SOLO (Arrahmah.com) – Tim Pengacara Muslim (TPM) mendesak pemerintah segera membentuk badan khusus untuk menangani kasus-kasus separatisme, terutama yang sedang merebak di Papua. Pemerintah harus bertindak adil, karena sebelumnya sudah membentuk tim khusus untuk menangani terorisme. Padahal tindakan separatisme sudah sama bahayanya dengan terorisme.
“Harus segera dibentuk Badan Nasional Pemberantasan Separatisme dan juga Densus Anti-Separatisme. Negara harus menjamin rasa keadilan masyarakat karena sebelumnya telah dibentuk Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT) dan Densus Anti-Terorisme,” ujar Ketua Dewan Pembina TPM, Mahendradatta, Senin (25/2/2013) seperti dilansir detikcom.
Menurut Mahendra, selain membahayakan keutuhan NKRI, lambannya penanganan separatisme bisa menimbulkan kecurigaan di masyarakat. Hal ini dikarenakan ancaman separatisme sudah sama bahayanya dengan ancaman terorisme. Jika terhadap yang dituding tindak terorisme pemerintah bisa berbuat tegas, maka hal serupa juga harus diberlakukan pada tindak separatisme.
Lebih lanjut, Mahendradatta mengatakan kasus separatisme di Papua tidak bisa diselesaikan dengan sebuah operasi biasa karena situasinya memang berbeda. Pelaku serangan adalah sebuah kelompok bersenjata yang tidak mengakui dirinya sebagai warga Indonesia. Mereka tidak hanya menyerang aparat, melainkan juga warga sipil.
Karena itu harus diberlakukan situasi khusus dan ditangani oleh tim khusus untuk menyelesaikan separatisme di Papua. Densus 88/Anti-Teror, menurut Mahendra, tidak bisa diturunkan untuk menangani kasus separatisme di Papua karena menurut UU Terorisme, sebuah tindakan kekerasan dengan latar belakang politik tidak termasuk dalam kasus terorisme.
Setelah pelakunya ditangkap, mereka juga tidak selayaknya diadili dalam peradilan sipil. Kepada para pelaku harus diterapkan hukum militer karena mereka tidak lagi mengakui dirinya sebagai warga negara Indonesia dan telah menyatakan dirinya sebagai tentara dari sebuah negara yang bukan negara Indonesia.
“Orang bisa saja menyebut mereka sipil bersenjata, tetapi mereka ini bukan sipil. Mereka itu tentara dari sebuah negara bernama Papua Merdeka. Meskipun negara tersebut tidak diakui oleh dunia, namun mereka jelas bertindak layaknya tentara sebuah negara,” lanjut Mahendra.
Karena itu, menurut Mahendra, para pelaku yang ditangkap harus diadili dalam peradilan militer dengan hukum militer. Bisa saja mereka diajukan sebagai penjahat perang untuk diadili di mahkamah militer internasional, atau bisa juga mereka diadili di Indonesia dengan diterapkan hukum militer. (bilal/arrahmah.com)