Arrahmah.Com – Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (Qs. Ali Imran 3:118)
BAGI sementara tokoh Islam Indonesia, toleransi beragama, bagai kata bertuah. Barangkali khawatir dikategorikan bersimpati pada kelompok Islam garis keras, kadang harus rela mengorbankan aqidah, demi toleransi beragama. “Sebagai penduduk mayoritas kita harus toleran terhadap pemeluk agama lain yang minoritas, termasuk tidak merasa paling be-nar agamanya atau memaksakan kehendak,” kata mereka.
Adalah Ketua Umum PP Muham-madiyah, Prof. Dr. Din Syamsuddin, pernah menyampaikan sikap penuh toleransi di hadapan para pendeta Kristen, bahwa dia dalam kapasitasnya sebagai pimpinan Muhammadiyah mempersilakan umat Kristiani merayakan Natal menggunakan fasilitas tempat yang dimiliki Muhammadiyah. Demikian juga pejabat dan tokoh-tokoh organisasi Islam suka dan sering menunjukkan sikap toleransinya menghadiri Natal bersama, walaupun MUI. ketika Buya HAMKA jadi ketuanya telah mengeluarkan fatwa haram menghadiri Natal bersama. Bukan karena mereka tidak mengetahui adanya fatwa, tetapi substansi fatwa itu sendiri tidak mereka kehendaki.
Bandingkan dengan sikap teguh to-koh Kristen, menggunakan nama mirip-mirip orang Islam, Mr. Amir Syari-foeddin. Dalam sebuah Konferensi Zending-zending -bumi putera dan Belanda, menjelang Indonesia Merdeka, Mr. Amir Syarifoeddin seorang pe-mimpin Gerindo (Gerakan Kristen Indonesia) mengingatkan kepada para peserta konferensi bahwa, jika nanti dibentuk parlemen Indonesia (Indo-nesische Ministerie), Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) mengajukan permintaan supaya komposisi anggota parlemen yang beragama Islam terdiri dari tiga perempat bagian (dari seluruh anggota). Begitu juga PSI (Partai Sarikat Islam) meminta supaya kesatuan Indonesische Staat bersifat Islam.
Adapun kita, kaum Kristiani hen-daklah memiliki dasar dan cita-cita kita sendiri, jangan kita sebagai kaum Kristen terdesak oleh orang Islam dan nasionalisten. Maka Amir Syarifoeddin pun meminta fatwa kepada para pendeta tentang sikapnya sebagai se-orang Kristen. Apakah harus membuat partai Kristen sendiri atau memasukkan dasar dan cita-cita Kristen ke dalam partai politik yang sudah ada? Seorang Pendeta Verkuyl mengatakan : “Saya tidak akan menjawab pertanyaan anda itu. Cobalah anda bertanya kepada Tuhan!”.
Lain Din lain pula M. Natsir, ketika menghadapi persoalan umat dalam me-nentukan sikap dan langkah per-juangan. Dalam sebuah catatan yang di-himpun oleh Endang Saefuddin Anshari, MA, “Islam dan Kristen di Indonesia” yang diterbitkan Media Dakwah Jakarta, 1983 menyertakan ucapan M. Natsir mengatakan. “Jika Amir Syarifoeddin, cs berniat sebagaimana ucapannya, “akan memasukkan cita-cita dan dasar-dasar sebagai seorang Kristen pada pergerakan politik yang ada…”, dan pendetanya memberi fatwa agar dia bertanya kepada Tuhan. Maka kami orang Islam pun harus bertanya terlebih dahulu kepada Tuhan kami, sebelum menerima Mr. Amir Syarifoeddin se-bagai pemimpin,” katanya tegas.
“Bertanyalah kepada Tuhan! Wahai umat Muhammad Saw. Marilah kita bersama-sama menerima jawaban Tuhan yang secara tegas dan jelas: “…Dan tetapkanlah pendirianmu sebagaimana yang telah Aku perintahkan. Dan jangan kamu menurutkan hawa-hawa nafsu mereka. Dan katakanlah, “Aku beriman kepada kitab yang telah diturunkan Allah, dan aku diperintah supaya berlaku adil antara kamu. Allah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amalan kami dan bagi kamu amalan kamu. Tak perlu ada hujjah antara kami dengan kamu (sekarang ini). Allah akan mempertemukan kita; dan kepada-Nya kelak kita akan kembali.” (Qs. Asy-Syura 42:15).
“Marilah kita berpahit-pahit. Lanaa a’maalunaa wa lakum a’maalukum”! Kita sama sekali tidak ada urusan pribadi dengan Amir Syarifoeddin, cs. Urusan ini bukan urusan individu. Apa yang ia beberkan di muka Majelis pendeta dan pemimpin-pemimpin Kristen, bukanlah satu percaturan ro-hani yang hanya ada pada jiwa seorang Amir Syarifoeddin saja. Bukan! Dia hanyalah sekadar contoh, satu ‘ciri’ yang telah nyata dari satu keadaan, dari satu verschijnsel yang umum. ‘Ala Kulli Hal, kita masih menghargai sikap Mr. A. Syarifoeddin, cs karena mereka telah berani berpahit-pahit, “de zaak zuiver stellen”, kata M. Natsir tegas, berterus terang, terkendali tanpa emosi.
Rasa-rasanya akan lebih besar penghargaan kita kepada sikapnya yang berani menanggung konsekuensi dari ke-Kristenannya, daripada sikap dan langkah-langkah setengah hati dari tokoh-tokoh kaum Muslimin sendiri, yang dengan susah payah berusaha menutup-nutupi dan menyamar-nyamarkan perbedaan dasar dan tujuan mereka antara pergerakan Islam dan yang bukan berdasarkan Islam.
Semua itu dilakukan dengan alasan ‘menjaga persatuan’, walaupun mereka tahu, bahwa persatuan yang mereka ‘beli’ itu, adalah persatuan campur aduk yang semu, goyang dan goyah. Walaupun mereka insaf bahwa membeli ‘persatuan’ semacam itu dengan menjual kaidah-kaidah pokok dari agama kita sendiri. Seakan-akan mereka penuh was-was memikul konsekuensi ke-Islaman mereka! Na’udzu billahi min dzalik!
(Artikel ini kerjasama Arrahmah.Com dengan Risalah Mujahidin)
Risalah Mujahidin
Rubrik Munaqosyah edisi 15
Ar Rahmah Opini
http://www.arrahmah.com
The State of Islamic Media