JAKARTA (Arrahmah.com) – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebut aparat kepolisian masih menggunakan penyiksaan penyalahgunaan diskresi untuk mendapatkan pengakuan tahanannya. Hal tersebut juga digunakan polisi untuk merekayasa kasus agar tampak meyakinkan.
Menurut Kadiv Advokasi dan HAM badan pekerja KontraS Yati Andriyani, dari berbagai kasus yang diterima KontraS, ada banyak petunjuk dan keterangan korban bahwa proses hukum di kepolisian tidak dilakukan secara profesional, dimana ada praktek penyiksaan, ada proses hukum yang tidak diimbangi dengan bukti yang menyakinkan serta tidak ada informasi yang diberikan secara baik ke korban maupun keluarga korban.
“Penyiksaan yang dilakukan selain sebagai cara pintas untuk mendapatkan pengakuan tersangka dan/atau korban, juga menjadi ajang bagi anggota Polisi untuk menunjukan kuasanya. Sehingga korban yang statusnya juga belum tersangka pun, ketika berada di bawah penguasaan polisi rentan menjadi korban penyiksaan,” kata Yati, seperti ditulis kontras.org, Ahad (12/1/2014).
Dia melanjutkan, dalam catatan pengaduan yang diterima oleh KontraS sepanjang tahun 2013 hingga awal Januari 2014, KontraS menerima 9 kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dengan jumlah korban sebanyak 16 orang, 3 orang diantaranya meninggal dunia [lihat kasus penyiksaan di Polres Baubau, Sibolga, Kasus Penyiksaan Danes oleh Polres Tangerang, Kasus Edih Kusnadi, Kasus Sun An dan Ang Ho]
Polisi melindungi anggota dan institusinya
Penghukuman terhadap beberapa anggota kepolisian, kata Yati, yang melakukan praktik-praktik kriminalisasi/rekayasa kasus tidak dianggap sebagai suatu tindak kejahatan pidana, hal ini merujuk beberapa statmen pihak kepolisian yang cenderung melindungi anggota dan institusinya. Pimpinan Polri sering memilih bertempur di media untuk menyatakan anggotanya tidak bersalah daripada memaksimalkan tenaga dan usahanya untuk menempuh mekanisme koreksi menguji dugaan rekayasa yang ada.
Asal ada uang polisi siap layani dengan baik
KontraS menambahkan bahwa latar belakang “kelas” sosial masyarakat juga menjadi bagian penentu potensi terjadinya rekayasa kasus dan/atau kriminalisasi terhadap seseorang. Terdapat tiga kategori,
Pertama; masyarakat miskin, tidak punya atau tidak bisa mendapatkan informasi, akan dengan mudah menjadi sasaran rekayasa kasus alias dikriminalkan.
Kedua; adalah kelas menengah, jika punya cukup, bisa mendapatkan informasi (akses lawyer) tapi tidak punya atau bertentangan dengan jaringan “kekuasaan” maka tetap punya potensi terkena rekayasa kasus, dengan sedikit kemungkinan bisa kena pemerasan.
Ketiga; masyarakat tidak selalu punya kemampuan mencari informasi (tidak melek hukum) tapi punya uang cukup dan punya akses kekuasaan, justru menjadi kelas yang dilayani oleh penegak hukum. (azm/m1/arrahmah.com)