JAKARTA (Arrahmah.com) – Ketua Komisi VIII DPR Saleh Partaonan Daulay meminta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjelaskan kriteria dalam menentukan aktivitas radikal yang disinyalir dilakukan 19 pondok pesantren (ponpes), sebagaimana tudingan BNPT ponpes tersebut sarat dengan aktivitas radikalisme.
Mengutip Antara, Saleh menyakini BNPT telah memiliki kriteria baku yang menjadi ukuran dalam melakukan penilaian dan penelitian serius dan monitoring yang berkelanjutan.
“Namun, seharusnya BNPT melibatkan Kementerian Agama dalam melakukan kajian. Bila perlu melibatkan organisasi-organisasi masyarakat Islam,” tuturnya.
Dia juga mendesak BNPT mengungkap 19 nama pondok pesantren yang terindikasi sarat dengan aktivitas radikalisme.
“Pengungkapan nama-nama pondok pesantren tersebut dinilai penting agar tidak menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat, terutama orang tua yang mengirimkan anaknya belajar,” kata Saleh melalui pesan singkat di Jakarta, Rabu (3/2/2016), lansir Antara
Kepada Kementerian Agama Saleh meminta segera berkoordinasi dengan BNPT. Sebab, Kementerian Agama memiliki tanggung jawab dalam membina pondok-pondok pesantren.
Pembinaan yang dilakukan Kementerian Agama tentu juga dibarengi dengan pengawasan aktivitas termasuk kurikulum dan para tenaga pengajarnya.
“Yang mengeluarkan izin operasional pondok pesantren Kementerian Agama. Tentu sebelum mengeluarkan izin, Kementerian Agama sudah mengenal para pengasuhnya,” katanya.
Sebelumnya, Kepala BNPT Saud Usman Nasution mengatakan, terdapat 19 pondok pesantren di Indonesia yang terindikasi menyebar paham radikalisme dan terorisme.
Hal ini diketahui dari hasil profiling BNPT. Meski tidak merinci seluruhnya, Saud menyebut salah satu pondok pesantren tersebut adalah pesantren pimpinan Abu Bakar Ba’asyir.
“Sebenarnya kami sudah merinci 19 pondok pesantren tersebut, salah satunya itu terdapat di Solo, pondok pesantrennya Abu Bakar,” ungkapnya dalam diskusi publik di Jakarta Pusat, Selasa (2/2/2016), lansir Viva.
Menurut Saud, terdapat juga tempat salah satu pelaku bom Bali 2005, yaitu pondok pesantren di Boyolali, Jawa Tengah. Selain itu, ada di Lamongan, Jawa Timur, Lampung, NTB, serta di Cirebon.
“19 pondok pesantren ini kami melihat ada keterlibatan ?apakah itu pengajar atau murid. Pelakunya adalah lulusan pondok pesantren tersebut,” kata Saud.
Tindak lanjut yang akan dilakukan apabila pondok pesantren tersebut terbukti mengajarkan paham radikal, yakni diserahkan langsung kepada pihak yang memiliki otoritas akan hal itu, seperti Kejaksaan Agung.
“Kami akan koordinasikan dengan Jaksa Agung. Untuk langkah selanjutnya yang akan mengambil atau mencabut bukan kami,” katanya. (azm/arrahmah.com)