JAKARTA (Arrahmah.com) – Sebagai upaya dalam berperan aktif memerangi dan mengawasi indikasi bibit-bibit “terorisme”, TNI pun memantau penceramah yang mengajarkan paham “radikalisme”.
“Memantau, mengawasi, itu bukan hanya tugas TNI. Masyarakat juga harus ikut mengawasi, apakah suatu kegiatan di suatu tempat terkesan ada provokasi, ada memanaskan situasi. Masyarakat harus melaporkan sebenarnya, bukan hanya TNI AD,” kata KSAD Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo di Markas TNI AD, di Jakarta, pada Selasa (27/7/2011).
Pramono juga meminta masyarakat agar tak sungkan melapor ke TNI seandainya ada tokoh atau kelompok yang mengajarkan paham kekerasan. Ia berpendapat segala sesuatu yang berdampak “negatif” harus diinformasikan.
“Kalau tidak anak-anak yang masih belia itu dibina oleh orang yang tidak jelas. Nggak boleh ini,” ujarnya.
Dia menegaskan, sebenarnya bukan hanya TNI tetapi tokoh masyarakat juga memiliki peran penting untuk mencegah paham “radikalisme”.
“Kita punya kesepahaman itu tanggung jawab kita bersama-sama. Nah ini tanggung jawab bersama. Informasikan kami. Lengkapilah kami. Kami akan koordinasikan dengan rekan-rekan berbaju cokelat (Polri),” terangnya.
Sayangnya ia tidak menjelaskan paham “radikalisme” yang seperti apa yang dimaksud. Apakah ketika seseorang mengisi kajian atau membedah tafsir terkait ayat jihad yang ada dalam Al Qur’an juga dikategorikan ke dalam paham radikalisme? Karena selama ini masyarakat dibingungkan dengan opini “paham radikalisme” yang kerap kali dikaitkan dengan kelompok-kelompok Islam tertentu.
Padahal dalam praktek nyatanya, operasi kepolisian khususnya Densus 88 yang kerap kali tidak mengindahkan “posisi praduga tak bersalah” dan aksi tembak di tempat (hingga terbukanya kasus penembakan warga sipil oleh Densus 88 saat pengejaran “teroris” di Solo), juga merupakan aksi radikal. Wallohua’lam. (dns/arrahmah.com)