JAKARTA (Arrahmah.com) – Gubernur DKI Jakarta Basuki (Ahok) mempunyai hak konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang Pilkada. Jadi dalam hal kedudukan hukum atau legal standing dia sebagai Pemohon tampaknya tidak akan bermasalah di Mahkamah Konstitusi (MK). Hanya saja kata Pakar Hukum Tata Negara dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin, dari sisi etika ketatanegaraan, muncul problem ketika seorang Gubernur sebagai “pelaksana undang-undang” hendak menyoal ketentuan yang diatur dalam undang-undang.
“Ketika dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, Ahok kan sudah mengucap sumpah/janji untuk menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya,” kata dia.
Untuk itu, menurutnya, Ahok sebaiknya mencabut permohonan uji materinya atas Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah terkait dengan pasal yang mengatur calon petahana wajib cuti selama masa kampanye berlangsung.
“Saya menyarankan Pak Basuki atau Ahok mencabut saja permohonannya itu. Sebab ini terkait dengan etika bernegara yang seharusnya ditunjukkan oleh Pak Ahok, yaitu etika politik dan pemerintahan yang tertuang dalam TAP MPR Nomor VI Tahun 2001,” ujar Pakar Hukum Tata Negara dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin dalam pesan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Ahad (7/8/2016).
Dia menjelaskan undang-undang Pilkada yang didalamnya mengatur ketentuan cuti selama masa kampanye bagi calon petahana itu kan juga merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan yang semestinya dilaksanakan dengan selurus-lurusnya oleh Pak Ahok dalam posisinya sebagai petahana Gubernur. Jadi aturan itu seharusnya bukan untuk dipersoalkan, melainkan semata-mata untuk dijalankan oleh Ahok.
“Tetapi jangan dianggap pasal tentang ketentuan cuti bagi petahana dalam Pilkada itu tidak boleh diuji di MK loh ya. Ketentuan manapun dalam undang-undang boleh saja diuji, tetapi sebaiknya tidak diajukan oleh pejabat negara yang telah menjadi pelaksana undang-undang. Biarlah pihak lain saja yang menjadi pemohonnya,” kata dia.
Selain daripada itu, Said menilai tidak tepat jika kampanye hanya dipandang sebagai hak bagi calon, sehingga hak tersebut dianggap boleh-boleh saja untuk tidak digunakan.
“Mengapa? Sebab kegiatan kampanye juga harus dipandang sebagai hak bagi pemilih untuk mendengarkan langsung visi, misi, dan program dari calon bersangkutan. Jadi kalau ada calon yang tidak mau melaksanakan kampanye, itu sama saja artinya calon tersebut telah menghilangkan hak bagi pemilih,” kata dia.
Dia mengatakan maksud pembentuk undang-undang mewajibkan cuti selama masa kampanye kepada calon petahana adalah dalam rangka menciptakan kesetaraan persaingan antara incumbent dengan calon non incumbent.
“Kalau petahana itu kan bisa setiap waktu menjumpai pemilih dengan berbagai macam alasan, termasuk melalui media cetak dan elektronik. Nah, kalau calon yang bukan petahana kan tidak bisa melakukan hal serupa,” kata dia.
Apalagi selama masa kampanye itu petahana rentan menggunakan fasilitas negara/pemerintah. Ini tentu akan menimbulkan persaingan politik yang tidak sehat dalam kontestasi Pilkada.
“Jadi, seandainya pun MK kelak menerima legal standing Pak Ahok sebagai Pemohon, bukan berarti MK pasti akan mengabulkan permohonan. Saya justru berkeyakinan MK akan menolak Permohonan itu,” ungkap dia.
Diketahui, Ahok pada Selasa (2/8) telah menyerahkan berkas permohonan uji materi UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi, terkait dengan pasal yang mengatur calon petahana wajib cuti selama masa kampanye berlangsung.
(azm/arrahmah.com)