JAKARTA (Arrahmah.com) – Indonesia Police Watch (IPW) mencium adanya kejanggalan dalam penyergapan yang dilakukan Densus 88 terhadap 3 tertuduh teroris pada hari Jumat (31/8) lalu. Pertama, pistol yang disita dari tertuduh teroris adalah Bareta dengan tulisan Property Philipines National Police.
Padahal sebelumnya Kapolresta Solo Kombes Asdjima’in menyebutkan, senjata yang digunakan menembak polisi di pospam Lebaran jenis FN kaliber 99 mm.
“Pertanyaannya, apakah orang yang ditembak polisi itu benar-benar orang yang menembak polisi di Pospam Lebaran atau ada pihak lain sebagai pelakunya?” tutur Ketua Presidium IPW, Neta S Pane dalam keterangannya, Minggu (2/9/2012).
Keganjilan kedua terkait tertembaknya anggota Densus 88, Bripda Suherman. Tembakan yang membuat Suherman ikut tewas menunjukkan ketidakberesan standar operasi prosedur anggota Densus ketika bertugas.
“Pertanyaannya, apakah benar pada malam 31 Agustus itu ada operasi Densus, jika ada kenapa anggota Densus bisa teledor, bertugas tidak sesuai SOP?” kata Neta.
Keganjilan ketiga, beberapa jam setelah penyergapan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Kapolri segera meninjau lokasi kejadian.
“Padahal dalam peristiwa-peristiwa sebelumnya, hal itu tidak pernah terjadi. Bahkan saat tiga kali penyerangan terhadap Pospam Lebaran SBY tidak bersikap seperti itu. Pertanyaannya, apakah SBY ingin membangun citra dan menarik simpati publik dari peristiwa Solo yang sempat memojokkan Jokowi ini?” tutur Neta.
IPW menganalisa, meski Densus sudah melakukan penyergapan di Solo tapi teror dan penembakan terhadap polisi tetap menjadi ancaman. Sebab rasa kesal sebagai masyarakat terhadap polisi kian memuncak.
Catatan IPW, selama 5 bulan pertama 2012 saja ada 11 polisi yang dikeroyok masyarakat. “Untuk itu IPW mengimbau Polri agar mengubah sikap, perilaku dan kinerjanya. Anggotanya jangan arogan, represif, memeras dan memungli masyarakat. Tapi bekerja profesional dan proporsional,” jelas Neta. (bilal/dbs/arrahmah.com)