SHARM EL SEIKH (Arrahmah.com) – Masalah kebebasan berekspresi di media baru, menjadi isu yang sangat serius pada ajang Internet Governance Forum (IGF) di Sharm El Sheikh – Mesir. Kebebasan berekspresi, sebagai konsensus internasional yang diakui pula oleh PBB, adalah hal yang harus dijunjung tinggi.
Diskusi menghangat pada sesi utama di hari ke-2, Senin (16/11), terkait dengan perlu atau tidaknya kebebasan berekspresi diatur dalam peraturan pemerintah. Pastinya, jika memang perlu ada peraturan pemerintah, sudah seharusnya peraturan tersebut adalah menjamin kebebasan berekspresi itu sendiri, ketimbang sebaliknya.
Peraturan pemerintah, dalam diskusi yang juga menghadirkan panelis dari aktivis komunitas peneliti kebebasan berekspresi OpenNet Asia Initiative di mana saya termasuk bagian darinya, diminta untuk tidak kemudian justru menghambat atau membatasi hak asasi manusia.
Kalaupun ada yang perlu dihambat dan dibatasi, adalah penghambatan atau pembatasan kepada hal-hal yang ujung-ujungnya hanya memberikan proteksi kepada segelintir pihak saja untuk dapat berekspresi!
Penghambatan dan pembatasan juga dimungkinkan, jika memang ada kaitannya dengan masalah keamanan dan kenyamanan anak-anak di Internet, penyebaran kebencian terhadap agama atau ras tertentu, dan juga masalah keamanan negara semisal terorisme. Dan itu harus dilakukan oleh pihak-pihak yang berkompeten dan netral dalam konteks untuk melindungi kebebasan berekspresi itu sendiri.
Jangan sampai justru kewenangan untuk melakukan penghambatan dan pembatasan tersebut akhirnya berujung pada menghasilkan sebuah teknologi untuk melakukan penyensoran dan filtering atas komunikasi elektronik yang rentan disalahgunakan untuk keperluan penguasa atau segelintir pihak saja, untuk melakukan penekanan kepada pihak lain.
Kewenangan untuk melakukan penghambatan dan pembatasan haruslah pada kriteria yang benar-benar dibatasi, seperti disebut di atas. Semisal jika terkait dengan masalah perlindungan anak, kebencian terhadap rasa dan agama tertentu sertaterorisme.
Tetapi kita, seperti ditekankan oleh para panelis, harus menolak penghambatan dan pembatasan yang cenderung hanya untuk melindungi ideologi, filosofi, ataupun situasi politik tertentu. Baik yang dilakukan oleh pemerintah, partai politik, organisasi masyarakat atau siapapun yang memiliki kepentingan langsung ataupun tidak langsung pada (hasil dari) pembatasan dan penghambatan hak berekspresi dan berinformasi di media baru tersebut. (dtk/arrahmah.com)