WASHINGTON (Arrahmah.com) – Penjualan senjata Amerika Serikat ke Mesir tidak terpengaruh oleh pemberontakan rakyat yang berhasil menggulingkan Presiden Hosni Mubarak pada bulan Februari, seorang pejabat Pentagon mengatakan, dikutip Al Arabiya pada Selasa (14/6/2011).
“Kami terus menjalani apa yang sudah kami lakukan dengan Mesir sebelum pemberontakan di wilayah Arab terjadi,” kata Laksamana William Landay, kepala Badan Kerja Sama Pertahanan Keamanan pada wartawan di Pentagon.
“Tidak ada yang berubah,” tambahnya.
Namun, Laksamana Landay menolak untuk membahas tertundanya kesepakatan senjata dengan negara-negara Timur Tengah lain di tengah kerusuhan yang telah mengganggu wilayah tersebut.
Departemen Pertahanan AS memperkirakan ekspor senjata di atas $ 46 miliar pada tahun fiskal 2011, yang berakhir pada 30 September. Angka ekspor ini naik dari $ 31,6 miliar tahun sebelumnya yang didorong oleh ketegangan internasional dan arus permintaan yang kuat terhadap senjata dengan teknologi paling mutakhir, menurut laporan Reuters.
Jual beli senjata merupakan salah satu instrumen utama kebijakan luar negeri AS sejak Doktrin Nixon pada tahun 1969. Doktrin itu berisi keharusan untuk melakukan melakukan kemitraan dengan negara-negara yang menjadi sekutu bagi AS ‘demi mewujudkan perdamaian’. Ekspor senjata telah diakui oleh para analis sebagai cara yang “mudah” bagi AS untuk memenangkan (baca: membuat sekutu bergantung pada AS, Red.).
Negara-negara di Timur Tengah telah menjadi pelanggan setia senjata AS selama ini.
Tetapi selama pemberontakan yang berlangsung selama 18 hari untuk menggulingkan Mubarak pada tanggal 11 Februari, revolusioner Mesir mengangkat tabung gas air mata yang berlabel “Made in US” yang membongkar keterlibatan pemerintah Barat dalam memasok senjata ke negara-negara yang bergejolak untuk menyerang rakyat mereka sendiri.
Demikian pula, bom dan peluru yang menghujani pemberontak Libya selama kerusuhan berlangsung di negara itu juga dijual kepada pemimpin Libya Muammar Gaddafi dari pemerintah Barat. Di antara pemasok utama senjata untuk Kolonel Gaddafi adalah Rusia.
Dua dari kesepakatan regional terbesar yang baru-baru ini diselesaikan adalah penjualan 84 unit jet tempur F-15 Boeing senilai 29,4 miliar ke Arab Saudi dan penjualan sistem pertahanan rudal canggih sebesar $ 7 miliar pada Uni Emirat Arab.
Sejak pertama menyetujui untuk menjual Advanced Medium-Range Air-to-Air Missiles (AMRAAMs) ke Arab Saudi dan Israel pada bulan April 1998, Pentagon pun telah menawarkan $ 3,2 miliar senjata kepada Mesir. Penawaran ini termasuk versi yang paling canggih dari F-16 (biaya produksi ditanggung AS), menurut penelitian oleh Federasi Ilmuwan Amerika. (althaf/arrahmah.com)