Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI) merupakan sebuah tim yang bergerak untuk pelayanan kesehatan di wilayah konflik, bencana alam dan kerusuhan sosial, baik bersifat nasional maupun internasional.
Dalam lingkup internasional, tim relawan HASI juga mengadakan pengobatan bagi rakyat Suriah yang tertindas, merasakan kesulitan mereka di tenda-tenda pengungsian, memahami derita mereka dalam dinginnya malam tanpa selimut dan penghangat ruangan, dan sebagainya.
Salah seorang tim relawan ke-11 HASI untuk Suriah, dr. Abu Fatimah, menyampaikan bagaimana aksi HASI melaksanakan pengobatan keliling di Kebbana, sebuah desa yang berada di puncak tertinggi di antara gunung-gunung di sana pada Ahad (18/5/2014) kemarin. Berikut pengalaman berharga yang ia sampaikan dalam sebuah tulisan singkat di situs HASI pada Senin (19/5) tersebut.
Kebbana, Negeri di Atas Awan
Menjelang zuhur, dokter Romi datang ke kamar kami dan meminta kami untuk persiapan karena selepas zuhur kita akan melakukan pengobatan ke tempat yang jauh. “Siap, dok”, jawab kami semangat. Melakukan pengobatan keliling bagi kami merupakan sebuah ‘hiburan’ tersendiri, bertemu dengan banyak rakyat Suriah yang tertindas, merasakan kesulitan mereka di tenda-tenda pengungsian, memahami derita mereka dalam dinginnya malam tanpa selimut dan penghangat ruangan, dan juga mengambil banyak pelajaran dan hikmah dari setiap tragedi yang menimpa mereka.
Setelah shalat zuhur berjamaah, kami, tim relawan ke-11 Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI) bergegas menuju mobil yang akan menghantar kami ke tempat yang kami tuju untuk mengadakan pengobatan bagi rakyat Suriah. Sebelum berangkat, seperti biasa kami singgah ke gudang penyimpanan obat-obatan Rumah Sakit Lapangan (RSL) Salma yang berjarak satu kilometer dari RSL Salma. Bekal kali ini agak banyak mengingat tempat yang agak jauh dan banyaknya rakyat Suriah yang mengungsi melebihi jumlah tempat yang biasa kami kunjungi.
“Ya Abu Abdillah, kali ini kita akan mendatangi sebuah desa yang berada di puncak gunung. Ia berada di puncak tertinggi di antara gunung-gunung yang ada, namanya Kebbana. In syaa Allah.” Jelas dokter Romi. “Tamaam duktuur (siap dokter),” jawab saya. Dokter Romi dan saya berada di dalam ambulan, sedangkan tiga teman HASI lainnya naik mobil operasional RSL Salma, hal ini untuk memberi kenyamanan selama perjalanan dan tidak duduk berdesakan. Alhamdulillah.
Perjalanan untuk mencapai lokasi sekitar dua jam perjalanan dengan medan pegunungan yang terjal. Keindahan alam pegunungan membuat kami menepikan rasa lelah. Walaupun terkadang kami melewati sisa-sisa kezaliman rezim Asad terhadap bumi yang diberkahi ini. Beberapa hutan yang kami lewati banyak yang rusak berat karena terbakar habis, tampak dari sisa-sisa batang pohon yang hitam pekat.
Ketika kami tanyakan apakah ini semua yang melakukan tentara Asad? Dokter romi mengiyakan dan menegaskan kepada kami bahwa tidak ada yang selamat dari kezalimannya. “Semoga Allah membalasnya dengan balasan yang setimpal,” ujarnya. Kami pun mengaminkannya.
Setelah melalui beratnya medan pegunungan yang berkelok, naik dan turun dengan tajam sampai saya mengira, mungkinkah ada penduduk di atas gunung sana dengan perjalanan sepanjang dan seberat ini? Dokter Romi yang memahami maksud saya menyampaikan bahwa ini bukanlah jalan yang sebenarnya, hanya biar kami menikmati perjalanannya.
Kami pun sampai di desa Kebbana, sebuah desa yang sangat indah, di atas puncak gunung yang dari atasnya kami bisa melihat sebagian besar kota-kota di Suriah bahkan dataran Turki, Subhanallah. “Negeri diatas awan ini,” celetuk dokter Abu Fatimah takjub.
Sesampainya di Kebbana kami menuju rumah Abu Ahmad, tempat yang nanti akan kami adakan pengobatan di dalamnya. Dokter Romi meminta kepada pemuda setempat untuk menyampaikan kepada warga apabila ada yang sakit agar mendatangi rumah Abu Ahmad, karena akan ada pengobatan gratis. Pemuda itu pun langsung bergerak mengikuti arahan dokter Romi.
Rumah Abu Ahmad yang akan kami jadikan ruang praktek hanya sebesar 3×5 meter, dikurangi kursi panjang di sudutnya dan penghangat ruangan di tengah-tengahnya. Cukup padat ketika kami yang berjumlah delapan orang memasuki rumah tersebut, ditambah dengan tuan rumah. Rumah Abu Ahmad kami pilih sebagai tempat untuk membuka praktek karena kedekatan keluarga ini dengan beberapa petugas di RSL Salma.
“Desa ini memiliki peran penting saat awal-awal revolusi, ketika Salma pertama kali diserang, di rumah inilah kami bersembunyi dan melarikan diri dari kekejaman rezim dan mereka menerima kami dengan baik serta melindungi kami,” jelas Musthafa, perawat senior di RSL Salma.
Penduduk Kebbana terlihat mulai berdatangan, tidak banyak pada awalnya, hanya lima hingga sepuluh orang, umumnya para wanita dengan anak-anaknya. Kami pun mulai membuka praktek pengobatan kepada mereka.
Keluhan mereka tidak jauh berbeda, anak-anak yang menderita batuk pilek (batpil), infeksi telinga, demam tinggi dan lain sebagainya. Sedangkan orang dewasa kebanyakan radang tenggorokan, migrain, pegal linu bahkan ada yang sakit gula. Beberapa penyakit tidak kami bawa obatnya bersama ambulan, sehingga harus dipesan dulu untuk kemudian kami akan kembali pada pengobatan mendatang.
Tidak terasa satu jam berlalu pasien tak kunjung berhenti [berdatangan]. Ternyata banyak penduduk Kebbana yang berdatangan untuk mengeluhkan penyakitnya dan meminta solusi obatnya, hingga dua dokter kita yaitu dokter Romi dan dokter Abu Fatimah yang dibantu dengan dua perawat, Musthofa dan Abu Umar kewalahan menghadapi pasien yang terus berdatangan.
Habisnya obatlah yang kemudian membuat pelayanan ini terhenti. Dua dus besar obat-obatan habis pada saat itu, Alhamdulillah. Ratusan penduduk yang datang untuk mendapatkan pelayanan medis itu sangat jauh dari prediksi kami sebelumnya.
Maka untuk mengobati kekecewaan mereka, kami menjanjikan untuk datang kembali pada pekan ini. In syaa Allah.
(hasi/arrahmah.com)