GAZA (Arrahmah.com) – Ummu Mohammed Abu Sada menggunakan kerudungnya untuk menghalau bau menyengat dari jenazah para korban kebiadaban “Israel”, beberapa di antaranya berada di jalan selama berhari-hari. Walau “gencatan senjata” diumumkan, namun kota di Gaza selatan menyaksikan penembakan terus-menerus dan serangan udara pengecut oleh pasukan Zionis.
“Bau jenazah membuat orang-orang semakin sengsara, sangat mengerikan melihat tubuh manusia dilemparkan ke jalan-jalan seperti itu,” ujar Abu Sada kepada Al Jazeera. “Rudal-rudal menghantam semua orang, tidak ada tempat bagi kami untuk mencari perlindungan.”
Jenazah warga Palestina yang gugur tidak bisa ditampung lagi di kamar mayat di rumah sakit Rafah dan kerabat tidak memiliki pilihan lain selain menyimpan mereka yang sangat dicintai di lemari pendingin komersial.
Banyak korban gugur tidak memiliki kerabat satu pun untuk mengurus jenazah mereka kecuali kerabat jauh, karena serangan udara pengecut “Israel” di Rafah telah menewaskan beberapa anggota dari keluarga yang sama.
Pada Sabtu (2/8/2014) lalu, empat anggota keluarga Mohammed Ayyad Abu Taha telah gugur ketika “Israel” menyerang rumah mereka, termasuk dua anak dan seorang perempuan. Sementara itu, serangan udara “Israel” di rumah keluarga Al Ghoul telah
menewaskan delapan anggota keluarganya pada hari Ahad (3/8), termasuk dua perempuan dan tiga orang anak yang masing-masing berusia satu bulan, tiga tahun dan tiga belas tahun.
Kerabat berkerumun di sekitar jenazah di rumah sakit Kuwaiti, membelai wajah tak berdosa anak berusia enam tahun dan tiga belas tahun yang penuh darah, dengan jari-jari mereka. Dokter tidak punya ruang di kamar mayat untuk keduanya, namun karena mereka cukup kecil, mereka bisa ditempatkan di freezer es krim.
Ibrahim Abu Moammar, dari Perhimpunan Nasional untuk Demokrasi dan Hukum di Rafah mengatakan kepada Al Jazeera bahwa tidak mengizinkan warga Palestina untuk menguburkan jenazah adalah bentuk penghinaan.
“Menyimpan jenazah di dalam freezer es krim dan lemari es sayuran adalah sebuah pelanggaran hak manusia paling dasar,” ungkapnya.
Sejauh ini, sedikitnya 1.830 warga Palestina telah gugur, dan lebih dari 9.406 lainnya terluka dalam serangan biadab pasukan Zionis di Jalur Gaza yang dimulai sejak awal bulan lalu. Menurut pengakuan “Israel”, 63 tentara “Israel” tewas bersmaa dua warga “Israel” dan seorang pekerja asal Thailand.
“Israel” kembali mengumumkan “gencatan senjata” selama 72 jam di seluruh Gaza kecuali wilayah timur Rafah pada Senin (4/8). Gencatan senjata sebelumnya yang diumumkan “Israel” telah mereka langgar sendiri, karena meskipun gencatan senjata diumumkan, namun serangan udara mereka tidak berhenti dilakukan.
Sementara itu, pejabat Palestina sedang berjuang dengan puluhan jenazah yang tidak dapat diidentifikasi baik karena luka-luka mereka yang parah atau karena tidak ada anggota keluarga yang tersisa untuk melakukannya. Bertahan dalam pengepungan Mesir-“Israel” di Jalur Gaza, membuat pemakaman tepat waktu menjadi hal yang hampir mustahil.
“Biasanya dalam situasi seperti ini kami membangun 500 kuburan, namun karena semen tidak diizinkan masuk ke Gaza, kami tidak dapat membangun kuburan,” ujar Hassan Al Saifi, wakil kementerian Wakaf Gaza, yang bertanggung jawab atas urusan agama, seperti dilaporkan Al Jazeera.
Untuk saat ini, jenazah ditempatkan ke dalam kuburan massal sementara waktu sampai serangan “Israel” berakhir. Namun tugas pemakaman juga menjadi sulit dilakukan karena penembakan yang tak henti di pemakaman Rafah.
“Dimana kami bisa mengubur kerabat kami jika ‘Israel’ membom pemakaman?” Abu Mohammed Abusuliman, seorang warga Rafah mengatakan sambil berurai air mata atas kematian tujuh anggota keluarganya.
“agresi sengit di Rafah tidak memiliki justifikasi, apalagi sekarang terowongan (yang menghubungkan Gaza dengan Mesir) telah ditutup sepenuhnya dan tidak ada yang dapat mengakses area terowongan selama berbulan-bulan,” ujar Dr. Maher Tabaa, seorang ekonom yang berbasis di Kota Gaza.
Selain mereka yang gugur, warga Rafah telah dirampas aksesnya ke infrastruktur vital. Insinyur tidak diizinkan masuk dan memperbaiki kerusakan air dan listrik, sementara jaringan telepon dan internet juga telah diputus, meninggalkan 180.000 penduduk kota terisolasi dari dunia luar. (haninmazaya/arrahmah.com)