Hari masih pagi. Selarik semburat mentari Klaten menembus tirai jendela, membelai hangat bangku-bangku panjang nan mungil yang masih tertelungkup antar meja satu sama lain. Ruangan sederhana dengan alas keramik hijau itu lengang, senyap. Kini, tak ada lagi hingar bingar keceriaan yang mewarnainya seperti sebulan silam.
Sudah hampir sebulan ini, ruangan itu membisu.Tak ada lagi hilir mudik para bocah mungil yang menggemaskan. Tak ada lagi canda tawa, semuanya membisu. Tak ada lagi kalam-kalam Ilahi yang terlafal dari bocah-bocah Raudhatul Athfal Amanah Umah, TK Islami impian Siyono dan Suratmi.
Masih sebulan silam, kebahagiaan masih menyergap seisi ruangan ini. Satu per satu anak yang lucu dan mungil mengeja kata. Warna-warni angka yang tertempel di dinding. Bangku-bangku yang diduduki para empunya. Meja hijau tempat mereka belajar mencorat-coret kertas.
Ruangan mungil yang kini muram inilah, impian sepasang kekasih yang memulai biduk rumah tangga empat belas tahun silam. Dua orang guru TK yang bersua, menjalin ikatan pernikahan, bercita-cita membangun Taman Kanak-kanak bersama: Raudhatul Athfal (TK) Amanah Umah.
Kini, ruang mungil itu masih membisu. Tak ada lagi canda tawa para bocah. Hanya tangis bocah tiga tahun yang kehilangan sang Ayah yang tak kembali setelah dijemput paksa Densus 88. Balita yang sedari tadi menangis di pangkuan sang bunda yang nampak tegar, kehilangan sosok suami penyayang anak-anak.
Mengawali April 2016, pada sepetak ruang tamu yang disulap jadi TK ini, kami tim Jurnalis Islam Bersatu (JITU) bersua dengan Suratmi, dengan mata berkaca-kaca. Janda lima anak yang sedari tadi mengayunkan lengannya menempatkan buah hatinya, Ibrahim yang terus menangis ke pangkuannya.
“Bagaimana saya tidak merasa sedih, hari Jum’at akhir Februari bapak saya meninggal. Lalu 8 Maret suami saya ditangkap dan meninggal hari Kamis,” kata Suratmi mengenang almarhum Siyono, terisak-isak sambil berusaha menyeka air matanya yang mulai berjatuhan.
Awan duka masih menggelayut di mata Suratmi setelah sang Ayah wafat, namun tak sampai dua pekan, kabar satu ini benar-benar membuat dirinya terhentak. Bagaimana tidak, sepenggal Maret, saat anak-anak TK mulai mengeja kata, disanalah kebiadaban terjadi.
Papan kapur yang tak sempat terhapus, menjadi saksi tangis histeris anak-anak yang melihat kepongahan punggawa Densus 88 yang menodongkan senjata menggeledah paksa. Guru-guru hanya gemetaran, sebagian kocar-kacir penuh isak tangis.
Tawa sempat berganti tangis histeris, tapi kini tak ada tawa dan histeris. Ruangan ini membisu. Hanya kursi-kursi mungil yang teronggok di sudut-sudutnya, di tengahnya bersimpuh Suratmi di atas tikar. Kepalanya tertunduk. Mencoba membenarkan nafasnya yang mulai tak beraturan.
Kepalanya kembali terangkat, dia melanjutkan kisahnya bahwa Selasa ba’da maghrib, suaminya dijemput oleh tiga orang di Masjid. “Lalu bapak mertua saya memberi tahu, ‘ndok, bojomu dibawa ke Polres.’ Mendengar itu, saya langsung lari ke masjid dan suami saya sudah menghilang,” Suratmi mengenang.
Dalam haru, Suratmi menghela nafas. Matanya sedikit berbinar. Ia berusaha mengenang masa lalunya, saat ia bersua pertama kali dengan Siyono, saat mereka berdua mengajar di sebuah Taman Kanak-kanak. Ia menuturkan perjuangannya membangun TK yang kini hanya membisu.
“Jadi saya bersama almarhum mengajar di tempat yang sama. Beliau mengajar di TK tersebut, lalu saya juga mengajar di tempat yang sama,” kenangnya.
Siyono nampak sosok guru TK yang ramah, bersahaja dan sering membimbing anak-anak serta lingkungan sekolahan agar shalat berjamaah di Masjid. Keduanya saling mengenal sebagai pengajar TK dan pencinta anak. Sepeti pepatah Jawa, witing tresno jalaran soko kulino, rasa cinta itu muncul.
Mimpi bersama
Sepenggal 2002, Siyono melamar Suratmi dan ikatan pernikahan pun terjalin. Dua insan penyayang anak membangun komitmen, membangun mimpi bersama, kelak mereka akan mendirikan sekolah kanak-kanak sendiri
“Kami berkeinginan mendirikan TK. Bagaimana klo kita merintis dan mendirikan sekolah sendiri untuk TK Islam di sini?” kata Suratmi menirukan impian sang suami. Kedua guru TK ini menjalani hidup dengan bahagia. Kebahagiaan semakin lengkap setelah hadirnya Fatimah, sang buah hati disusul anak-anak lainnya.
Sepenggal 2005, impian Suratmi baru terwujud. Di rumahnya sekarang, di Dusun Brengkungan, Desa Pogung, Kecamtan Cawas, Klaten, mimpi-mimpi mereka dibangun. Bermulai dari enam orang tetangga yang mulai belajar di dalam Masjid, Suratmi dan Siyono merintis TK impiannya.
‘Amanah Ummah’ nama TK yang ia pilih mengingat pentingnya amanah berupa anak-anak yang dititipkan di TK mereka. Berbilang tahun, semakin banyak warga yang mengamanahkan anak-anaknya ke TK mereka. Yang semula di masjid, semakin ke sini semakin berkembang.
Dari hanya enam orang, dua belas orang, empat puluh orang hingga kini enam puluhan bocah mengenyam pendidikan di sini. Ruangan demi ruangan pun dibangun. Kursi-kursi terisi penuh rapi. Anak-anak yang riang dengan merdunya melafalkan abjad.
Mimpi yang selama ini dibangun terwujud. Sepuluh tahun lebih merintis lembaga pendidikan anak. Sambil mengajar, Siyono membantu kedua orang tuanya bertani, memotong jerami, merawat sang mertua dengan telaten. Dua orang guru TK ini memupuk mimpi-mimpinya.
Petir di siang
Namun, kabar kelam menyambar bak petir di siang bolong. Sang suami yang diciduk Densus 88 tiba-tiba, tiga hari kemudian muncul berita bahwa nyawanya telah tiada. Ia pergi dalam kondisi sehat, namun pulang tanpa ruh melekat di jasad! Belum puas di situ, canda tawa yang menyelimuti sehari-hari Amanah Ummah itu berubah menjadi tangis histeris, menyisakan trauma seisinya.
Ruangan ini masih menjadi saksi akan Siyono dan Suratmi memupuk impian mereka, mengajarkan para anak, mengeja kata, melafalkan kalam suciMu ya Rabb. Dan kin ruangan ini tak lagi digunakan sebagai tempat Kegiatan Belajar Mengajar.
Densus 88 boleh saja berhasil membuat para anak ketakutan sehingga tak berani datang ke sekolah. Densus 88 boleh saja mengikis cita-cita Sulastri akan TK impiannya. Densus 88 boleh saja menghilangkan keceriaan anak-anak di TK ini. Densus 88 bahkan boleh saja membuat pelajaran terhenti sejenak hingga kini.
Tapi, impian Suratmi dan para anak Amanah Ummah tak kan pernah padam. Semangat belajar tak pernah padam. Suratmi pun akan berjuang melanjutkan impian mereka bedua dengan menuntut keadilan akan kematian suaminya.
Para bocah pun kini mulai kembali beraktifitas. Satu per satu bocah Pogung yang trauma kini mulai belajar kembali namun tak di ruang yang kini membisu. Di tempat lain, mereka mulai menata masa kecil mereka, kembali bersua dengan kawan sebaya, memulai kembali tawa yang sudah direnggut. Semoga.
Tomy Abdullah dan Rizki Lesus
(azmuttaqin/arrahmah.com)