Beberapa hari sebelum Presiden Mauritania yang baru terpilih dilantik, pihak keamanan setempat melakukan rangkaian penangkapan terhadap kelompok yang diduga dari jamaah Salafi, yang menilai bahwa penyelenggaraan pilres tidak sesuai syariat.
Menurut sumber-sumber keamanan Mauritania, setelah diadakan pengintaian sangat detil, yang melibatkan sejumlah perwira tinggi kepolisian dan intelejen, sedikitnya 14 orang berhasil dibekuk pihak keamanan. Ditambahkan sumber itu, di antara mereka yang ditangkap terdapat tiga warga Aljazair dan dua warga Tunisia.
Lebih lanjut sumber itu menjelaskan, di antara mereka yang ditangkap terdapat seorang perwira tinggi Mauritania yang dituduh mencuri bahan-bahan peledak dari gudang senjata militer Mauritania, yang kemudian ia jual ke pihak yang diduga punya kontak dengan Jaringan Al-Qaidah di Afghanistan. Saat ini, kata sumber tadi, barang bukti berupa bahan peledak dan sejumlah uang telah diamankan.
Sementara itu, surat kabar terbitan Mauritania Akhbaar Nouakchott, edisi Selasa (2/4) menjelaskan, warga Aljazair yang ditangkap aparat itu telah tinggal di Nouakchott selama beberapa tahun. Sedangkan dua warga Tunisia yang ditangkap di perbatasan Mauritania-Maroko, diduga punya hubungan dengan Jaringan Al-Qaidah Maroko.
Sumber-sumber di pemerintahan mengklaim telah menemukan rencana aksi kelompok Salafi itu. Sejumlah lokasi vital menjadi target serangan yang rencananya akan dilakukan beberapa hari sebelum Sayyidi Walad Syaikh Abdullah, presiden terpilih, dilantik di Nouakchott.
Mauritania adalah negara di benua Afrika yang baru saja menuntaskan masa-masa transisi dengan terpilihnya Sayyidi Walad sebagai presiden Mauritania baru melalu proses pilpres yang demokratis dan bebas. Rencananya, pada 19 April ini Sayyidi Walad akan dikukuhkan sebagai presiden dalam sebuah acara pelantikan kenegaraan.
Atas terpilihnya Sayyidi Walad itu, semua kekuatan politik di Mauritania mengaku puas atas hasil pilpres tersebut. Namun, Al-Khadim Walad As-Saman tiba-tiba muncul di Televisi Al-Jazeera dan mengaku sebagai juru bicara Salafi Mauritania. Ia menyatakan menolak hasil pilpres itu dengan alasan tidak didasarkan atas pemikiran syariat.
Kendati demikian, para pengikut Salafi yang masih mendekam di sel-sel sipil Mauritania menolak keras pernyataan As-Saman itu. Mereka mengatakan bahwa Jaringan Salafi di Mauritania sebenarnya tidak ada.
Pemerintah Mauritania pada tahun 2005 lalu secara resmi mengumumkan adanya jaringan Salafi pertama di negeri itu, di bawah komando Mahfud Walad Idum, Ahmad Mazid Walad Abdul Haqq (diduga mantan asisten Usamah Bin Ladin), Imam Muhammad Walad Ajdud dan Ahmad Walad Al-Kuwariy.
Sejak tahun 2005, aparat keamanan terus melancarkan penangkapan terhadap anggota jaringan Salafi ini. Sampai saat ini tercatat 21 tokoh penting yang masih dalam penahanan tanpa adanya proses pengadilan, padahal pihak pengadilan sudah menyatakan mereka bebas bersyarat.(ilyas/iol)