(Arrahmah.com) – Dalam beberapa hari ini tersebar berita di media tentang tokoh yang berpidato di hadapan masyarakat dan menghina Al Quran, lalu umat Islam marah dengan apa yang diucapkan oleh tokoh ini, kenapa? Karena kitab suci mereka dihina. Sang Gubernur itu berkata “dibohongin pake surat Al Maidah ayat 51 macem-macem gitu”.
Namun Alhamdulillah ghirah Muslim Indonesia masih kuat, lalu keluar Fatwa MUI mengatakan yang disampaikan Sang Gubernur DKI adalah menghinakan Al Quran. Mulailah mereka mengadakan demo di mana-mana, sampai beberapa kota mengadakan demo untuk memenjarakan sang penista agama.
Lalu setelah demo berlangsung dan dihadiri ribuan umat muslim, mulailah kelompok liberal bermunculan, mereka berkata “Rasulullah itu pemaaf, dicaci dihina, tapi tidak pernah membalas, selalu memaafkan, apa tidak pernah dengar cerita Nabi Muhammad dilempari batu ketika berdakwah di Thoif? Apa nabi membalas? Tidak! Apa kalian menganggap diri kalian lebih suci dari nabi?!”
Dari sini dimulai pemelintiran dalil. Pertama, saya mengingatkan, cerita di Thoif itu, yang dihina adalah Nabi, bukan agama. Di dalam Maulid Diba’i dikatakan
ويعفو عن الذنب إذا كان في حقه و سببه، و إذا ضيع حق الله لم يقم احد لغضبه”
Artinya “Nabi Muhammad memaafkan kesalahan kalau bersangkutan dengan hak Beliau, tapi apabila agama Allah dinistakan, maka tak seorangpun yang bisa menahannya”.
Dan di dalam kitab Fiqh Siroh yang ditulis oleh Syekh DR. Muhammad Sa’id Ramdan Al-Buthi diceritakan, Nabi mengirim Abdullah Bin Hudzafah ke Raja Persia untuk mengajaknya masuk Islam dengan membawa surat dari Nabi Muhammad SAW. Namun saat surat itu diberikan kepada kerajaan Persia dan dibacakan kepadanya, surat tersebut diambil lalu disobek-sobek. Ketika kabar itu sampai kepada Nabi Muhammad, Nabi berkata مزق الله ملكه yang artinya “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya” [Fiqih Sirah : 277].
Perkataan Nabi tersebut tidak mengungkapkan perkataan maaf. Justru sebaliknya, itu merupakan kemarahan besar yang tidak mungkin dibendung; karena hak Allah sudah diinjak oleh Raja Persia. Sehingga, Nabi mengutuknya dengan doa yang terkenal, yaitu ” Mazzaqallah “.
Nah, jadi kisah kesabaran Nabi ketika di Thoif itu tidak bisa dijadikan dalil dalam kejadian penghinaan Al-Quran, tentu karena perbedaan sebab.
Lalu perbuatan sang gubernur itu adalah penistaan agama, Allah berfirman di dalam Al-Quran Surat At-Tahrim ayat 9, yang artinya ” Wahai Nabi lawanlah para kafir dan kaum munafik dan tegaslah kepada mereka”. Ayat ini memerintahkan kita agar bersikap tegas untuk melawan kaum kafir, dan ayat ini juga menjadi satu bab pembahasan khusus di Kitab Shohih Bukhori, yakni bab yang menjelaskan kebolehan marah dan geram dalam perkara menistakan Allah Subahanahu wa Ta’ala.
Itu dari Al-Quran, sekarang kita lihat Hadist Rasul Shallalahu alaihi wa sallam bersabda:
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه و ذالك أضعف إيمان
“Barangsiapa yang melihat suatu kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya (kekuasaannya), jikalau tidak mampu maka dengan lisan, jikalau tidak mampu maka dengan (ingkar dalam) hatinya, dan itu adalah selemah lemahnya iman”. (HR. Muslim 78, Ahmad 11460, Ibnu Hibban 307, Baihaqi 150).
Penghinaan terhadap Al-Quran jelas sekali adalah perbuatan Mungkar, jadi ya harus ditindak, bukan didiamkan. Umat Muslim Indonesia akan berdosa jika semua berdiam diri tanpa mengambil tindakan. Karena hadist ini menjelaskan bahwasanya hukum Hisbah adalah fardhu kifayah yang apabila tidak dikerjakan oleh seorangpun, maka semuanya berdosa. Maka seharusnya para Muslim Indonesia justru berterimakasih kepada para pendemo karena membantu mengugurkan kewajiban mereka, dan meninggikan agama Allah, bukan malah komentar negatif, dibilang tidak toleransi, anarkis, merusak bahkan mengotori.
Apabila tidak bisa membantu, janganlah berkomentar negatif, minimal bantu mereka dengan doa.
Jadi kepada kaum Liberal, yang mengatakan MUI mulai berpolitik, menjual agama untuk kepentingan politik, berfatwa untuk melengserkan minoritas, perlu diketahui, mereka adalah para ulama, bukan tukang koran, atau pembaca setia Google dan berfatwa dari kepala mereka. Mereka berfatwa dengan dalil Qur’an dan Hadits bukan belajar singkat dari internet, kalian itulah yang lebih mendahulukan akal kalian dari pada Allah dan Rasul, lebih meninggikan konstitusi dari pada Al-Quran dan Hadits, dan terlihatlah mana yang benar dan mana yang salah?
Sekarang kembali ke pengertian judul kita yaitu toleransi, sekarang apakah penistaan dan penghinaan ini termasuk hal yang harus ditolerir? Al-Quran dihina oleh orang kafir dan kita diam? Sebenarnya sikap diam tersebut adalah bentuk toleransi, ataukah disebabkan hilangnya ghirah agama? Saya pikir pembaca bisa menilainya sendiri.
Ali Abdurrahman Assegaf, Santri Pon.Pes Darullughah Wadda’wah dan mahasiswa Universitas Al-Ahgaff Yaman.
(*/arrahmah.com)