Orang yang kita cintai nabi Muhammad saw., dan salaf (orang-orang terdahulu) secara terus menerus mengingatkan dirinya, dan yang lainnya tentang hal dimana rizqi (perbekalan) dan ajal (kematian) akan bertentangan, hasilnya dari apa yang kita duga.
Maksud di mana mahdud (batasan hidup di antara mulai dan berakhir) akan berakhir dan pergi, dan abadi (tidak terbatas, kehidupan yang abadi) akan dimulai.
Semua ini telah disampaikan oleh Allah swt., yang Al Azzali (tidak berawal dan tak berakhir). Maut (kematian) adalah sesuatau yang kita butuhkan untuk terus-menerus dipikirkan dan direnungkan setiap waktu.
Pengertian maut menurut bahasa:
Al Kufur (tidak beriman)
إِنَّكَ لا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang.” (An-Naml: 80)
فَإِنَّكَ لا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ
“Maka Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar, dan menjadikan orang-orang yang tuli dapat mendengar seruan, apabila mereka itu berpaling membelakang.” (Ar-Ruum: 52)
Al-‘Aqly (rohani)
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’aam: 122)
Al Syiddah (kesukaran)
يَتَجَرَّعُهُ وَلا يَكَادُ يُسِيغُهُ وَيَأْتِيهِ الْمَوْتُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَمَا هُوَ بِمَيِّتٍ وَمِنْ وَرَائِهِ عَذَابٌ غَلِيظ
“Diminumnnya air nanah itu dan hampir dia tidak bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi dia tidak juga mati, dan di hadapannya masih ada azab yang berat.” (Ibrahim: 17)
Al Khauf (ketakutan)
يَتَجَرَّعُهُ وَلا يَكَادُ يُسِيغُهُ وَيَأْتِيهِ الْمَوْتُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَمَا هُوَ بِمَيِّتٍ وَمِنْ وَرَائِهِ عَذَابٌ غَلِيظٌ
“Diminumnnya air nanah itu dan hampir dia tidak bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi dia tidak juga mati, dan di hadapannya masih ada azab yang berat.” (Ibrahim: 17)
Al Zulm (penghinaan)
Al Ma’siyah (ketidakpatuhan)
Al Harram (Panas sekali)
Al Naum (Tidur)
Al Hatif (kematian)
Tipe-tipe Kematian
Secara umum pembicaraan yang terfokus pada kematian adalah seputar benar-benar atau kematian besar. Namun, ada beberapa kematian yang mengawali kematian besar dimana salaf (orang-orang terdahulu) telah merasakannya dan mengalaminya.
1. Al Maut-ul Abyad (Kematian Putih)
Disini ketika kita tidak makan atau tidak minum untuk waktu yang lama. Kita akan kelaparan lalu mati dan ini bisa disebabkan dari kelaparan, kehausan atau kita disiksa oleh musuh karena Dien kita dan mereka menolak untuk memberikan kepada kita makanan atau minuman.
Abdullah ibnu Abbas (ra) berkata Abu Dzar Al Ghifari (ra) mengalami kematian putih. Itu telah disampaikan dalam sirah bahwa Abu Dzar (ra) telah mendengar setiap orang membicarakan tentang dien Islam, tentu saja seperti yang Allah disampaikan kepada kita dalam Al Qur’an Al Karim:
عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ
“Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?” (An-Naba’: 1)
عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيم
“Tentang berita yang besar (yaitu Islam, Tauhid, Qur’an Aakhirah, Muhammad (saw) dan lain-lain).” (An-Naba’: 2)
Sebagai hasil dari pembicaraan dan opini ini, Abu Dzar (ra) datang ke Mekkah bertujuan untuk menemui Muhammad (saw).
Yang telah ditanya-tanya oleh penduduk Mekkah sebagaimana pada waktu itu Muhammad (saw), orang-orang pagan secara langsung bereaksi sangat buruk pada Abu Dzar dan sebelum mengetahuinya, dia diserang dan dipukul hanya karena dia telah bertanya tentang Muhammad (saw).
Ini menyebabkan Abu Dzar (ra) tidak mempunyai sesuatu untuk dimakan selama tiga puluh hari dan selama itu dia hanya hidup dari air Zam Zam. Dampak dari tipe kematian ini bahwa itu telah membuat kita sangat lemah dan menjadi kurus, yang tertinggal hanya kerutan di perut.
Itu telah benar-benar disampaikan dalam Muslim bahwa beberapa sahabat (ra) dalam kondisi yang menyedihkan oleh begitu banyak kelaparan bahwa mereka kehilangan kemampuan untuk mendengar dan melihat.
Dalam riwayat yang lain At Tirmidzi, ketika Rasulullah saw., memimpin shalat, sebagian Shahabat yang termsuk dalam jamaah yang di sebut Ahl us Suffah merasa tidak mampu berdiri pada masa (kelemahan yang amat sangat) dikarenakan intensitas kelaparan.
Jika seseorang mati disebabkan kematian putih maka dia mencapai kematian layaknya seorang Syahid, yaitu akan menerima pahala yang sama sebagaimana syahid tetapi belum tentu sama mendapatkan pembebasan seperti orang-orang yang Syahid, yakni nantinya akan dihitung sebagaimana orang-orang yang mati karena kematian putih.
Pada saat kaum Muslimin berpuasa dan ketika mulai berbuka maka umumnya orang-orang mempunyai makanan untuk berbuka tiga atau empat potong daging hanya untuk membatalkan puasanya. Anak Adam berkata, ‘aku telah memakan sampai aku tidak bisa lagi untuk memakan makanan lagi.
Padahal Rasulullah saw. pernah menasehati kita untuk tidak makan sampai kita kekenyangan, dan Imaam Ali (ra) berkata, ‘jangan buat perutmu kuburan bagi binatang’.
Juga sesutu yang luar biasa melihat jumlah makanan di masyarakat barat atau yang dibuang dengan sedikit kepedulian atau pertimbangan kepada kaum yang lain. Kita harus takut pada Allah swt., karena Adam (as) telah diuji oleh makanan dan itu adalah ujian bagi kita juga sampai di hari pengadilan nanti.
2. Al Maut-ul Akhdar (kematian hijau)
Ini telah digambarkan sebagaimana kemiskinan.
Nama itu diambil dari warna hijau potongan-potongan jahitan pada pakainnya yang disembunyikan dan menyembunyikan ‘awrah-nya (bagian yang harus ditutupi). Dia telah mengetahui sebagaimana Akhdar dan dia adalah dari ‘Asharah Mubasharah (10 yang di janjikan surga).
Dia bernama Umar ibnu Khattaab (ra). ‘Umar (ra) menaklukkan Kaisar Persia dan Roma di bawah kekuasaannya tetapi dia menolak untuk hidup mewah seperti para kaisar terdahulu hanya karena dia memilih akhirat daripada dunia.
Pada saat Abu Darda tinggal di Syiria, Khalifah Umar (ra) datang pada sebuah kunjungan pemeriksaan di daerah. Satu malam dia pergi untuk mengunjungi Abu Darda di rumahnya. Di sana tidak ada lampu di rumahnya. Abu Darda menyambut Umar (ra) dan duduk bersamanya. Dua orang laki-laki berbicara dalam kegelapan.
Ketika mereka melakukannya, Umar (ra) merasakan bantal Abu Darda dan menyadari bahwa itu adalah sebuah tempat duduk yang terbuat dari bulu binatang. Dia menyentuh tempat di mana Abu Darda bebaring dan diketahuinya itu adala sekumpulan kerikil kecil.
Dia juga merasakan selimut yang ia gunakan untuk melindungi dirinya dan ia menemukannya dengan begitu terkejut karena begitu tipis dan itu tidaklah mungkin digunakan untuk melindunginya dari udara sedingin kota Damaskus.
Umar (ra) bertanya padanya: “tidak seharusnya aku menggunakan barang-barang yang lebih nyaman dari yang kamu gunakan? Seharusnya aku mengirimkan sesuatu untukmu?”
“apakah kamu ingat, wahai Umar,” kata Abu Darda, “perkataan Rasulullah yang dikatakan kepada kita?” “Apa itu?” tanya Umar. “tidalah beliau mengatakan: ‘apakah cukup seseorang dari kalian di dalam dunia ini seperti perbekalan dari seorang penunggang kuda?” “Ya,” kata Umar. “Dan apa yang kita lakukan setelah ini wahai Umar?” tanya Abu Darda.
Kedua laki-laki itu menangis tanpa ragu-ragu tentang kekayaan yang melimpah itu telah datang ke arah kaum Muslimin dengan perluasan wilayah Islam dan keasyikan mereka dengan menimbun kekayaan dan kecintaan pada dunia.
Dengan duka yang mendalam dan kesedihan, kedua laki-laki itu melanjutkan untuk memikirkan situasi ini sampai larut malam.
Pada saat ini, penguasa murtad dari kaum Muslimin di dunia tidak memiliki rasa malu di hadapan Allah swt., mereka secara terang-terangan hidup boros dan hidup mewah, mencuri kekayaan ummat dan menggunakannya untuk menghibur diri mereka dan teman-teman kafir mereka.
Mereka akan mendanai jutaan rupiah untuk menjaga kebun binatang yang ada di barat dan membiarkan penderitaan jutaan kaum Muslimin yang kelaparan di Afrika, dan di bumi Islam lainnya.
Mush’ab ibnu Umair (ra) dilahirkan dalam keluarga yang sangat kaya. Ketika dia memeluk Dien Islam dia mengorbankan ketinggian kualitas hidupnya hanya untuk datang pada Tuhannya dan menyembah Allah swt., dengan ikhlas.
Ketahuilah kita dia mati Syahid di perang Uhud pakaiannya tidak cukup untuk melindungi tubuhnya. Ketika Sahabat menutupi kepalanya, kakinya kelihatan, dan ketika menutupi kakinya kepalanya kelihatan. Muhammad saw., menyuruh Sahabat untuk menutupi kepalanya dengan pakainnya dan menggunakan daun untuk menutupi kakinya.
Muhammad saw., berkata, ‘kemiskinan adalah ke-kufur-an maka hilangkanlah itu! Imam Ali (ra), jika kemiskinan itu berwujud pada seseorang maka aku akan membunuhnya.‘ Alasannya adalah jika seseorang kekurangan segala sesuatu akan kebutuhan-kebutuhan yang pokok terhadap dirinya (seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal) dalam hidupnya kemudian dia akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kebutuhan yang mendasar pada dirinya.
Itulah mengapa rezim thaghut di dunia Muslim selalu menindas kaum Muslimin dengan tidak memberikan kepada mereka makanan yang cukup, menghilangkan dari mereka bahan bakar seperti minyak dan listrik, sampai para misionaris datang dan memberi mereka beras, mie instan, tenda dan selimut dengan nama Yesus, mengajak mereka dengan mudah kepada aqidah mereka yang batil.
3. Al Maut ul Ahmar (kematian merah)
Itu adalah dibinasakan atau keinginan membunuh dan godaaan yang kita hadapi. Abdullah ibnu Abbas (ra) menggambarkannya seperti labu yang di tekan dengan kuat yaitu kita berharap untuk mempunyai sesuatu dengan putus asa tetapi kita tidak bisa dan oleh karena itu kita sangat menderita.
Contoh yang paling tepat untuk kematian tipe ini adalah sebagaimana yang terjadi kepada sesorang prajurit Islam yang tangguh yaitu Khalid bin Walid (ra), pedang Allah.
Dia pergi pada setiap pertempuran memburu syahada, dan dia berdoa, “yaa Allah, ambilah aku dari tubuhku seperti yang kamu mau.”
Dia mencari syahadah di setiap tempat, tetapi pada akhirnya Allah swt., memutuskan bahwa dia harus mati Siddiq di atas tempat tidurnya, ia terus-menerus menangis untuk terbunuh di medan perang.
Dia menjadi begitu emosional meningkat pada tempat tidurnya bahwa dia menjaga lambaian pedangnya dan kata terakhirnya, “aku mati seperti unta mati. Aku mati di atas tempat tidurku, dengan merasa malu. Semoga mata para penakut tidak pernah ditemukan istirahat pada saat tidur!
Imam Ali (ra) berkata, seorang lelaki lewat di sebuah jalan di Madinah dan lalu melihat seorang wanita yang sangat cantik dan mereka berhenti dan mereka masing-masing terbelalak, satu sama lain.
Laki-laki ini tetap berjalan dan melihat wanita cantik itu sampai langkahnya terperosok karena dia benar-benar memperhatikan wanita itu dan tidak tahu di mana dia melangkah. Hal ini menyebabkan hidungnya terluka menabrak sesuatu dan akhirnya hidungnya mulai berdarah.
Syaitan telah membuat mata mereka penuh dengan gairah. Laki-laki tersebut kemudian memutuskan bahwa dia tidak akan membersihkan hidungnya sampai dia bertemu Muhammad saw., dan menjelaskan kepadanya saw., apa yang telah terjadi.
Ketika dia mengatakan pada Muhammad saw., apa yang telah terjadi Rasulullah saw.., berkata, ‘ini adalah hukuman atas apa yang telah kamu lakukan.’
Keadaan ini kemudian menyebabkan turunnya ayat:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (An-Nur: 30)
Banyak orang yang terjatuh karena hawa nafsunya, mereka tidak bisa mengendalikan dirinya tidak juga anggota tubuhnya dan akhirnya jatuh ke dalam perbuatan seperti, zina, minum alkohol, judi, mengkonsumsi obat-obatan terlarang.
Abu Hurairah (ra) berkata: Rasulullah saw., bersabda, “Orang-orang yang kuat imannya adalah lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada orang-orang yang lemah imannya.” (Muslim dan Ibnu Majah)
Betapa banyak dari kita yang merasakan sakit ketika kita kehilangan shalat berjamaah (seperti kehilangan tahiyatul masjid, adzan, doa, iqamah dan 27 pahala yang lebih banyak bagi yang melaksanakan secara berjamaah dan sebagainya)?
Kita dengan putus asa menginginkan pahala yang lebih banyak tetapi tiba terlambat dan sebagai hasilnya itu ada pertentangan dalam benak kita dan kita mulai merasa tertekan. Khususnya ketika kita mengetahui kita tidak bisa mendapatkannya lagi.
Umar (ra) meninggalkan kebunnya untuk shalat Ashar. Untuk mengejarnya, dia menemukan bahwa orang-orang telah usai shalat, kemudian dia kehilangan berjamaah.
Sebagai hasilnya, dia kembali pada kebunnya dan memberikan itu semua pada orang-orang yang membutuhkan. (Mukhtashar Minhajul Qaashidien hal. 379)
4. Al Maut ul Aswad (kematian hitam)
Imam Jirjani berkata, ‘itu adalah untuk menerima semua kekerasan dari orang lain hanya demi Allah swt., yaitu seseorang yang memerangi kita karena Dien kita. Itu adalah untuk berkorban dan kecuali dia mengalami penderitaan bahwa itu berhubungan dengan mengikuti Dienul Islam.
Al Fudhayl ibnu Iyad (Wafat 187 h) berkata, ‘siapa saja yang mengeluh tentang bencana yang datang pada jalannya, itu adalah keluhannya melawan Tuhannya.’
Berapa banyak Nabi dan Rasul yang bertahan dari cobaan yang orang-orang timpakan kepada mereka? Mereka kuat, berani, sabar, teguh, solid, tidak berkompromi dan tegas dalam meyerukan risalah tauhid.
Nuh (as) melaksanakan dakwah kepada kaumnya tiap siang dan malam, di depan umum dan sendirian selama 950 tahun. Ayyub (as) mengalami penyakitnya dan penyakitnya itu berada di wajahnya pada planet ini dan dia (as) tidak pernah berbuat kesalahan karena cobaan-cobaan dan ujian ini. Murid-murid Isa (as) di gergaji separuh badannya namun menolak untuk menerima kekufuran.
Shuraih (wafat 80 h) pernah mendengar seorang temannya mengeluh tentang beberapa kesukaran yang datang padanya. Dia meraihnya dengan tangannya dan berkata:
Hati-hati terhadap apa yang kamu ambil atas masalahmu kepada selain daripada Allah swt., kepada seseorang yang kamu percayai hanya bisa manjadi salah seorang teman atau seorang musuh.
Jika dia adalah seorang teman, kemudian kamu akan membuatnya bersedih karenamu dan dia tidak bisa memberikan manfaat untukmu. Jika dia seorang musuh, dia akan menjadi senang dan akan mengambil beberapa keuntungan darimu.
Lihatlah mataku. Demi Allah swt., aku tidak melihat seseorang atau jalan untuk pergi dengannya selama 15 tahun dan aku tidak pernah berkata pada seseorang tentangnya sampai saat ini.
Jika kita tidak merasakan kematian hitam, kemudian kita membutuhkan pertanyaan akan gaya hidup kita, siapa sahabat-sahabat kita, mengapa kita mendapatkannya dengan begitu mudah? Apakah kita benar-benar mencintai Allah swt., atau kita memetik dan memilih fiqih karena itu bermanfaat bagi kita? Apakah Kuffar senang dengan kita?
Muhammad saw., bersabda, ‘orang-orang yang menerima cobaan yang sangat berat adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang sangat dicintai mereka, kemudian orang-orang yang sangat menyukai mereka.’ (Ibnu Majah)
Pada saat zaman fitnah seperti sekarang ini maka tidak ada di antara kita yang bebas darinya. Pertanyaannya adalah, betapa banyak dari kita yang bisa dengan ikhlas mengatakan apakah kita berjuang karena Islam, apakah kita menangis karena Islam, apakah kita mengalami kesukaran karena Islam, apakah kita berkeringat deras karena Islam, apakah kita
lelah karena pekerjaan kita dalam menyampaikan Islam?
Jangan menjadi seperti orang yang mendaptkan sebuah bencana dalam aspek materi dalam hidupnya (yaitu mobil dicuri atau kebakaran rumah) dan dia merasa di dunia telah merasa sedih.
Lebih baik, dia harus bersyukur pada Allah swt., bahwa syaitan tidak akan pernah masuk dalam hatinya dan mencuri imannya dan ingatlah setiap penderitaan adalah sebuah penebus bagi dosa-dosa kita.
‘Aisyah (ra) meriwayatkan bahwa Muhammad saw., bersabda, ‘tidaklah kesukaran itu menimpa kuam Muslimin kecuali Allah menebus sebagian dari dosa kalian karenanya, meskipun hal itu menyakitkan dia yang menerimanya seperti sebuah duri.’ (Al Bukhari)
5. Al Mautul Asghar (kematian kecil)
Para ulama mengatakan bahwa ketika kita tertidur kita telah mengalami kematian kecil.
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” (Az-Zumar: 42)
Salah satu kekalahan terbesar dalam umat adalah bahwa mereka tidur terlalu banyak dan walaupun mereka tidak meresa lelah mereka memaksakan dirinya untuk tidur hanya karena waktu untuk tidur telah tiba. Ketika dibandingkan dengan para salaf itu adalah seperti perbandingan bugar dan sehat ketika mereka berjalan kepada seseorang yang itu adalah seorang yang pincang.
Kebanyakan dari kita bisa menghabiskan separuh hidup kita hanya di atas tempat tidur dan ini adalah kebiasaan dari seseorang yang malas atau seseorang yang tidak mempunyai arti dalam hidupnya.
Muhammad saw., bersabda, ‘ummatku akan tetap baik sepanjang mereka sedikit makan dan kurang tidur’ dan setiap pagi mu’adzin mengumandangkan ‘As Shalatu khairum Minan Naum’ (shalat lebih baik dari pada tidur), ‘As Shalatu khairum Minan Naum’ (shalat lebih baik dari pada tidur), tetapi kaum Muslimin masih saja tidur, dengan lelapnya.
Imaam Asy-Syafi’i (wafat 204 H) berkata, “ jika kamu tidak (bisa) menjaga Shalat Fajar, maka wajib (fardhu) atasmu untuk membayar seseorang untuk membangunkanmu.’
Ada sebagian kaum Muslimin yang dengan bebas menyalahi ajaran Islam dengan tidak memberikan alasan syar’i sama sekali. Banyak dari para sufi yang menyimpang mempromosikan sunnah untuk memperoleh sebuah ganjaran berlipat ganda. Khususnya yang merekomendasikan untuk tidur setelah shalat Zuhur.
Lebih lanjut, banyak supir taksi tidur siang pada waktu ini dan kemudian tidur lagi semalam suntuk. Padahal pemahaman yang benar untuk tidur setelah shalat Zuhur adalah syarat mutlak syari’at dengan harapan kita melakukan qiyamul lail yaitu melakukan ibadah di malam hari.
Kasus lain adalah di mana seseorang mengatakan tidurmu adalah ibadah. Lagi-lagi ini ada hubunganya mengapa kita berbaring, itu hanya ibadah jika kita telah bekerja keras untuk mendekatkan diri pada Allah swt., dengan menyeru yang baik dan mencegah yang munkar, membaca Al-Qur’an dan sebagainya sebagai hasilnya dari perbuatan ini kita merasa lelah dan jatuh tertidur.
Suatu kali Ibnu Mas’ud (ra) telah tidur dan dalam tidurnya dia membaca Al-Qur’an, setelah itu dia berkata, ‘sungguh tidur adalah cabang dari ibadah.’ Sahabat yang sangat terkenal untuk berjalan pada sedikit waktu siang dan tidur beberapa jam pada malam hari. Mereka menginvestasikan waktu yang berharga untuk hari akhir. Mereka meninggalkan tidur mereka dan berpisah dengan ranjang mereka dan membuat janji dengan Tuhannya Allah (swt).
كَانُوا قَلِيلا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
“Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.” (Adz-Dzariyat: 17)
6. Al Mautul Akbar (kematian besar)
Kematian besar adalah tidur yang permanen.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Al-Anbiyaa’: 35)
Ini adalah kebalikan dari hidup, itu adalah ketika tidak ada yang tumbuh, tidak bergerak, tidak buang air, tidak merasakan dan tidak bernafas, mati tidak sama dengan hidup.
Yang mana salah seorang dari dua malaikat ini yang kita sukai untuk di temui?
وَالنَّازِعَاتِ غَرْقًا
“Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras.” (An-Naazi’at: 1)
وَالنَّاشِطَاتِ نَشْطًا
“dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut.” (An-Naazi’at: 2)
Jawabnya yang pasti adalah nanti. Tetapi apakah kita telah ikhlas mempersiapkan diri kita untuk nanti atau kita lebih patut dari yang sebelumnya daripada berharap untuk bertemu nantinya.
Apakah kamu mau menjual mutiaramu untuk kotoran dan bagi benda yang kotor?
Sekali lagi jawabnya adalah kita tidak mau untuk ambil bagian dalam sebuah transaksi yang buruk.
Namun, faktanya dan gambaran yang ada pada kita bahwa mayoritas orang-orang akan menjual jannah (surga) dengan jahannam (neraka). Mereka tidak menginginkan untuk berbicara tentang kematian, itu dianggap sebagai sesuatu yang tabu, atau mereka terlalu takut untuk berhadapan pada sesuau yang tidak dapat dipungkiri.
Jika seseorang bertanya kepada kita kamu takut pada kucing, meja, atau bunga jawabannya pasti akan TIDAK. Begitu juga kematian mempunyai jawabannya yang sama dan jawabannya adalah kebanyakan ya saya sangat takut akan kematian.
Umumnya panggilan karakter dari semua benda ini adalah bahwa mereka semua adalah ciptaan.
Selanjutnya, kita harus tahu bahwa sungguh kematian pasti akan datang. Kita sebagai kaum Muslimin seharusnya tidak pernah takut dan seharusnya yang kita takutkan hanyalah Allah swt.
Mundhi ibnu Umayr (ra) yang dipanggil al Mu’niqu lil maut (seseorang yang memeluk kematian) karena dia menggunakan dirinya dan mendorongnya masuk ke dalam medan pertempuran untuk menggapai kematian di jalan Allah swt. Jadi dia mencari kematian dan menjadi syahid dengan meninggikan kalimat Allah.
Imam Abu Hanifah (wafat 150 H) membaca Al-Qur’an seluruhnya dua kali dalam dua rakaat shalat. Seseorang yang mendengar tentang ini dan tidak percaya kalau itu adalah benar; maka dia ingin melihat dengan matanya sendiri dan mendengar dengan telinganya sendiri jika ini adalah benar.
Laki-laki itu mencoba untuk melakukan ini tetapi tidak bisa untuk terjaga dengan Imam ini karena dia kelelahan atau mengantuk tertidur; setelah itu berakhir atasnya – malaikat kematian mengambil nyawanya separuh sampai dia bergerak.
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلا
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.” (Ali Imran: 145)
Kesimpulan
Janganlah kita mati di jalan Ah ul Bid’ah wal firqah sebagaimana Allah swt., telah menyatakan mereka akan merasakan api nereka untuk beberapa waktu.
Sebagian dari sekte menyimpang ini mempunyai penyimpangan yang sangat jauh dalam hidupnya, karena mereka mencoba untuk membenarkan semua bid’ah dengan tameng yang Islami.
Orang-orang zindiq ini mengatakan kita tidak perlu untuk shalat sepanjang waktu dan mereka mencoba untuk meyakinkanmu dengan mengikuti ayat:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (Al-Hijr: 99)
Orang-orang sufi ini mengatakan sekali kamu telah memperoleh pada sebuah tingkatan dari keyakinanmu (ma’rifat) maka kamu tidak perlu untuk menyembah Tuhanmu lagi, kamu ada dalam alam yang antara kamu dan Allah swt., yaitu seperti kamu memilih apa yang kamu inginkan untuk melakukan dan Tuhanmu akan menjadi senang dengan apa yang terjadi atas pilihan yang kamu lakukan.
Ini adalah sekte yang menyimpang bahwa pada saat kita dalam suatu permasalahan maka kita harus kembalikan kepada wahyu, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah dan berdasarkan kepada pemahaman dari pendahulu kita (as Salaf us Salih) dari tiga generasi pertama.
Muhammad (saw) bersabda, ‘jika seorang hamba tetap sujud dari hari dimana dia telah lahir sampai dia mati dan tetap patuh kepada Allah, sampai dia akan mengingatnya menyembah tidak penting pada hari pengadilan dan akan lama untuk kembali pada dunia untuk melakukan perbuatan yang mulia lagi.’ (Ahmad dan Tafsir ibnu Katsir)
Kadar keyakinan seseorang itu bervariasi: kita mempunyai jasad dan itu secara keseluruhan akan mati, seseorang yang tidur bahwa itu adalah kebutuhan untuk tetap bangun, orang-orang yang duduk atau berbaring membutuhkan motivasi dan sebaik-baik kesaksian adalah orang-orang yang berdiri dengan tabah dan kuat:
وَالَّذِينَ هُمْ بِشَهَادَاتِهِمْ قَائِمُونَ
“Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya.” (Al-Ma’aarij: 33)
Sumber: Almuhajirun