DHAKA (Arrahmah.com) – Empat pendukung ormas Islam ditembak hingga tewas di Bangladesh pada Jumat (26/3/2021) dalam demonstrasi berujung kekerasan atas kunjungan Perdana Menteri India Narendra Modi ke Dhaka, kata para pejabat.
Itu terjadi ketika Bangladesh menandai 50 tahun kemerdekaan dari Pakistan dengan perayaan yang difokuskan pada pencapaian ekonominya, yang menurut kelompok aktivis telah dibayangi oleh pelanggaran hak asasi manusia.
Polisi mengatakan empat jenazah anggota Hefazat-e-Islam, sebuah kelompok Islam yang selalu diklaim media pro-Barat sebagai garis keras, dibawa ke Rumah Sakit Universitas Kedokteran Chittagong setelah kekerasan meletus di Hathazari, sebuah kota pedesaan tempat para pemimpin utama kelompok itu bermarkas.
“Kami menemukan empat mayat di sini. Mereka semua terkena peluru. Tiga dari mereka adalah pelajar madrasah dan satu lagi seorang penjahit,” Alauddin Talukder, seorang inspektur polisi di rumah sakit tersebut, mengatakan kepada AFP.
Dia mengatakan setidaknya empat pengunjuk rasa lainnya terluka parah tetapi tidak mengatakan siapa yang melepaskan tembakan.
Ruhul Amin, administrator pemerintah kota Hathazari, mengklaim hingga 1.500 pendukung Hefazat menyerang sebuah kantor polisi sambil meneriakkan slogan-slogan anti-Modi.
“Mereka menyerang kami secara tiba-tiba,” klaimnya, tanpa memastikan apakah ada pengunjuk rasa yang tewas.
Hathazari adalah rumah bagi salah satu madrasah terbesar di Bangladesh dan merupakan markas besar Hefazat, yang dibentuk pada tahun 2010 dan diyakini sebagai organisasi massa Islam terbesar di negara itu.
Juru bicara Hefazat Mir Idris menuduh polisi “melepaskan tembakan” ke pendukung “damai” mereka.
“Ada sekitar 5.000 pengunjuk rasa. Mereka semua adalah pendukung Hefazat dan sebagian besar adalah pelajar madrasah. Mereka memprotes kunjungan Modi dan tindakan polisi terhadap pengunjuk rasa di Dhaka,” katanya.
Dia merujuk pada bentrokan kecil lainnya di kompleks masjid terbesar di negara itu di ibukota Dhaka setelah salat Jumat ketika polisi menembakkan peluru karet dan gas air mata ke arah pendukung yang melempar batu bata.
Setidaknya sembilan dari pengunjuk rasa ini terluka, katanya.
Hefazat dikenal dengan jaringan nasionalnya dan protes berskala besar yang menuntut undang-undang penistaan di Bangladesh. Pada 2013 polisi bentrok dengan puluhan ribu pendukung Hefazat di Dhaka, menyebabkan hampir 50 orang tewas.
Selain Hefazat, beragam kelompok Bangladesh – termasuk pelajar, kelompok kiri, dan kelompok Islam lainnya – telah melakukan protes selama beberapa hari terakhir menentang kunjungan Modi.
Mereka menuduh Modi memicu ketegangan agama dan menghasut kekerasan anti-Muslim di negara bagian Gujarat, India pada tahun 2002, yang menewaskan sekitar 1.000 orang. Modi adalah menteri utama Gujarat saat itu.
Pada Kamis (25/3) lebih dari 40 orang terluka, termasuk empat petugas polisi, selama demonstrasi mahasiswa. Sedikitnya 33 orang ditahan karena kekerasan.
Bentrokan juga terjadi di Universitas Dhaka yang dikelola negara pada Kamis malam (25/3), ketika aktivis mahasiswa pro-pemerintah diduga memukuli puluhan pengunjuk rasa mahasiswa anti-Modi.
Kekerasan ini telah membayangi perayaan 50 tahun kemerdekaan Bangladesh dari Pakistan.
Bekas Pakistan Timur muncul sebagai negara baru pada tahun 1971 setelah perang brutal yang melibatkan India yang ditandai dengan pelanggaran mengerikan yang menurut Bangladesh menewaskan sebanyak tiga juta orang dan membuat lebih banyak lagi orang terlantar.
Selama beberapa dekade, negara ini dilanda kelaparan, kudeta, dan bencana alam, tetapi dalam beberapa tahun terakhir di bawah Perdana Menteri Sheikh Hasina negara itu telah meledak secara ekonomi dengan PDB per kapita lebih dari empat kali lipat sejak tahun 2000.
Tetapi di bawah Hasina, 73, putri dari “bapak pendiri” Bangladesh dan perdana menteri sejak 2009, Sheikh Mujibur Rahman, situasi hak asasi manusia telah memburuk secara tajam, kata para aktivis.
“Pemerintah Bangladesh seharusnya tidak diperbolehkan menggunakan momen perayaan ini untuk meletakkan dasar bagi 50 tahun pelanggaran hak asasi, atau menyembunyikan pelanggarannya dengan menampilkan dirinya di panggung dunia yang berbeda dengan bagaimana tindakannya terhadap warganya sendiri,” bunyi sebuah pernyataan bersama oleh sembilan kelompok hak asasi, termasuk Human Rights Watch. (Althaf/arrahmah.com)