JERUSALEM (Arrahmah.com) – Sekitar 100 orang menghentikan sesi latihan klub sepak bola Beitar Jerusalem dengan menyerang lapangan (4/12/2020).
Mereka menginterupsi sesi latihan bukan karena klub diambang degradasi tapi untuk berunjuk rasa menentang negosiasi terkait pembelian klub itu oleh anggota keluarga penguasa Uni Emirat Arab (UEA).
Beitar mengumumkan pada 7 Desember bahwa mereka telah menandatangani kesepakatan investasi dengan Syeik Hamad bin Khalifa Al Nahyan.
Padahal, pendukung Beitar terkenal atas bias anti-Arab, anti-Muslim, dan perilaku kasar mereka.
Bersamaan dengan interupsi sesi latihan, pendukung klub juga menuliskan grafiti dengan kata-kata ofensif di tembok stadion Beitar sebelum kesepakatan investasi itu diumumkan.
Kesepakatan itu juga tidak ditanggapi positif oleh sejumlah komentator sepak bola di Arab.
Al Nahyan setuju untuk menginvestasikan sekitar US$92 juta, atau sekitar Rp1,3 triliun untuk Beitar Jerusalem selama 10 tahun ke depan dengan imbalan 50% saham di klub
Akuisisi tersebut adalah salah satu dari banyak kesepakatan komersial yang telah terjadi sejak UEA dan Israel menjalin hubungan diplomatik pada September lalu.
Meskipun bukan kesepakatan paling substansial yang ditandatangani antara kedua negara, kesepakatan investasi Beitar tentu saja termasuk yang paling kontroversial.
Para pemain Yahudi dan Arab secara rutin tampil bersama di Israel, termasuk di tim nasional.
Namun, klub Yerusalem tidak pernah mendatangkan pemain Arab, meskipun mereka memiliki sejumlah pemain Arab di tim yuniornya.
Pada 2013, suporter diduga membakar kantor Beitar menyusul penandatanganan kontrak dua pesepakbola Muslim dari Chechnya.
Selama pertandingan, nyanyian rasis seperti “Matilah Orang Arab” dan spanduk ofensif adalah hal biasa, meskipun ada upaya dari pemilik klub saat ini untuk mengubah perilaku tersebut.
Moshe Hogeg, seorang jutawan perusahaan teknologi informasi, mengambil alih Beitar pada 2018. Ia lahir di Israel dari ayah yang berasal Tunisia dan ibu yang berasal dari Maroko.
Dalam sebuah wawancara dengan BBC pada Desember 2019, ia menjelaskan upaya membatasi perilaku rasis yang mencakup ancaman tindakan hukum yang mahal terhadap pendukung klub yang perilakunya dianggap diskriminatif.
“Saya tidak mencoba menghancurkan kehidupan seseorang. Saya tidak mencoba menjadi ayah dan ibu mereka. Saya tidak mencoba untuk mengajarkan mereka – itu bukan tugas saja,” ujar Hogeg, seperti dikutip dari BBC (9/12/2020).
“Tapi ketika Anda membawa sikap diskriminatif itu ke stadion dan Anda berperilaku seperti itu, itu akan tercermin dengan buruk terhadap semua penggemar dan terhadap negara kita, saya tidak bisa menerima itu.”
Hogeg juga mengatakan dia tidak akan mengontrak pemain Arab “menegaskan maksudnya”, tetapi ia tidak akan takut mengambil langkah itu karena alasan olahraga.
“Saya tak peduli dengan agama seorang pemain dan saya tidak peduli dengan warga kulit mereka. Saya peduli kalau ia bisa membatu tim, jika ia adalah pemain sepak bola yang handal,” tegasnya.
Jutawan Moshe Hogeg membeli klub tersebut pada 2018 dan berjanji untuk mengubah budaya di klub itu
“Entah itu akan terjadi atau tidak, ada banyak pemain Arab Israel yang bagus dan bisa jadi kami akan menawarkan salah satu dari mereka. ”
Dalam pernyataan yang dikeluarkan setelah pengumuman kesepakatan dengan Al Nahyan, Hogeg menuturkan pernyataan bernada damai.
“Bersama-sama, kita semua membawa klub ke hari-hari baru hidup secara berdampingan, berprestasi, dan persaudaraan demi klub dan komunitas kita,” katanya. (hanoum/arrahmah.com)