DHAKA (Arrahmah.com) – Ini bukanlah pertama kalinya bagi ribuan pengungsi Muslilm Rohingya tidak bisa merayakan hari raya ‘Idul Fithri seperti kebanyakan Muslim lainnya di dunia.
“Kami tidak memperoleh ‘Idul Fithri, tidak juga kebahagiaan,” ujar Seno Ara (27), yang telah melarikan diri dari Myanmar (Burma) untuk menghindari pembantaian di negaranya, seperti dilansir World Bulletin.
Muslimah Rohingya trsebut telah tinggal di kamp pengungsian tidak resmi di Bangladesh selama enam tahun.
Ara bersama suaminya Ershad Ullah (35) dan dua puteri mereka adalah salah satu dari ribuan keluarga Rohingya yang terpaksa bermigrasi dan mengungsi di Bangladesh karena menderita penganiayaan oleh umat Buddha yang tak henti-hentinya di tanah airnya sendiri.
“Semua aset kami diambil secara paksa oleh para preman yang didukung oleh pemerintah,” kata Ara. “Tidak ada perdamaian. Setiap hari, kami dipaksa untuk bekerja – untuk membajak dan mengolah lahan mereka, untuk memotong kayu, dll – tetapi mereka tidak pernah membayar uang imbalan.”
Meskipun hidup di kamp pengungsian yang kumuh, mungkin itu lebih baik bagi merek daripada di Myanmar di mana nyawa mereka terancam.
Banyak Muslim Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar Barat, negara dengan mayoritas penganut Buddha. Muslim Rohingya di negara bagian Arakan dianiaya dan dibantai oleh ekstremis Buddhis. Otoritas Myanmar tidak mengakui kewarganegaraan Muslim Rohingya, mengklaim bahwa mereka adalah imigran dari Bangladesh yang disebut “Bengali”.
“Kami tidak bisa mempraktekkan agama kami,” kata pengungsi lainnya Nurul Islam (42). “Kami tidak bisa shalat berjamaah. Mereka menutup satu masjid di kota Mondu selama 15 tahun.” (siraaj/arrahmah.com)