Oleh Sumiyah Umi Hanifah
Pemerhati Kebijakan Publik
Imbauan atau ajakan untuk terus menjaga toleransi makin mencuat di negeri ini. Kata toleransi seolah menjadi sesuatu yang “wajib” diinstruksikan kepada masyarakat (khususnya umat Islam) terlebih pada saat menjelang Natal dan Tahun Baru (Nataru) seperti sekarang ini. Pertanyaannya, apakah umat Islam selama ini dianggap masih kurang toleran, sehingga selalu mendapat “instruksi” untuk ber-toleransi?
Walikota Surabaya, Eri Cahyadi, mengajak warga Surabaya untuk memastikan kesiapan menyambut perayaan Nataru, sekaligus memperkuat toleransi beragama, yaitu dengan fokus kepada pengamanan tempat ibadah. Pengamanan tersebut dilakukan demi kenyamanan dan keamanan umat kristiani yang akan merayakan Natal. Beliau juga mengajak agar warga Surabaya tetap menjaga kerukunan antar umat beragama. Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melakukan berkoordinasi dengan seluruh gereja-gereja di wilayahnya. Bahkan, saat ini pihaknya telah menggandeng berbagai organisasi massa (ormas) beserta kepolisian untuk menjaga suasana Nataru. Tujuannya untuk mencegah terjadinya insiden yang tidak diinginkan selama perayaan Natal. (jawapos.com, Jumat, 13/12/2024)
“Setali tiga uang”, Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar, juga menyeru masyarakat untuk terus menjaga keharmonisan antar umat beragama, serta memanfaatkan momen Nataru sebagai saat yang tepat untuk memperkuat nilai-nilai kebersamaan. Bahkan, pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, telah menetapkan tanggal 26 Desember sebagai Hari Cuti Bersama Natal, dan tidak ada libur nasional tambahan hingga pergantian tahun. (radarsampit.com, Ahad, 15/12/2024)
Jargon toleransi kini semakin deras terdengar di telinga kita. Dalam setiap kesempatan, pemerintah melalui para wakilnya tidak pernah absen menggaungkan ajakan untuk menjunjung tinggi sikap toleransi antar umat beragama.
Permasalahannya, toleransi tanpa diiringi dengan pemahaman yang benar, justru akan membahayakan umat itu sendiri. Sebab, makna toleransi akhir-akhir ini makin “liar” tak terkendali. Toleransi yang lahir dari hawa nafsu manusia, bukan dari petunjuk Sang Pencipta. Akibat salah dalam memaknai toleransi, banyak umat muslim yang menjadi roboh akidahnya. Tanpa disadari, mereka telah melanggar aturan syariat, yakni mencampuradukkan perkara yang hak dan batil.
Sebagai contoh, ajaran Islam sudah jelas telah melarang umatnya mengucapkan selamat hari raya kepada non muslim, atau larangan hadir di tempat ibadah agama lain, serta larangan ikut campur dalam upacara perayaan agama lain. Inilah yang dimaksud dengan batas-batas syariat yang sekarang ini banyak dilanggar oleh umat.
Adanya toleransi yang kebablasan ini, menyebabkan banyak kaum muslim yang terjebak dalam pusaran arus pluralisme. Yakni sebuah pemahaman yang menganggap semua agama sama (benar). Padahal, di dalam Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa hanya Islam agama yang diridhai Allah Swt.
Firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya agama di sisi (diridai) Allah adalah Islam. Tidak berselisih orang-orang yang telah diberi kitab, kecuali setelah mereka memperoleh ilmu karena kedengkian diantara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh Allah sangat cepat perhitungannya.” (Q.S Ali-Imran [3]: 19)
Dengan demikian, seruan atau ajakan yang terkait dengan toleransi harus diwaspadai. Jangan sampai demi membela umat minoritas, tetapi menghancurkan akidah kaum mayoritas. Negara hendaknya bersikap adil dalam mengambil kebijakan terkait imbauan dalam menerapkan toleransi beragama di tengah masyarakat.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, yang terdiri dari berbagai suku dan agama, sehingga sudah selayaknya hidup berdampingan secara damai dan saling bertoleransi antar umat beragama. Demikian juga dengan agama Islam, yang memiliki aturan untuk menghormati dan menjalin kerukunan dengan agama lain, akan tetapi yang harus kita taati adalah syariat Islam, bukan seruan manusia. Seruan atau ajakan manusia boleh saja ditaati, apabila seruan tersebut sesuai dengan syariat Islam.
Oleh karena itu, tidak perlu ada dialog terbuka dengan penganut agama lain, terkait dengan pandangan hidup umat (masyarakat). Sebab itu sudah melampaui batas keyakinan atau kepercayaan yang bersifat individualistik, bukan sesuatu yang perlu diperbincangkan di ranah publik.
Selama ini umat Islam adalah agama mayoritas yang terkenal aman dan cinta damai. Namun mengapa seringkali mendapatkan fitnah keji dari musuh-musuh Islam?. Kaum kafir Barat seperti Amerika Serikat dan sekutunya selalu menuding bahwa muslim adalah teroris, padahal dunia sudah menyaksikan sendiri siapa sesungguhnya yang pantas disebut teroris?
Adanya unjuk rasa yang menolak pembangunan Pondok Pesantren (ponpes) Mamba’ul Ulum Nur al-Fitrah di Perumahan Jaya Asri Entro, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Papua, pada bulan Juli 2024, yang dilakukan oleh Jemaah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Penabur Jaya Asri, telah menunjukkan bahwa telah terjadi tindakan intoleran oleh kaum Kristiani, bukan oleh umat Islam.
Sistem sekuler demokrasi telah yang diterapkan di negeri ini menjadi pemicu lemahnya pemahaman umat akan makna toleransi. Sekularisme dengan landasan pemisahan agama dari kehidupan telah menjauhkan umat dari ajaran agamanya. Dalam kehidupan sehari-hari, aturan agama tidak diterapkan secara menyeluruh (kafah), hanya sebagian kecil saja yang diambil. Bahkan, banyak umat Islam yang malu mengakui identitasnya sebagai muslim. Sehingga wajar apabila pola pikir dan pola sikap mereka semakin jauh dari Islam.
Dengan demikian, seharusnya ada pihak berwenang yang memahamkan kepada masyarakat (umat) makna toleransi yang sebenarnya. Dalam sistem pemerintahan Islam, negara memiliki kewajiban untuk menjaga akidah umat.
Makna toleransi yang sesungguhnya dalam Islam yaitu ketika kita membiarkan (tidak mengganggu) saudara kita (non muslim) menjalankan ibadah sesuai ajaran agamanya. Mencampuradukkan perkara yang hak dan batil adalah bentuk toleransi yang jor-joran, dan ini akan mengakibatkan akidah umat tergadaikan. Hanya Islam satu-satunya sistem kehidupan yang layak diterapkan. Demokrasi hanya melahirkan pemimpin yang tidak amanah, bahkan membahayakan akidah umat.
Walla’hualam bis shawwab