuti kakeknya.
Farida memberikan kiat saat membeli bandeng, yakni memilih yang mulutnya merah karena itu menunjukkan bandeng baru diambil dari tambak.
Salah satu pedagang bandeng, Munifah, mengatakan bahwa hadirnya pasar bandeng setiap tahun membawah berkah tersendiri, sebab penjualan bandeng dalam jumlah banyak selalu habis pada momen adanya pasar bandeng tanggal 28 hingga 29 Ramadhan.
“Saya setiap hari membawa 2 kwintal bandeng langsung dari tambak, dan ada juga kerupuk ikan laut dan bandeng bakar yang saya jual, dan selalu habis,” paparnya.
Ia mengaku, pihaknya mendatangkan bandeng dari kawasan Bayat dan Mengaree, Manyar Gresik, dan dijual dengan harga rata-rata Rp55.000 per kilogram.
Penziarah iktikaf
Budayawan Kabupaten Gresik, Mardilohong, menjelaskan bahwa pasar bandeng awalnya hadir dari kebutuhan para peziarah setelah melakukan iktikaf di makam para wali di Gresik.
“Setelah melakukan iktikaf, peziarah yang akan pulang kampung ingin membawa oleh-oleh, kemudian dicarilah makanan khas Gresik, dan ditemukan bandeng. Dari situlah mulai dikenal dengan pasar bandeng karena banyak warga yang mencari bandeng,” ungkapnya.
Pria lulusan Universitas Negeri Jember (Unej) itu tidak bisa menjelaskan secara rinci mulai abad berapa hadirnya pasar bandeng yang kini secara rutin digelar di Gresik itu.
Namun, berdasarkan sejumlah catatan sejarah, hadirnya pasar bandeng bermula dari cerita tentang Sunan Giri kala masih hidup dan memiliki ratusan santri di pondok pesantrennya di kawasan bukit Giri Kedaton, yang sekarang dikenal dengan Desa Giri, Kecamatan Kebomas.
Para santri itu memiliki kebiasaan mudik setiap menjelang lebaran, dan sebelum kembali ke kampung halamannya untuk berlebaran, umumnya para santri turun bukit menuju Kota Gresik, guna sekadar mencari oleh-oleh sesuatu yang menjadi khas Gresik.
“Karena makanan yang menjadi khas waktu itu adalah bandeng, akhirnya bandeng selalu dibawa pulang sebagai oleh-oleh,” urainya.
Pada prinsipnya, kegiatan pasar bandeng yang selalu ditutup dengan agenda lelang bandeng oleh para pejabat itu dapat menyatukan warga dari berbagai strata sosial dan menjadi tradisi leluhur pada akhir Ramadan.
“Tradisi pasar bandeng dapat menjalin silaturahmi antarwarga di berbagai lini, dan ini harus terus dilestarikan sebagai salah satu peninggalan leluhur,” ujarnya.
Ia menjelaskan, di wilayah Gresik terdapat lima sub kebudayaan yang sudah dikenal, yakni kebudayaan pesisir, kraton, perbatasan, pendatang, dan Bawean.
“Pasar bandeng yang hadir setiap tahun merupakan perwakilan dari dua sub kebudayaan, yakni pesisir dan kraton yang menyatu dalam satu kesatuan,” tukasnya.
Menurut Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata dan Olahraga di Gresik, Siswadi Aprilianto, kegiatan rutin pasar bandeng dapat mendorong industri pariwisata terutama sektor tambak di wilayah pesisir Gresik.
Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gresik akan terus mendorong kegiatan pasar bandeng dengan menghadirkan berbagai kegiatan yang sama, seperti festival memasak bandeng dan kegiatan lelang bandeng.
“Untuk acara lelang bandeng dan festival memasak bandeng berlangsung di Wahana Ekspresi Pusponegoro Tlogodendo, di situ ada lelang bandeng 150 paket yang berisi 3 kilogram per paket seharga Rp50.000,” demikian Siswadi.