JALUR GAZA (Arrahmah.com) – Pintu rumah keluarga Baroud telah ditutup untuk selamanya. Penghuninya, Raya Baroud dan putra satu-satunya, Fares, tewas di bawah tekanan pendudukan “Israel”.
Keluarga tersebut telah menanggung rasa sakit dan penderitaan yang luar biasa secara langsung karena kebijakan dan tindakan otoritas “Israel.
Sejak tahun 1991 Raya Baroud selalu menunggu hari pembebasan putranya dari tahanan “Israel”. Ia dengan setia menunggu kepulangan putranya di rumahnya yang berada di pengungsian Al-Shate’a selama 28 tahun, sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada tahun 2018.
Fares Baroud ditangkap oleh tentara “Israel” dengan tuduhan menjadi aktivis selama Intifadah Pertama yang berlangsung pada tahun 1987.
Fayza Baroud, saudara perempuan Fares, mengatakan bahwa ibu mereka bahkan membangun rumah untuk Fares dengan harapan suatu saat ia akan pulang.
“Kami selalu bermimpi dapat melihatnya lagi. Ibu saya berharap untuk bisa melihat anak-anaknya kembali, tapi mimpinya tak tercapai hingga ia menghembuskan nafas terakhirnya,” kata Fayza, sebagaimana dilansir Anadolu Agency pada Senin (30/11/2020).
Pada tahun 2001, otoritas “Israel” melarang keluarga Baroud untuk menjenguk Fares. Tidak ada penjelasan terperinci mengenai alasan pelarangan tersebut.
“Ibu saya terus menangis karena kehilangan putranya sampai dia menjadi buta. Berkali-kali saya mendapati ibu tengah menciumi pakaian Fares dengan bercucuran airmata,” kata Fayza, mengenang penderitaan ibunya.
Fares menghabiskan 16 tahun di dalam sel isolasi, sehingga menyebabkan dia menderita berbagai penyakit, termasuk gangguan penglihatan, penyakit hati dan gangguan kejiwaan, karena ia terputus kontak dengan orang lain.
Bersama narapidana lain, Fares mengalami pengabaian medis, sehingga membuat kondisinya semakin memburuk dan dilarikan ke rumah sakit beberapa kali.
“Setelah dia mendengar kabar kematian ibu kami, dia terkejut dan kondisi kesehatannya menjadi lebih buruk. Di hari-hari terakhirnya dia kehilangan penglihatannya,” kata Fayza.
Pada Februari 2019, pihak penjara “Israel” memberitahukan kematian Fares meninggal setelah mengalami pendarahan internal parah yang merusak organ hatinya.
“Rumah kami sudah ditutup. Saya kehilangan ibu saya, dan kurang dari satu tahun setelah itu saya kehilangan satu-satunya saudara laki-laki saya. Rasa sakit ini tak kan terlupakan. Fares kembali keharibaan Allah sebagai seorang pahlawan yang syahid,” ujar Fayza dengan nada kemenangan.
Setelah kematian Fares, otoritas “Israel” melarang Fayza, satu-satunya anggota keluarga yang masih tersisa, untuk mengambil jenazahnya guna melakukan proses pemakaman sebagai penghormatan terakhir kepada saudaranya tersebut.
Otoritas “Israel” menahan jasad Fares dan tidak mengungkapkan rincian tentang keadaan terkait kematiannya kepada pihak keluarga maupun kepada kelompok hak asasi manusia.
Salwa Baker Hammad, koordinator HAM di Gaza, mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa pihak berwenang “Israel” telah menolak untuk memberikan informasi tentang warga Palestina yang ditahan di Gaza.
Salwa mengungkapkan bahwa setidaknya ada delapan jasad tahanan Palestina, dua di antaranya merupakan warga Gaza, yang hingga kini masih ditahan oleh pihak “Israel” meskipun pihak keluarga telah meminta agar jasad keluarga mereka dipulangkan.
Otoritas “Israel” berdalih menahan jasad para tahanan dengan alasan keamanan.
“Mereka memperlakukan jasad yang sudah terbujur kaku tersebut sebagai masalah keamanan,” pungkasnya. (rafa/arrahmah.com)