Oleh Suryani
Pegiat Literasi
Sungguh malang nasib Lilis Ule (44) asal kampung Sindangwargi, Rt 02 Rw 18 Desa Cibiru Wetan, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung. Selama hampir dua tahun ia terpaksa hidup terlantar di kota Dubai, Umi Emirat Arab seorang diri, karena mencoba mengadu nasib di negeri orang.
Diduga ia mengalami praktik penipuan yang dilakukan jasa penyalur tenaga kerja luar negeri. Berita ini dibenarkan oleh Yudistira, salah satu dari tim Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) Cileunyi. Saat ini pihaknya tengah menindaklanjuti kasus tersebut dan mengupayakan agar Lilis bisa secepatnya pulang ke tanah air bertemu dengan keluarganya. (Jabarekpres.com, Rabu 22 Mei 2024)
Kasus tersebut bukanlah hal pertama terjadi, hampir setiap tahun kita menjumpai peristiwa serupa. Tidak sedikit TKW yang terjebak rekrutmen ilegal, perdagangan manusia (human trafficking) dengan waktu kerja yang panjang, upah rendah, pemerasan, pelecehan seksual, hingga penganiayaan fisik maupun psikis.
Anehnya, meski banyak peristiwa buruk yang dialami TKW, namun tetap saja pekerjaan ini masih banyak diminati. Bahkan tidak sedikit dari mereka melakukannya karena terpaksa akibat tekanan kebutuhan hidup yang semakin tinggi sedangkan lapangan kerja di dalam negeri sangat sulit didapat. Dengan tingkat pendidikan yang rendah, satu-satunya pilihan yang tersisa hanyalah mencoba mengadu nasib dengan bekerja di luar negeri.
Dengan modal nekad para TKW pergi meninggalkan tanah air berharap dengan bekerja di luar negeri bisa memperbaiki kehidupannya. Namun karena minimnya pengetahuan tidak sedikit yang menjadi korban penipuan sindikat perdagangan wanita seperti yang dialami Lilis. Dari sekian banyaknya kasus yang terjadi, membuktikan betapa lemah perlindungan terhadap mereka. Padahal jasanya sangat besar bagi pemasukan negara, sampai-sampai dijuluki dengan sebutan pahlawan devisa.
Sulitnya mendapatkan pekerjaan di dalam negeri menunjukkan ketidakseriusan negara dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. Padahal, penguasa berkewajiban menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya terutama bagi para penanggung nafkah agar mereka bisa memenuhi seluruh kebutuhan keluarga, baik itu sandang, pangan bahkan papan. Seharusnya hal ini bukan sesuatu yang sulit, mengingat negeri ini dianugerahi kekayaan alam yang melimpah, andaikan dikelola sesuai syariat, negara lebih dari mampu mensejahterakan rakyatnya melalui mekanisme penyediaan lapangan kerja.
Namun nyatanya hal itu tidak terjadi dalam sebuah sistem kapitalisme sekuler, negara justru berlepas tangan dalam mengayomi urusan rakyatnya. Kekayaan alam yang melimpah justru diberikan kepada para pemilik modal dari luar, dengan dalih minimnya skill (keahlian) rakyat juga keterbatasan teknologi. Sehingga kesempatan kerja dikuasai oleh pekerja asing. Hal inilah yang mendorong para wanita untuk bekerja di luar negeri karena tidak menemukan harapan di negerinya sendiri.
Padahal di dalam Islam, wanita dipandang sebagai mahluk mulia dan terhormat, karena fungsinya sebagai ummu warabatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga) serta pendidik generasi. Sehingga tidak dibebankan untuk bekerja. Walaupun untuk bekerja tidak dilarang, namun tetap ada batasan yang harus diperhatikan, misalnya tidak sampai meninggalkan kewajibannya yang utama.
Bagi seorang wanita yang bekerja di luar negeri, dengan meninggalkan keluarga jelas ada yang diabaikan, karena waktu bekerja bukanlah sebentar.
Dalam sistem Islam, negara berkewajiban membekali rakyat dengan skill yang mumpuni dan berbagai keterampilan melalui sistem pendidikannya. Generasi akan dididik menjadi ilmuwan-ilmuwan handal agar mampu menciptakan teknologi tercanggih untuk membantu manusia menjalankan fungsinya sebagai khalifah fil ardh (pengelola bumi).
Tanggung jawab seorang penguasa yakni sebagai ra’in (pengurus) rakyat akan terealisasi. Karena mereka menyadari betul bahwa amanah kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Semua tertulis di dalam hadis Nabi saw:
“Pemimpin/penguasa adalah ra’in (pengurus) rakyatnya, dan dia bertanggungjawab atas kepemimpinan rakyatnya.” (HR. Muslim)
Ketakwaan akan menjadi pakaian bagi para pemimpin, rasa takut kepada Allah menjadikannya sungguh-sungguh dalam menyejahterakan rakyatnya. Tinta sejarah telah tertoreh saat peradaban Islam masih bersinar. Di jaman kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, selang dua tahun dari beliau diangkat, kesejahteraan mampu meliputi daerah kekuasaannya, sampai-sampai tidak ada satu pun warganya yang berhak menerima zakat. Inilah salah satu bukti betapa negara benar-benar memperhatikan rakyatnya.
Kalau pun ada oknum yang menyalahi aturan dalam menyalurkan tenaga kerja, bahkan sampai terjadi pardagangan orang (human trafficking) maka sanksi tegas akan diberikan negara tentunya dengan efek yang menjerakan.
Itulah bentuk pemeliharaan negara terhadap rakyatnya, namun hal ini akan bisa terwujud bilamana Islam diterapkan secara kafah dalam bingkai negara. Maka sudah seharusnya umat menyadari akan kewajiban ini, dan bersama-sama dalam memperjuangkannya.
Wallahua’lam bis shawwab.