KEDIRI (Arrahmah.com) – Tim kuasa hukum ustad Nasirudin, pengasuh Pesantren Darul Akhfiya di Nganjuk memandang, penetapan kliennya sebagai tersangka dalam kasus kepemilikan KTP ganda terlalu dipaksakan.
Ahmad Rofiq, Ketua Tim Pengacara Muslim Nganjuk, menyatakannya penetapan tersangka itu merupakan sesuatu yang tidak logis dan cenderung dipaksakan. Sebab menurutnya, kepemilikan KTP ganda banyak terjadi di masyarakat terutama pada pelaksanaan Pemilukada, namun tidak pernah mendapat perhatian dari Polri.
“Langkah Polri ini sesuatu yang berlebihan, kalo kasusnya karena KTP dobel, kenapa yang menanganinya adalah Polda?” kata Ahmad Rofiq seperti dikutip Kompas.com, Selasa (20/11/2012).
Langkah kepolisian yang menahan ustad Nasirudin pun diduga cenderung karena kliennya telah dengan gamblang menceritakan kronologi penangkapannya, termasuk bagaimana perlakuan petugas yang menginterogasinya saat ia menjadi penceramah di Desa Lestari dan Warujayeng, Nganjuk, Sabtu (17/11/2012) lalu.
“Pada ceramah itu, ustad Nasir emosional dan ngomong yang berlebihan. Tidak ada pengajian itu saya kira tidak akan ada penangkapan lagi,” imbuhnya.
Rofiq mengaku akan melakukan koordinasi dengan tim pengacara muslim Surabaya untuk melakukan pembelaan. Besok, Rofiq akan ke Surabaya untuk menyampaikan penangguhan penahanan sekaligus menemui Kepala Polda Jatim untuk mengklarifikasi status yang disandang Nasirudin itu.
“Kalo memang Polri mengatakan tidak ada gerakan yang mengarah terorisme, kenapa tetap ditahan dan diperlakukan seperti teroris, kan ya kurang manusiawi.” ujarnya.
Sebelumnya, Polda Jawa Timur mengenakan status tersangka kepada Nasirudin karena kepemilikan identitas ganda, yaitu KTP yang masih berlaku hingga tahun 2015 nanti dengan nama Landung Sri Wibowo beralamatkan di Jambal, Tawangsari, Sukoharjo. KTP lainnya atas nama Nasirudin Ahmad beralamatkan di Kediri.
Atas perbuatannya itu, pengasuh pondok yang sebelumnya diusir oleh warga Desa Kepuh, Kertosono, Nganjuk ini terancam Pasal 263 KUHP juncto Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dengan ancaman 6 tahun penjara. (bilal/arrahmah.com)