Di gang sempit yang becek di jantung tempat wisata yang ramai, berdiri deretan gubuk beratap seng. Tersembunyi dari pandangan mata, mereka adalah rumah-rumah Muslim Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan di Myanmar.
Dijelaskan oleh PBB, Rohingya merupakan kaum minoritas yang paling teraniaya di dunia, ribuan orang telah melarikan diri dari negaranya menggunakan perahu seadanya untuk menghindari kerusuhan yang telah menewaskan sekitar 200 orang dan menyebabkan puluhan ribu tunawisma.
Meskipun Myanmar mendapat banyak pujjian karena mengadopsi reformasi demokrasi setelah bertahun-tahun terisolasi, serentetan bentrokan etnis baru-baru ini telah menciptakan kekhawatiran baru akan stabilitas negara itu.
Bulan lalu, masa Budhis melancarkan serangkaian serangan mematikan terhadap Muslim. Membakar rumah dan Masjid, di wiayah tengah negara itu. Pembantaian ini mengikuti kekerasan yang terjadi di negara bagian Rakhine sejak tahun lalu.
Ditolak kewarganegaraannya oleh pemerintah, Muslim Rohingya mencari perlindungan di negara-negara tetangga.
Beberapa berakhir di Thailand termasuk Phuket yang lebih dikenal karena wisata pantainya dan kehidupan malam. Duduk bersila di lantai sebuah gubuk di pinggiran kota Phuket, Ismail, bukan nama sebenarnya, menceritakan penderitaan dan pelecehan yang jauh dari kebahagiaan.
“Saya melihat rumah tetangga saya dibakar habis,” ujar nelayan berusia 47 tahun itu mengingat adegan mengerikan yang ia saksikan selama kekerasan di negara bagian Rakhine. “Saya tidak bisa menemukan tetangga saya setelah itu. Orang-orang ditembak dan ditusuk. Aku melihat seorang anak kecil yang terjatuh seperti batang pohon muda.”
Konflik meletus sejak bulan Juni 2012. Keadaan darurat diberlakukan. Namun gelombang baru kekerasan kembali pecah pada Oktober lalu. Tidak jelas apa yang memicu bentrokan. Kelompok hak asasi manusia menuduh pasukan keamanan Myanmar diam-diam memberikan dukungan kepada Budha Rakhine dalam melancarkan aksi brutal terhadap Muslim Rohingya.
Pertumpahan darah memaksa Ismail meninggalkan rumahnya. Kapalnya hancur dalam kerusuhan dan ia tidak bisa lagi memberi makan keluarganya, sehingga ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di luar negeri. Bersama 63 orang lainnya, ia menaiki perahu reyot yang berlayar selama 12 hari, kadang-kadang menghadapi badai, sebelum mendekati pantai Thailand.
Ismail mengatakan angkatan laut Thailand menangkap mereka dan menjualnya kepada penyelundup yang membawa mereka dengan truk ke sebuah kamp di selatan Thailand. “Kami dimasukkan ke sebuah rumah kecil seperti hewan ternak. Aku tidak tahu di mana aku berada atau apa yang sedang terjadi.”
Dia bertahan dengan sesuap nasi pemberian dalam mangkuk besar dan berbagi dengan tawanan lain. Tidur di ruang sempit yang bersebelahan dengan toilet yang mengeluarkan bau busuk. Para pria yang menahannya meminta bayaran 40.000 bath sebagai “fee” untuk memasuki Thailand.
“Beberapa hari, tanpa alasan apapun, mereka menangkap saya, mengikat tangan dan kaki saya dan saya berbaring di lantai,” ujarnya. “Kemudian, mereka mulai memukuli punggung dan kaki saya dengan batang logam yang dipanaskan. Setelah tiga atau empat pukulan, saya jatuh pingsan.”
Ismail menyadari bahwa jika dia bisa menghasilkan uang, pemukulan tidak akan berhenti. Penculiknya memungkinkan ia untuk menghubungi sesama Musllim Rohingya yang tinggal di Phuket yang berhasil menghasilkan uang. Sisanya berasal dari istrinya yang masih di Myanmar. Untuk menyelamatkan nyawa suaminya, dia menjual sapi dan mengirimkan uang kepada penculiknya melalui jaringan bayangan dari broker yang juga mengambil potongan, ujar Ismail.
Setelah 24 hari di kamp, penderitaannya berakhir dan ia dikirim dengan bus ke Phuket di mana saat ini ia tinggal secara ilegal.
“Kami berada di perahu selama berhari-hari tanpa makanan, kami hanya memiliki sedikit air untuk diminum.”
Meskipun Thailand telah memberikan perlindungan sementara bagi Muslim Rohingya, pemerintah tidak mendaftarkan mereka sebagai pengungsi. Sebaliknya, menerapkan kebijakan resmi “membantu manusia perahu” ke tujuan ketiga dengan menyediakan makanan, air dan bantuan untuk melanjutkan perjalanan berbahaya mereka.
Tapi angkatan laut Thailand telah dituduh melakukan pelanggaran, seperti yang dijelaskan Ismail. Termasuk penembakan terhadap kapal Rohingya dan menjualnya untuk perdagangan manusia. Pemerintah Thailand mengklaim akan menyelidiki tuduhan itu.
Situasi bagi Muslim Rohingya yang menuju ke Bangladesh dan Malaysia juga jauh dari ideal. Diperkirakan 200.000 Muslim Rohingya merana di kamp-kamp resmi di pantai Bangladesh dan hanya sekitar 28.000 dari mereka yang terdaftar sebagai pengungsi. Setelah kerusuhan meletus di Rakhine, Bangladesh menolak kapal-kapal Muslim rohingya memasuki wilayahnya.
Kembali ke Myanmar, puluhan ribu pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp-kamp penuh sesak dan tidak sehat menghadapi kekurangan pangan dan ancaman penyakit karena pemerintah telah membatasi aliran bantuan, ujar direktur Human Rights Watch (HRW) wilayah Asia.
Ditulis oleh Himaya Quasem, seorang jurnalis yang berada di Singapura
(haninmazaya/arrahmah.com)