SUWAYDA (Arrahmah.id) — Seorang tokoh warga Druze menyatakan menolak pemerintahan Islam dan lebih memilih pemerintahan yang terdesentralisasi di Suriah.
“Pemerintahan agama dan Islam hanya membawa negara dan rakyatnya pada perang dan konflik. Ini sepenuhnya ditolak oleh kami,” Sheikh Marwan al-Rizq, seorang komandan di Ruang Operasi Suwayda, seperti dikutip dari Rudaw (5/1/2025).
Warga Suwayda dan para pemimpin mereka mengatakan mereka lebih menyukai negara sekuler dan demokratis dengan kekuasaan yang dibagi di antara berbagai wilayah Suriah.
Mereka khawatir bahwa otoritas HTS dapat memberlakukan aturan Islam yang ketat dan mengancam kelompok minoritas seperti Kurdi, Druze, Kristen, dan Alawi.
“Setiap warga Suriah adalah saudara kami. Kami tidak membedakan antara orang Arab, Asiria, Kristen, Islam, dan Syiah. Gagasan mayoritas dan minoritas di Suriah diimpor oleh penjajah dan kami menolaknya. Warga Suriah adalah sahabat semua komunitas,” imbuhnya.
Penolakan akan adanya pemerintahan Islam pun mereka tambahin dengan menolak seruan Ahmad asy Syaraa, atau lebih dikenal sebagai Abu Muhammad al-Jaulani, agar kelompok-kelompok bersenjata meletakkan senjata mereka.
Milisi Druze bahkan memaksa konvoi militer yang terkait dengan kelompok perlawanan Suriah Hai’ah Tahrir Syam (HTS) untuk kembali ke Damaskus tanpa memasuki provinsi Suwayda.
Pemimpin spiritual Druze, Sheikh Hikmat al-Hijri mengatakan bahwa pelucutan senjata bergantung pada jaminan konstitusional.
Syaraa mengatakan dalam sebuah wawancara baru-baru ini bahwa mereka mungkin memerlukan waktu tiga tahun untuk menyusun konstitusi baru bagi negara tersebut.
Druze adalah kelompok etnoreligius yang sebagian besar ditemukan di Lebanon, Suriah, dan Israel.
Di Suwayda, kota selatan Suriah yang merupakan rumah bagi komunitas Druze yang besar, banyak orang menganggap pemerintahan yang terdesentralisasi adalah cara terbaik untuk menjamin hak-hak mereka dan hak-hak minoritas lainnya di seluruh negeri. (hanoum/arrahmah.id)