Uji materiil terhadap UU No 2/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, kembali dilanjutkan. Dari empat saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, tiga di antaranya mengusulkan hukuman mati dengan cara pancung.
Selain pancung, cara lain yang diusulkan adalah suntik mati. Keempat saksi ahli adalah KH Mudzakir dari MUI Surakarta, Ahli Hukum Pidana UI Rudi Satrio, Ahli Bedah MER-C Dr Joserizal Jurnalis, dan Ahli Anastesi Dr Sun Sunatrio.
“Saya mengusulkan cara pancung, ” kata ahli bedah MER-C Dr Joserizal Jurnalis dalam sidang Uji materi ini diajukan oleh pengacara Amrozi cs, di kantor MK, Jakarta, Kamis (18/9).
Menurut Dr. Jose, alasan pemilihan cara pencung ini, karena pusat kehidupan ada di kepala sehingga untuk memusnahkan kehidupan kepalalah yang harus diincar. Untuk itu ada dua metode, yakni penggal dan gantung. Akan tetapi, karena potensi penyiksaan lebih besar dengan metode gantung, maka Ia mengusulkan cara pancung.
Sementara itu, saksi ahli dari MUI, KH Mudzakir, mengusulkan pancung karena berdasarkan pengalaman unsur penyiksaannya lebih kecil. Metode itu juga sesuai dengan syariat Islam. “Itu sesuai dengan syariat Islam, ” ujarnya.
Senada dengan saksi dari MUI, Saksi ahli yang merupakan ahli anastesi Dr Sun Sunatrio, juga mengusulkan pancung. Namun Dr Sun menempatkan metode ini sebagai opsi kedua setelah suntik mati. Alasannya, suntik mati adalah metode yang unsur penyiksaannya paling kecil. “Dengan catatan teknisnya harus benar, ” tegasnya.
Adapun saksi ahliyang juga pakarhukum pidana UI Rudi Satrio, hanya menegaskan bahwa poin yang paling penting adalah tidak adanya unsur penyiksaan.
“Dari sisi hukum pidana, sepanjang cepat dan tidak menyiksa nggak masalah, ” ujarnya.
Dalam UU No 2/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang saat ini berlaku di Indonesia, terpidana mati dihukum dengan cara ditembak tepat di bagian jantung. Jika belum mati, maka tembakan selanjutnya diarahkan ke bagian kepala.
Dalam persidangan sebelumnya, Koordinator Tim Pengacara Muslim, Ahmad Michdan mengatakan, tata cara pelaksanaan pidana mati yang diatur dalam UU No. 2/pnps/1964 tidak manusiawi dan telah melanggar hak konstitusional Pemohon untuk tidak disiksa berdasarkan Pasal 14 ayat (3) UU a quo sehingga bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Pemohon juga menginginkan adanya pilihan alternatif bagi terpidana untuk memilih cara pelaksanaan eksekusi mati baginya. Pemohon juga mengajukan permohonan provisi untuk menunda pelaksanaan eksekusi pidana mati terhadap pemohon.
“Dikhawatirkan tuntutan akan gugur bila pemohon yang bersangkutan telah meninggal dunia karena telah dieksekusi, ” papar Kuasa Hukum Amrozi Cs. (Hanin Mazaya/Eramuslim)