JAKARTA (Arrahmah.com) – Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam Laskar FPI mengeluarkan Petisi Rakyat terkait pembunuhan enam Laskar FPI oleh aparat negara.
Dalam Petisi Rakyat tersebut TP3 enam Laskar FPI menyebutkan beberapa tuntutan terkait kasus pembunuhan enam Laskar FPI yang terjadi pada 7 Desember 2020 di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek, di antara tuntutannya yakni pengungkapan pelaku pembunuhan, menuntut Presiden RI untuk bertanggung jawab, serta memberhentikan Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran.
Berikut isi Petisi Rakyat untuk Penuntasan peristiwa Pembunuhan Enam Laskar FPI oleh Aparat Negara yang diterima oleh koresponden arrahmah.com:
Petisi Rakyat
untuk
Penuntasan Peristiwa Pembunuhan
Enam Laskar FPI oleh Aparat Negara
Proses penyelidikan peristiwa pembunuhan atas enam warga sipil (Laskar FPI) yang terjadi pada 6-7 Desember 2020 masih jauh dari harapan dan justru cenderung berlawanan dengan kondisi objektif dan fakta-fakta di lapangan. Baik Polri maupun Komnas HAM telah memberikan laporan penyelidikan yang dapat dianggap menggiring opini menyesatkan dan menutupi kejadian yang sebenarnya.
Mencermati sikap Pemerintah dan sikap Komnas HAM RI, kami yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa pembunuhan terhadap enam laskar FPI merupakan pembunuhan secara langsung terhadap penduduk sipil oleh aparat negara yang didahului dengan penyiksaan dan dilakukan secara sistematik. Oleh karena itu kejahatan ini memenuhi kriteria sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against Humanity), sehingga merupakan Pelanggaran HAM Berat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Kejahatan sistematik ini terjadi didasarkan pada pra kondisi operasi kontra propaganda oleh Pemerintah melalui penggalangan opini, politik adu domba dan belah bambu diantara umat Islam dan rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh aparat hukum dan keamanan. Aparat negara diduga telah melakukan Pelanggaran HAM Berat melalui kebijakan keji, bengis dan diluar batas kemanusiaan, yang berujung pada hilangnya nyawa enam laskar FPI pada 7 Desember 2020.
Berdasarkan kesaksian dari Pengurus FPI, laskar FPI tidak memiliki senjata, tidak pernah melakukan penyerangan, sehingga dengan demikian tidak mungkin terjadi baku tembak. Karena itu banyak pihak, termasuk Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam laskar FPI meyakini yang terjadi adalah pembunuhan dan pembantaian yang direncanakan sebelumnya. TP3 menilai, apa pun alasannya, tindakan aparat negara sudah melampaui batas dan di luar kewenangan, yakni menggunakan cara-cara kekerasan di luar prosedur hukum dan keadilan, sehingga wajar disebut sebagai extrajudicial killing.
Tindakan brutal aparat pemerintah ini merupakan bentuk penghinaan terhadap proses hukum dan pengingkaran atas azas praduga tidak bersalah dalam penegakan hukum dan keadilan. Sehingga dapat dianggap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan peraturan yang berlaku. Karena itu TP3 mengutuk dan mengecam keras para pelaku pembunuhan enam laskar FPI tersebut, termasuk atasan dan pihak-pihak terkait.
Dengan status sebagai Pelanggaran HAM Berat, maka pembunuhan enam laskar FPI merupakan pelanggaran terhadap Statuta Roma Tahun 1998 dan Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment yang telah diratifikasi melalui Undang Undang No.5 Tahun 1998. Karena itu proses hukumnya harus dilakukan melalui Pengadilan HAM sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No.26 Tahun 2000.
Sampai saat ini, Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia belum memberikan pertanggungjawaban publik atas peristiwa pembunuhan enam Laskar FPI. Bahkan pemerintah tidak merasa perlu untuk menyampaikan permintaan maaf atau belasungkawa kepada keluarga korban. Hal ini merupakan pengingkaran terhadap hak-hak korban dan keluarganya yang semestinya dijamin oleh negara seperti terkandung dalam UU No.13 Tahun 2006 jo UU No.31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
TUNTUTAN
Sehubungan dengan terjadinya pelanggaran HAM berat oleh aparat negara, maka TP3 bersama segenap komponen bangsa di seluruh Indonesia yang peduli terhadap penegakan hukum dan keadilan, serta pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, dengan ini mengajukan tuntutan sebagai berikut:
1. Menuntut agar nama-nama para pelaku pembunuhan enam anggota Laskar FPI yang dilaporkan Komnas HAM kepada Presiden Republik Indonesia segera diumumkan.
2. Menuntut Presiden Republik Indonesia sebagai kepala pemerintahan untuk ikut bertanggung jawab atas tindakan sewenang-wenang aparat negara dalam peristiwa pembunuhan tersebut.
3. Mendesak Presiden Republik Indonesia untuk memerintahkan Kapolri memberhentikan Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran sebagai anggota Polri, sehingga proses hukum kasus pembunuhan enam anggota Laskar FPI dapat dilakukan secara obyektif, terbuka, dan berkeadilan.
4. Mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna menyelidiki kasus pembunuhan atau pembantaian enam anggota Laskar FPI yang diduga kuat bukan sekadar pembunuhan biasa, tetapi terkait dengan persoalan politik kekuasaan;
5. Mendukung Tim Advokasi yang telah melakukan pelaporan kepada International Criminal Court di Den Haag dan Committee Against Torture di Geneva, serta mendesak kedua lembaga Internasional tersebut untuk segera melakukan langkah penyelidikan termasuk pemanggilan pihak-pihak yang bertanggungjawab atas pembantaian enam laskar FPI sebagai tindak lanjut dari pelaporan Tim Advokasi tersebut.
6. Menuntut negara bertanggungjawab kepada para korban dan keluarganya, sesuai Pasal 7 UU No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam bentuk:
a. Memberikan keadilan kepada para korban dengan menghukum para pelaku pelanggaran;
b. Meminta maaf kepada para korban dan keluarganya dan mengakui adanya pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 7 Desember 2020 yang menewaskan enam korban;
c. Memberikan layanan medis dan psikososial dengan cuma-cuma dan serta merta untuk korban lain peristiwa 7 Desember 2020 yang masih hidup;
d. memberikan kompensasi kepada para korban dan keluarganya melalui fasilitasi dari Lembaga Perlindungan Saksi & Korban (LPSK);
e. Merehabilitasi nama baik para korban yang sudah tewas dari labelling dan stigma yang dituduhkan kepada mereka secara sewenang-wenang.
7. Menuntut para pelaku pembunuhan 7 Desember 2020 untuk memberikan restitusi (ganti rugi oleh pelaku) kepada para korban dan keluarganya sesuai Pasal 7A UU No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Kami mengajak berbagai lapisan masyarakat, segenap anak bangsa di seluruh tanah air, untuk mendukung dan bergabung dalam gerakan Petisi Rakyat ini, demi tegaknya hukum dan keadilan di bumi NKRI.
Jakarta, 01 Februari 2021
(rafa/arrahmah.com)