Kisah pilu harus kembali dialami tenaga kerja Indonesia yang mengadu nasib di negri orang. Seperti diberitakan, kasus terakhir dialami oleh Ruyati Binti Satubi, seorang TKW asal Bekasi Jawa Barat yang dikenai sanksi hukuman mati oleh pengadilan Arab Saudi setelah disahkan oleh Mahkamah Tamziz kerajaan negara tersebut.
Sebagaimana dikutip Antaranews (19/06), Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Moh Jumhur mengatakan bahwa Rumiyati terbukti bersalah dalam persidangan, Ruyati dengan gamblang mengakui membunuh sang majikan setelah bertengkar karena keinginannya untuk pulang tidak dikabulkan.
Sangat disayangkan memang peristiwa ini harus terjadi. Kita tentu merasa prihatin, namun bagaimanapun nasi sudah menjadi bubur. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah mengambil pelajaran darinya. Pemerintah Indonesia juga mesti mengambil langkah serius untuk mengusut tuntas kasus ini dan kasus-kasus serupa.
Sebelum ini, beberapa kasus naas juga harus dialami oleh TKI, kejadian yang sempat membuat geger publik beberapa waktu silam ialah kasus yang menimpa seorang TKW bernama Sumiyati. Namun kali ini sedikit berbeda, sebab Sumiyati lah yang menjadi pesakitan.
Ironisnya perlakuan berbeda diterapkan oleh pihak Arab Saudi atas dua kasus di atas tersebut. Jika Negara itu konsisten menerapkan hukum Qishash, maka sudah semestinya pihak majikan yang menyiksa Sumiyati juga harus dikenai Qishash berupa sanksi seperti apa yang telah dia lakukan kepada Sumiyati, kecuali keluarga korban memaafkan. Dan jika keluarga memaafkan, maka harus dikenai diyat atau denda.
Phobia Islam
Kasus-kasus seperti ini biasanya menjadi santapan lezat oknum-oknum yang phobia terhadap Islam. Raport merah Arab Saudi kemudian menjadi bahan untuk menuding dan menghujat Syariah. Padahal Arab Saudi bukanlah representatif penerapan syariah Islam secara kaffah, bukan pula representatif negara khilafah. Sehingga jelas tudingan tersebut adalah salah alamat.
Sebab sebagaimana diterangkan oleh para ulama, yang disebut negara Islam/khilafah ialah apabila jika memenuhi dua syarat: Pertama: diterapkannya sistem hukum Islam. Kedua: Sistem keamanannya berada di tangan sistem keamanan Islam, yaitu berada di bawah kekuasaan mereka.
Jika Arab Saudi disebut sebagai negara Islam yang menerapkan syariah Islam secara kaffah, maka semestinya di berlakukan hukum Qishash pelaku penganiayaan & pembunuhan TKI, hentikan penggunaan sistm kapitalisme dalam penyelenggaraan ibadah haji, stop pnguasaan barang tambang oleh perusahaan asing, mesti dilaksanakan politik luar negri (dakwah internasional) daulah Islam, juga harus dirubah sistem sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan dengan khilafah, dsb.
Terlepas dari keabsahan pengadilan Arab Saudi, hukum Islam tentu sagat jauh lebih hebat dibanding hukum sekulerisme. Islam sangat menghargai jiwa manusia. Pelaksanaan hukum Islam sarat akan solusi preventif karena menimbulkan aspek jera yang tinggi, sehingga bisa meminimalisir kasus pembunuhan. Hal ini berbeda dengan peradilan sekulerisme yang seperti tidak menghargai jiwa manusia, karena lembeknya sanksi yang diberikan sehingga membuat angka kasus pembunuhan terus meningkat. Buktinya, berdasarkan data yang diperoleh dari Biro Operasi Polda Metro Jaya, kasus pembunuhan di Jakarta pada 2010 mengalami peningkatan sebesar 5,06 persen dari tahun sebelumnya.
Islam juga memperhatikan masalah pembuktian (Al-Bayyinah). Dalam sistem peradilan Islam, seorang baru bisa dikenai sanksi hukum jika memang terbukti bersalah. Sistem peradilan Islam hanya menerima empat macam pembuktian, yakni pengakuan, sumpah, kesaksian dan dokumen tertulis yang menyakinkan. Pengakuan terdakwa tanpa paksaan dan penuh kesadaran (tidak gila). Kesaksian (syahadah) juga begitu ketat.
Faktor keberhasilan lain peradilan Islam yang telah dibuktikan selama berabad-abad dari masa Rasulullah hingga masa khilafah utsmaniyah (Turki) ialah dimana dalam pandangan syariat Islam, seseorang yang sudah dijatuhi hukuman di dunia akan menggugurkan dosa-dosanya (Al-Jawabir)sekaligus akan menghindarkan dirinya dari hukuman Allah di hari akhir.
Maka jelas, hukuman Qishash itu bukanlah dalam rangka balas dendam, melainkan untuk menyelamatkan nyawa-nyawa lain. Maha benar Allah atas firman-Nya: “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 179).
Problematika TKI
Perihal kasus Ruyati, jika dia terbukti bersalah maka siapapun itu selayaknya mendapatkan hukuman, jangan karena memiliki ikatan emosional lalu kemudian kita tidak adil dalam menyikapinya. Aneh juga jika kita harus “membenarkan” pembunuhan.
Persoalan TKI memang begitu rumit, mulai dari permasalahan personal TKI hingga permasalahan sistem penyelenggaraannya (institutional). Ada beberapa faktor yang mengakibatkan ketidakberesan persoalan TKI. Pertama adalah faktor Individu, Kwalitas SDM yang tidak disiapkan dengan baik merupakan salah satu faktor kekisruhan TKI selama ini. Kedua: Faktor sistem penyelenggaraan. Problematika TKI seringkali muncul sejak awal proses pengiriman tenaga kerja. Agen-agen legal maupun ilegal yang mengedepankan provit oriented tanpa mengindahkan standarisasi TKI hanyalah akan menimbulkan persoalan kedepannya bagi TKI itu sendiri.
Tak bisa dipungkiri, banyaknya minat masyarakat yang memilih bekerja di luar negri adalah akibat semakin menyempitnya lapangan pekerjaan di Indonesia. Negri yang kaya akan potensi sumber daya alam ini ternyata belum bisa menjamin warganya untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Andai bisa memilih, tentu mereka akan lebih suka untuk dekat dengan keluarga yang dicintainya. Inilah PR besar yang harus segera dituntaskan oleh negara ini. Wallahu a’lam
Ali Mustofa
Direktur Rise Media Surakarta
Alamat: Ngruki RT 05/ 17, Cemani, Grogol, Sukoharjo
HP: 083865442474