RAKHINE (Arrahmah.com) – “Dengan mataku sendiri, aku melihat mayat tidak kurang dari 300 anak kecil dan sekitar 200 wanita seusiaku”
“Tidak ada Rohingya yang tersisa di Tulatoli”. Ini adalah kata-kata pertama yang diucapkan oleh Nurul Huq, pengungsi Rohingya berusia 65 tahun yang melarikan diri dari konflik yang sedang berlangsung di negara bagian Rakhine di barat laut Myanmar.
Bersandar di tumpukan karung berisi barang-barang miliknya, dia berkata: “Saya melihat anak laki-laki saya ditembak mati dengan mata kepala sendiri, begitu juga dengan jenazah dua anak perempuan saya. Lima anak perempuanku yang lain tetap hilang,” sebagaimana dilansir Dhaka Tribune, Sabtu (9/9/2017).
Dia adalah satu dari puluhan Muslim etnis Rohingya yang berasal dari Min Gyi atau orang Rohingya menyebutnya Tulatoli dan desa tetangga Onsiprang.
Mereka menggambarkan apa yang bisa membuktikan adanya pembantaian skala besar yang paling buruk dalam operasi militer yang terus berlanjut terhadap desa-desa Rohingya yang berada di sebelah timur perbatasan Bangladesh.
Saksi mata menuturkan bahwa selama tiga hari mulai Rabu 30 Agustus, hampir semua warga desa Min Gyi atau Tulatoli dibunuh.
Jika dikonfirmasi, pertumpahan darah ini akan menjadi salah satu dari serangkaian dugaan pembunuhan massal yang dilakukan oleh tentara Myanmar dengan dukungan dari penduduk Rakhine setempat, yang menyebabkan 270.000 orang Rohingya untuk mencari perlindungan di Bangladesh.
Muhammad Nasir tiba di Bangladesh dari perbatasan yang tidak dihuni manusia, berjalan dalam kegelapan, selama tiga hari bersama keluarganya dan berjuang sambil membawa karung bekal yang berat di kepalanya. Apa yang diceritakannya sama dengan kisah mengerikan pembantaian yang diceritakan oleh warga desa lainnya.
“Setelah militer mengepung desa dan memutus semua titik keluar, pimpinan desa Rakhine meyakinkan penduduk desa bahwa militer tidak akan menyakiti mereka, tapi rumah-rumah mereka akan dibakar. Dia menyuruh penduduk desa berkumpul di satu tempat di mana mereka akan selamat.”
Nasir menggambarkan bagaimana kehancuran yang bermula pada pagi hari dengan rumah-rumah yang dibakar. Jaminan bahwa tidak ada bahaya fisik yang akan terjadi di desa itu terbukti kosong. Semua saksi mata menggambarkan metode pembunuhan yang sama: Pedang panjang, orang yang terbakar hidup-hidup di dalam rumah yang terbakar, tembakan senapan, atau tembakan senjata otomatis dan semi otomatis, serta senjata yang penduduk desa menyebutnya “peluncur”.
Nasir sendiri sempat menyelamatkan diri dengan berlari ke sebuah bukit kecil bersama keluarganya. Dia menceritakan bagaimana mayat-mayat dilemparkan ke dalam lubang besar di dekat sungai, ditutupi jerami, disiram bensin dan dibakar.
(ameera/arrahmah.com)