(Arrahmah.com) – Per tanggal 1 Januari 2014 lalu, JKN secara resmi diberlakukan oleh pemerintah. Program ini dijalankan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah.
UU SJSN Pasal 19 ayat 1 menegaskan bahwa, “Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas”. Maksud dari prinsip ekuitas ini adalah bahwa peserta yang membayar iuran JKN akan mendapat pelayanan kesehatan sepadan dengan apa yang sudah dibayarkannya. JKN adalah bentuk asuransi sosial, sebagaimana bentuk asuransi lainnya, maka rakyat yang terdaftar menjadi peserta JKN pun wajib untuk membayar iuran untuk asuransi ini tiap bulannya. Peserta JKN sendiri adalah seluruh masyarakat Indonesia. Program ini berskala nasional, artinya seluruh penduduk Indonesia wajib untuk membayar iuran JKN per bulannya.
Dalam program JKN ini tidak ada rakyat yang mendapatkan layanan kesehatan gratis, karena JKN adalah program asuransi, bukan seperti istilah kepanjangannya, yaitu jaminan. Artinya, baik warga mampu maupun tidak, mereka wajib untuk membayar iuran demi menjamin kesehatan bagi mereka. Memang pemerintah mengklaim bahwa masyarakat tidak mampu yang disebut sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI) dalam ayat 4 UU SJSN akan dibayarkan oleh pemerintah. Namun, hak itu tidak akan langsung diberikan kepada rakyat, tetapi dibayarkan kepada pihak ketiga yaitu BPJS dari uang rakyat melalui pungutan pajak. Hal ini berarti sama saja semua rakyat, baik yang miskin atau pun bukan, wajib untuk membayar iuran demi layanan kesehatan mereka sendiri. Jadi sangat jelas, dengan adanya iuran yang harus dibayarkan oleh masyarakat, tentu program JKN ini akan menambah beban hidup mereka. Kewajiban pemerintah yang seharusnya menanggung semua pelayanan kesehatan warganya, kini semuanya dialihkan dan ditanggung oleh diri masing-masing.
Berbeda dengan Islam. Islam adalah sebuah sistem yang memiliki seperangkat aturan bagi kehidupan manusia di dunia. Islam diterapkan untuk menjamin hak-hak keadilan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Selain itu, tendensi diberlakukannya Islam adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan ketenangan jiwa, kebahagiaan hidup, dan terpeliharanya urusan manusia dalam Islam. Dalam Islam, pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis. Fasilitas kesehatan merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh rakyat. Semua itu merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashâlih wa al-marâfiq), yang wajib dipenuhi negara, Rasulullah bersabda: “Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya”.(HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar).
Negara wajib menjadi pelayan bagi umat. Negara wajib untuk menyediakan pelayanan kesehatan gratis untuk seluruh rakyat. Hal itu menjadi hak bagi setiap individu masyarakat tanpa melihat status, penghasilan, atau golongan masyarakat. Dana yang mendukung pelayanan kesehatan bisa diperoleh dari sumber-sumber pemasukan yang ditetapkan oleh syariah. Misalnya, bisa dari hasil pengelolaan sumber daya alam, kharaj, fa’i, jizyah, ghanimah, pengelolaan harta milik negara dan lainnya. Semua itu akan lebih dari cukup untuk melayani kesehatan masyarakat yang gratis dan berkualitas.
Namun semua itu hanya bisa terwujud, jika Syariah Islam diterapkan secara total dalam sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Untuk itu, kewajiban kita semua, umat Islam, untuk sesegera mungkin mewujudkannya. Lebih dari itu, mewujudkannya adalah kewajiban syar’i dan konsekuensi dari akidah Islam yang kita yakini. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.
Fitriani, Mahasiswi Fakultas Pertanian UNPAD 2010
(arrahmah.com)