Oleh: Mahrita Julia Hapsari, M.Pd
(Arrahmah.com) – Tak terasa sudah tiga purnama Covid-19 berada di Nusantara. Sejak awal Maret hingga awal Juni 2020, mulai dari 2 orang yang positif sampai 27.549 orang (kompas.com, 02/06/2020). Sepanjang masa itu dan sebanyak itu yang terinfeksi, telah tiga episode dilakoni oleh corona sebagai pemeran utama. Atau dia hanya kambing hitam? Mari kita lihat.
Episode satu. Bercanda dengan Corona. Ini adalah episode mengaduk hati dan mengocok perut sambil menepuk dada. Ketika itu China berjibaku dengan Corona, Negara Asia Tenggara lainnya telah ditemukan 111 kasus. Sementara negeri ini masih nol kasus dengan dalil yang lemah dalam pandangan dunia.
Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan merasa wajib memberikan respon. Melansir dari liputan6.com (12/02/2020), menurut Menkes pemeriksaan sudah sesuai protokoler. Yang diperiksa ada 62 suspect dari 16 provinsi. Dunia ragu, pasalnya jumlah penduduk Indonesia ada 270 juta jiwa, sementara yang diperiksa hanya 62 orang. Bagaimana bisa mewakili?
Menkes bahkan menantang peneliti dari Harvard untuk datang langsung ke Indonesia. Menkes sebut, kekuatan doa yang menyebabkan Indonesia bebas corona (wartaekonomi.co.id, 15/02/2020). Yang lucu, penyataan Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya. Katanya, orang Indonesia bebas corona karena rajin makan nasi kucing (republika.co.id, 17/02/2020). Adapula pejabat yang bilang, beriklim tropis membuat Indonesia bebas Corona.
Episode ini berakhir dengan tawa getir di medio 2 Maret 2020, saat diumumkan ada 2 orang positif covid. Semua terdiam, tak mengerti harus apa. Padahal baru bercanda dengan Corona. Sejak hari itu, Corona tak lucu lagi.
Episode dua. Bersama Melawan Corona. Sejak ditemukan kasus positif covid di Indonesia, pemerintah mengajak masyarakat melawan corona. Masker dan hand sanitizer langka dan melonjak harganya, diserbu oleh masyarakat yang panik. Alat Pelindung Diri (APD) untuk petugas medis juga kurang.
Pemerintah mengimpor masker dan APD dari China. Ternyata setelah dilihat, made in Indonesia juga. Filantropi banyak bermunculan, masyarakat yang membuatkan APD untuk petugas media. Sementara pemerintah malah mengekspor masker dan APd ke luar negeri.
Pada episode ini, secara tidak langsung Corona telah menjamah sektor ekonomi sosial. Perlunya phsycall distancing membuat banyak yang memilih di rumah saja. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan Work for Home (WFH) dan School dor Home (SFH). Dua kebijakan ini mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat. Otomatis berpengaruh juga pada produksi.
Akhirnya, jutaan pekerja terkena PHK. Itu belum termasuk para pedagang kaki lima dan pelaku usaha yang memiliki penghasilan harian. Sementara, pemerintah justru memasukkan ratusan TKA asal China. Miris.
Lalu, pemerintah seakan peduli nasib rakyat, membuka tiga jaring pengaman sosial. Yaitu, kartu Prakerja, BLT, dan Bansos. Ternyata, lagi-lagi rakyat mesti kecewa. Bansos dan BLT katanya Rp600.000/bulan selama 4 bulan, yang diterima tak sebesar itu. Belum lagi yang salah sasaran akibat data yang tak akurat.
Kartu Prakerja dengan sistem pelatihan ala kadarnya via online. Ternyata hanya memperkaya orang-orang di seputaran istana yang memenangkan tender tanpa lelang untuk penyelenggara pelatihan. Dana segar yang diharapkan dari program kartu Prakerja pun belum juga turun.
Katanya, pemerintah menyiapkan dana Rp405.1 T untuk melawan covid. Ternyata diambil dari alokasi dana APBN yang dipotong sana sini. Mengapa tak diambil dari dana membangun ibukota baru? Mengapa tak diambil dari gaji para stafsus dan BPIP? Gaji tinggi tapi kerja tak jelas. Buktinya, di tengah pandemi, saat bulan Ramadan, BPIP malah mengadakan konser yang tak mematuhi protokol kesehatan.
Pemerintah bahkan menyiapkan imunitas diri agar tak dijerat hukum saat menggunakan dana negara. UU No. 1 tahun 2020 menjadi saksi upaya pemerintah berkelit dari proses hukum. Bukan itu saja, dari 405.1T hanya 75T untuk kesehatan, 120T untuk jaring pengaman sosial, sisanya untuk suntikan dana para kapital.
Kecintaan penguasa oligarki pada pengusaha kapital memang tak bisa dipungkiri. Di masa pandemi, masih sempat mengesahkan UU Minerba yang menguntungkan kapital dan mengorbankan rakyat.
Episode dua, laju corona semakin tak terkendali. Permintaan lockdown atau karantina wilayah dari rakyat, justru di jawab dengan PSBB. Lockdown mewajibkan pemerintah menjamin kebutuhan pokok semua rakyat bahkan hewan peliharaan. Sedangkan PSBB melegitimasi penguasa untuk lepas tangan melayani rakyat.
Dan berakhirlah episode dua ini dengan grafik laju corona semakin meningkat. Di tengah tanjakan, ada suara bernada tak sabar dari penguasa. Pokoknya grafik harus turun di bulan Juli, bagaimana pun caranya. Relaksasi PSBB diwacanakan, transportasi dibuka. Mudik dilarang, pulang kampung diijinkan.
Di tengah kebingungan melihat cara penguasa menangani covid, kecemasan rakyat semakin bertambah. Bukan hanya covid yang mengancam, 30.000 lebih napi dilepaskan menjadi ancaman baru. Episode dua pun berakhir dengan kondisi rakyat bagai jatuh tertimpa tangga.
Episode ketiga. Berdamai dengan Corona. Opsi ini ramai disebut dengan “the new normal life”, hidup normal yang baru. Hidup berdamai dengan Corona, tetap mengikuti protokol kesehatan.
Skenario dan persiapan menuju new normal telah dibuat. Presiden sampai turun meninjau kesiapan mal. Petugas keamanan mulai dari satpol PP hingga TNI diterjunkan mengawasi pasar-pasar. Menjaga kedisiplinan warga memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak.
Tempat ibadah, tempat wisata, hingga sekolah pun akan dibuka kembali secara bertahap sejak 1 Juni 2020. ASN kembali bekerja. Petugas medis menjerit: “PSBB gagal, siap-siap sibuk menerima pasien.”
Semua dilakukan pemerintah demi berputarnya roda ekonomi. Ya, sudahlah. Rakyat bisa apa?
Berjibaku melawan corona sambil mempertahankan kondisi ekonomi keluarga sendiri. Lalu dimana peran negara? Seorang politisi berkata:”Negara tidak mungkin terus-terusan membiayai rakyatnya.”
Demikianlah negara kapitalisme, rakyat bukan untuk dibiayai dan diurusi, namun jadi sumber pemasukan negara. Pajak namanya. Semakin sempit hidup rakyat.
Keadaan hidup yang sempit ini telah Allah Swt. peringatkan dalam Al-Qur’an surah Thaha ayat 124. Jadi, jika kita hendak keluar dari kesempitan hidup ini, maka wajib bagi kita kembali berhukum pada syariat Allah. Wallahu a’lam []
(ameera/arrahmah.com)