Perang tak hanya melibatkan dua pasukan berseragam militer bersenjata tempur yang saling berhadapan. Lebih dari itu, suatu peperangan memiliki dimensi yang lebih luas, menembus batas wilayah konflik. Sisi lain dari sebuah peperangan tersebut adalah opini, perang opini. Begitu hebatnya sebuah perang opini dilancarkan, sehingga al-Haq akan menjadi kabur di mata mereka yang tidak mempunyai kacamata yang benar dalam memandang. Sebaliknya, kebatilan akan dianggap sebagai suatu solusi bagi sebuah permasalahan.
Adalah al-Jihad fii Sabilillaah, sebuah nama yang selalu diperebutkan dalam pertarungan opini oleh beberapa kelompok manusia. Kelompok pertama, terdiri dari kaum muslimin yang memahami betul seluk-beluk Dienul Islam, sekaligus berusaha mengamalkan setiap perintah yang ada di dalamnya. Atas nikmat Allah, mereka dapat melakukan semuanya itu. Kelompok ini merujuk kepada sumber yang benar (Al-Qur`an dan as-Sunnah) yang mengatakan bahwa al-Jihad fii Sabilillaah adalah perang melawan orang-orang kafir. Sementara kelompok kedua terdiri dari sekian banyak kepentingan pribadi atau golongan, ditambah dengan kebodoh. Mereka, kebalikan kelompok pertama, selalu menafikan kewajiban memerangi orang-orang kafir. Tentu dengan sekian macam dalih dan pertimbangan yang jauh dari bimbingan wahyu Allah. Target utama perang kedua kelompok tersebut satu : ummat Islam. Sama-sama ingin meraih dominasi opini umat Islam terhadap makna al-Jihad fii Sabilillaah.
Sementara perang opini berlangsung, perang fisik pun terus berkecamuk. Pada saat yang bersamaan, sebagian kaum Muslimin ~atas rahmat Allah ta`ala~ mulai menemukan titik terang sebuah kebenaran. Pemahaman sebagian ummat Islam tentang makna al-Jihad fii Sabilillah berangkat menuju sebuah titik kebenaran. Hal tersebut berjalan seiring dengan tumbuhnya kebutuhan masyarakat akan seubah tatanan kehidupan yang mampu memberikan jawaban atas seabrek permasalahan kehidupan manusia. Muncullah nama : Syari`at Islamiyah. Selanjutnya, berkembang menjadi wacana yang terus bergulir di tengah-tengah masyarakat, baik yang pro maupun kontra. Suatu gejala yang sebelumnya amat tabu untuk diadakan. Namun, benarkah semua gejala tersebut membawa suatu efek positif yang jelas terhadap Islam ? Pertanyaan ini kemudian memunculkan kebutuhan akan koreksi dari semua perkembangan yang ada, terutama dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan jihad dan atau penegakan syari`at Islamiyah.
Ternyata terdapat sekian penyelewengan terhadap makna jihad dan tujuan penegakan syari`at Islamiyah, yang justru diusung oleh tokoh atau organisasi Islam yang mendengung-dengungkan kedua istilah tadi. Penyelewengan tersebut berujung kepada sebuah tindakan yang sebenarnya sungguh amat keji: tikaman terhadap jihad. Berikut ini gambaran beberapa fakta yang disadari atau tidak adalah sebuah tikaman terhadap Jihad fii Sabilillah.
Tidak Ada Jihad Tanpa Khalifah
Sebagian kaum muslimin yang rindu tegaknya syari`at Islamiyah memandang kedudukan Khilafah Islamiyah (sentral kekuasaan Islam sedunia) sebagai tuntunan mutlak, dan menganggapnya sebuah satu-satunya solusi atas pelbagai problem ummat ini. Mereka menganggap titik tolak (starting point) seluruh kegiatan ummat ini adalah Khilafah tersebut. “Khilafah dulu.. baru yang lain”, prinsipnya. Ini kemudian berkembang kepada prinsip lain,”Khilafah dulu.. baru kemudian berjihad”.
Memang benar, wujud Khilafah Islamiyah adalah payung yang melindungi seluruh ummat Islam di dunia, membereskan segala tetek-bengek persoalan yang dihadapinya. Tetapi, sebuah pertanyaan besar berselip pada pemahaman ini. “Dari mana datangnya khilafah?”. Apalagi kalau kedudukan jihad dikesampingkan, menunggu tegaknya khilafah tersebut. Ini mengandung konsekuensi, khilafah yang nantinya akan berdiri tidak dibangun melalui proses Jihad fii Sabilillah. Bila khilafah identik dengan kekuasaan politik, maka ada beberapa cara yang bisa ditempuh selain Jihad fii Sabilillah. Tetapi harap diingat, seluruh cara tersebut adalah sia-sia, kalau tidak sampai pada kebatilan. Dakwah dan demokrasi adalah contohnya. Dakwah memang mutlak sebagai sebuah kewajiban, di samping menjadi strategi dalam pendirian khilafah atau penegakan syariat Islamiyah. Tetapi dakwah harus dikawal oleh Jihad fii SAbilillah. Sehingga ketika dihadapkan kepada kekuasaan yang menentangnya, para da`i sanggup “berbicara”. Sementara demokrasi, adalah contoh dari sebuah kebatilan. Sudah banyak telaah dan kajian yang menyebar di kalangan kita tentang hal ini.
Tidak ada Jihad tanpa Tarbiyah
“Luruskan pemahaman tentang dienul Islam, baru berjihad. Bagaimana bisa berjihad, kalau Islamnya saja tidak betul.”
Kalimat-kalimat di atas adalah pisau beracun yang mempunyai dua mata. Mata pertama mengakibatkan urungnya seseorang menjalankan kewajiban Jihad fii Sabilillah. Sementara mata kedua memisahkan antara Jihad dan Islam itu sendiri. Padahal dua hal tadi adalah sebuah kesatuan yang tak terpisah.
Mereka yang mempunyai pemahaman ini adalah orang-orang yang lalai. Lalai dan lupa bahwa sesungguhnya takaran akhir dari benar tidaknya Islam seseorang adalah pelaksanaan Jihad fii Sabilillaah. Tanpa jihad, kesempurnaan Islam masih berupa tanda tanya besar. Adalah Rasulullah Salallaahu `alaihi wassalam menjadikan Jihad fii SAbilillaah sebagai puncak dari urusan dien ini. Beliau juga bersabda,”Barangsiapa yang tidak pernah berperang, dan tidak pernah pula menginginkan untuk perang, maka orang tersebut mati dalam keadaan jahiliyyah”
Justru dua sifat yang disindir oleh Rasulullaah adalah lambang kebodohan. Seseorang tokoh populer dalam dunia Jihad, Dr. Abdullah Azzam Rahimahullah menandaskan bahwa sebaik-baik tarbiyah adalah parit-parit jihad.Sibuk mentarbiyah diri dengan buku-buku dan kajian-kajian serta seminar hanya akan melumpuhkan potensi seorang Muslim, menjadikan hatinya keras dan mempertinggi potensi konflik.
Memang benar, buku dan wasilah lain di atas adalah sarana untuk memahamkan seorang awam terhadap Islam. Tetapi perkataan DR. Abdullah Azzam rahimahullah di atas adalah sebagai reaksi atas munculnya fenomena sekelompok orang Islam yang mendakwahkan dirinya sebagai faqih, lulusan universitas ini dan itu, lalu menilai sebuah jihad yang dilakukan ummat Islam tidak sah, tanpa mau turun langsung ke medan jihad.
Di sisi lain, perkataan DR. Abdullaah Azzam rahimahullah tersebut memperingatkan kepada kita agar jangan menyibukkan diri dengan telaah tentang islam tanpa ada usaha untuk mengamalkan Islam itu sendiri.
Kembali kepada mereka yang berpaham “tak ada jihad tanpa tarbiyah”. Di antara mereka ada yang mengkhawatirkan keabsahan seseorang yang pergi berjihad sebelum pemahaman Islamnya sempurna, akan berdampak batil-lah jihad yang dilakukan. Ini adalah kekhawatiran palsu yang dipakai untuk menutupi keengganan mereka berjihad. Mestinya, mereka juga khawatir akan sia-sianya ibadah haji yang dilakukan seseorang tanpa tahu benar tata cara ibadah haji yang dilakukannya. Bahkan sebagian jama`ah haji negeri ini berangkat dengan bekal yang tidak benar, semisal meminta izin kepada Wali Songo dan orang-orang yang sudah mati, meratap di makam Rasulullaah dan berbagai penyimpangan lain. Mengapa ini tak pernah solusi?
Intinya, minimnya pemahaman seseorang tidak menggugurkan kewajibannya melakukan jihad. Bukankah Rasulullah pernah mengijinkan seorang yang baru saja masuk Islam dengan mengucapkan syahadat untuk pergi berperang? Ketika orang tersebut syahid, Rasulullah berkomentar. “Ia beramal sedikit, tetapi diberi ganjaran banyak.”
Mencela Mujahidin
Nama Ja`far Umar Thalib tentu masih hangat dalam ingatan kita. Oleh beberapa kalangan tertentu ummat ini, nama Ja`far begitu agung dan ditokohkan sebagai panglima (laskar) jihad. Tetapi Ja`far pernah melakukan tindakan tercela yang juga menikam jihad itu sendiri. Dalam mengomentari Usamah bin Ladin, ia menilai Usamah sebagai seseorang bodoh, beraqidah khawarij, bahkan seorang agen CIA. Naudzubillah… sebuah celaan yang amat besar terhadap seorang tokoh Mujahidin.
Bagaimana mungkin seseroang Usamah bin ladin yang menjadi buronan nomor satu Amerika (lambang utama musuh Islam) dinilai sebagai bodoh dan tak berilmu oleh seseorang yang tidak pernah berkecimpung dalam parit jihad ? Kalaupun “berjihad”. dalam konteks yang keliru: memberangus RMS, membela kedaulatan NKRI. Ulama` mana yang berani mengatakan membela NKRI sebagai sebuah jihad ?
Sedikit apapun dampak negatif ucapan Ja`far terhadap penilaian ummat Islam terhadap Usamah bin Ladin, tetap mengandung tikaman terhadap Jihad fii Sabilillah.
Ja`far tidak sendirian. Masih ada sederet nama tokoh Islam yang mencela pemimpin Mujahidin, entah Usamah bin Ladin, Syaikh Ahmad Yassin, Mulla Muhammad Umar atau yang lainnya. Memang mereka bukan orang-orang maksum yang terbebas dari kekurangan dan kesalahan. Tetapi apakah kemudian mencaci mereka adalah tindakan yang dianggap sah sebagai “nasehat” atau “islah” ? Alih-alih sebuah nasehat, cacian tersebut malah menjadi amunisi gratis bagi musuh-musuh Islam, untuk terus mengkerdilkan Jihad fii Sabilillah.
Memilah-milah Tempat Jihad
Meletupnya titik-titik jihad, semisal di Chechnya, Afghanistan dan Palestina, bila kita tidak hati-hati dalam mensikapinya, akan membuat hati kita lebih condong ke salah satunya. Seperti menganggap jihad di Chechnya lebih baik daripada di Afghan dan Palestina, dengan alasan media publikasi Mujahidin Chechnya lebih baik. Atau menganggap jihad di Afghan lebih hebat daripada di Palestina. Atau di Palestina lebih afdhal, karena ada motivasi membela al-Aqsha.
Gejala ini muncul bukan dari seorang Muslim yang telah siap perbekalannya untuk berangkat ke medan jihad, lalu memilih medan mana yang paling seru berkecamuk sehingga kemungkinan syahid lebih besar. Tetapi muncul dari kalangan masyarakat kita yang tidak lebih dari sekedar “pemirsa”. Disadari atau tidak, kebiasaan para pemirsa yang menganggap jihad di satu tempat lebih mulia dari tempat lain, adalah tindakan tikaman terhadap jihad itu sendiri. Awalnya mungkin berupa gejala simpati yang lebih besar terhadap jihad di tempat A daripada B. Lalu muncul sikap meremehkan jihad di bumi B. Tahapan ini kalau tidak segera diatasi akan mengakibatkannya memandang jihad di bumi B bukanlah jihad. Padahal kenyataannya, baik di bumi A maupun B, sama-sama sebuah peperangan melawan orang-orang kafir, demi tegaknya dienul Islam. Inilah sikap yang harus diwasapdai oleh setiap “pemirsa” jihad.
Tegakkan Syariat Tanpa Jihad
Di negeri ini, perubahan peta politik yang demikian drastis membuat sesuatu yang dulunya tabu menjadi sebuah tuntutan. Syariat islamiyah, misalnya. Dewasa ini bermunculan pribadi atau institusi yang menuntut diberlakukannya syariat Islamiyah. Tuntutan ini semakin kuat, dengan digulirkannay kebijakan otonomi daerah (otda).
Bila tuntutan pemberlakuan syariat Islamiyah di bawah payung otda dijadikan sebagai titik akhir usaha pemberlakuan syariat Islamiyah, adalah sebuah kekeliruan besar. Titik kekeliruannya adalah menjadikan Islam sebagai sebuah sub sistem dari sistem utama di negeri ini: Pancasila. Pola perjuangan semacam ini ibarat menegakkan benang basah. Sebab, dengan posisi semacam itu, hanya syariat Islam yang tidak melanggar Pancasila saja yang boleh dilakukan. Kalau begitu, sama saja dengan sebelum adanya ribut-ribut otda. Padahal syariat islam akan menjalankan fungsinya sebagai rahmatan lil `alamin bila ia berdiri paking tinggi di atas sistem-sistem kehidupan lainnya. Sistem-sistem yang ada dibawahnya pun harus tidak bertentangan dengan sistem Islam.
Pertanyaan penting yang harus dijawab oleh pengusung ide syariat Islamiyah, adalah bagaimana menegakkan syariat Islamiyah itu ? Kalau terpulang kepada tata-cara selain Jihad fii Sabilillah, jangan-jangan kita terperosok ke dalam tipologi kekafiran: mengimani sebagian isi al-Qur`an dan mengkufuri sebagian lainnya. Merindukan tegaknya syariat Islamiyah, setelah mencampakkan Jihad fii Sabilillaah dari induk besar syariat Islamiyah. Lalu, syariat Islam macam mana yang bakal tegak ?
Celakanya, gejala ini pun menghinggapi sebagian para penuntut pemberlakuan syariat Islamiyah. Ketika diajak bicara indahnya syariat Islamiyah, mereka sangat getol. Tetapi ketika pembicaraan menyangkut jihad sebagai upaya pemberlakuan syariat, mereka sangat gatal.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai sebuah introspeksi atas maraknya gelora jihad dan tuntutan pemberlakuan syariat Islamiyah. Semoga menjadi sumbangan yang konstruktif bagi perjalanan perjuangan menegakkan `izzul Islam wal Muslimin. Amiin.