Pengungsi Rohingya yang tinggal di Kamp Lada menghadapi resiko tinggi bagi kehidupan mereka karena kondisi gubuk mereka, menurut seorang pemimpin dari kamp tersebut.
“Gubuk tidak lagi kuat dan kokoh karena mereka telah tiga tahun dipakai. Mereka hanya dibangun dengan bambu dan lembaran plastik.”
“Sekarang beberapa gubuk telah hancur sepenuhnya dan para pengungsi khawatir dengan kehidupan mereka, mereka tidak lagi bisa tidur di malam hari.”
“Kami takut anak-anak kami yang sebagian besar tinggal di gubuk, tak kuat menghadapi terjangan angin yang bertiup berat di siang dan malam hari,” ujar ammena, seorang ibu dari empat anak.
“Musim hujan akan segera datang, tapi kami tidak memiliki fasilitas agar atap kami tidak tertembus air hujan. Setiap gubuk mengalami kebocoran setiap hujan turun.”
Selain itu, pengungsi juga menghadapi masalah air bersih di kamp pengungsian, mereka hanya mendapatkan sedikit pasokan air dua kali dalam sehari.
“Ada lebih dari 12.000 pengungsi di kamp, tetapi pihak manajemen hanya menyediakan delapan stasiun air. Kami mendapatkan hanya dua pot setiap hari.”
“Semua pengungsi mengantri untuk mendapatkan air dengan pot. Pot plastik tidak diperbolehkan. Kami memerlukan pot alumunium yang mahal bagi pengungsi.”
Demikian pula kondisi sanitasi di kamp kini semakin memburuk. Para pengungsi tidak dapat tidur di gubuk mereka pada malam hari karena meluapnya air limbah drainase.
“Drainase diblokir oleh penduduk lokal yang melewati tanah mereka, penduduk setempat mendesak kelompok manajemen untuk menyelesaikan sesuai perjanjian sebelumnya.”
“Penduduk setempat membutuhkan pekerjaan mereka yang mereka dapatkan sebelumnya, tapi sekarang mereka dipecat oleh pihak manajemen, dan penduduk setempat memblokir saluran air keluar sebagai pembalasan. Namun para pengungsi menghadapi limpahan air limbah di gubuk mereka dan tidak bisa lagi tinggal di dalam gubuk.”
Pengungsi di kamp tidak mendapatkan dukungan apapun. Mereka bekerja untuk kelangsungan hidup mereka di mana saja di tempat berbeda. Beberapa pengungsi perempuan mengalami pelecehan seksual oleh penduduk setempat saat tengah mengumpulkan kayu bakar di hutan, yang jauh dari kamp, untuk kelangsungan hidup mereka dan keluarga mereka.
di kamp pengungsian Kutupalonglow, di mana lebih dari 40.000 pengungsi tinggal, juga menghadapi masalah serupa di mana tenda-tenda mereka tidak aman dan suatu saat bisa jatuh jika angin dan hujan datang, dan keamanan pangan merupakan keprihatinan tersendiri karena tidak ada yang membantu pengungsi.
Para pengungsi perempuan juga menghadapi masalah sama dengan yang dialami perempuan di Kamp Lada saat mereka pergi ke hutan untuk mengumpulkan kayu bakar.
“Kami membangun gubuk kami dengan semak-semak dan plastik untuk mengurangi biaya, sebagian pengungsi membangun gubuk mereka dengan dinding lumpur untuk keamanan. Masalah besar datang jika hujan turun, dinding lumpur akan tergerus oleh air, dan jika angin besar, plastik akan tertiup.”
Di Arakan Utara, Muslim Rohingya juga menghadapi masalah dalam mata pencaharian mereka karena berbagai batasan yang diberlakukan otoritas, menurut salah seorang politisi lokal dari Maungdaw.
“Baru-baru ini pasukan keamanan perbatasan Burma, atau Nasaka, membuat sebuah dugaan yang menghubungkan penduduk desa dengan Taliban dan menangkap beberapa penduduk desa bulan lalu. Kebanyakan penduduk desa tidak bisa tinggal di rumah mereka. Sebagian besar para pemimpin agama merubah pakaian mereka karena takut ditangkap. 20 orang ditangkap oleh otoritas dengan tuduhan berhubungan dengan organisasi ilegal. Mereka akan diadili di pengadilan Maungdaw.” (haninmazaya/arrahmah.com)