WASHINGTON (Arrahmah.id) – Penulis dan kolumnis ternama Amerika, Thomas Friedman, dalam kolom mingguannya di The New York Times, memperingatkan bahwa masa jabatan kedua Presiden Donald Trump tidak akan sukses dalam empat tahun ke depan.
Dalam artikel berjudul “Kehancuran Besar Sedang Berlangsung”, Friedman mengkritik keras kepemimpinan Trump, menyoroti kekacauan, egoisme, dan kebijakan yang tidak konsisten. Ia berpendapat bahwa kebijakan Trump tidak memiliki koherensi dan lebih banyak didorong oleh dendam pribadi serta keinginan untuk membalas. Loyalitas yang berlebihan di antara para pejabat pemerintahannya juga menjadi ciri utama administrasi ini.
Menurut Friedman, Trump adalah satu-satunya yang bertanggung jawab atas berbagai kesalahan kebijakan pemerintahannya—mulai dari penanganan Ukraina, tarif perdagangan, hingga kebijakan mengenai industri semikonduktor. Ia menilai bahwa Trump tidak memiliki visi yang jelas mengenai dunia saat ini dan bagaimana Amerika harus menyesuaikan diri untuk mencapai kemakmuran di abad ke-21.
Trump, menurut Friedman, kembali ke Gedung Putih dengan membawa luka dan dendam lama terhadap berbagai isu yang sama. Ia juga mengelilingi dirinya dengan orang-orang yang memenuhi satu syarat utama: kesetiaan mutlak kepadanya. Ini lebih diutamakan dibandingkan konstitusi, nilai-nilai tradisional kebijakan luar negeri AS, atau prinsip dasar ekonomi.
Akibatnya, dunia saat ini menyaksikan kebijakan yang tidak menentu—tarif perdagangan yang diberlakukan, dibatalkan, lalu diterapkan kembali; bantuan untuk Ukraina yang diberikan, dihentikan, lalu dilanjutkan kembali; serta kebijakan domestik dan luar negeri yang berulang kali dikurangi atau diperluas dengan keputusan yang bertentangan. Semua ini dijalankan oleh pejabat yang lebih takut pada cuitan Trump atau sekutunya seperti miliarder Elon Musk dibandingkan dengan menjalankan kebijakan berdasarkan strategi yang matang.
Friedman menegaskan bahwa tidak ada negara, sekutu, perusahaan, atau mitra dagang yang dapat mengandalkan Amerika jika presidennya terus bertindak tanpa konsistensi. Trump mengancam Ukraina lalu menarik ancamannya, mengancam tarif besar terhadap Meksiko dan Kanada lalu menundanya, menaikkan tarif terhadap China dan mengancam Eropa serta Kanada dengan kebijakan serupa.
Salah satu kebohongan terbesar Trump, menurut Friedman, adalah klaim bahwa ia mewarisi ekonomi yang hancur. Ia menilai bahwa perekonomian AS sebenarnya berada dalam kondisi yang cukup baik di akhir masa pemerintahan Joe Biden, meskipun terdapat beberapa kesalahan di awal kepemimpinannya.
Friedman mengakui bahwa Trump benar dalam menilai perlunya menyeimbangkan perdagangan dengan China. Namun, ia berpendapat bahwa pendekatan Trump salah—seharusnya ia meningkatkan tarif secara strategis dengan berkoordinasi bersama sekutu AS agar China benar-benar merespons.
Dalam artikel tersebut, Friedman mengutip pidato pelantikan Presiden John F. Kennedy pada 20 Januari 1961. Saat itu, Kennedy menegaskan bahwa Amerika akan “membayar harga berapa pun, menanggung beban apa pun, menghadapi kesulitan apa pun, mendukung setiap sahabat, dan menentang setiap musuh demi menjamin kelangsungan dan keberhasilan kebebasan.”
Namun, Friedman berpendapat bahwa Trump dan Wakil Presiden J.D. Vance telah membalikkan prinsip tersebut menjadi: “Amerika saat ini tidak akan membayar harga apa pun, tidak akan menanggung beban apa pun, tidak akan menghadapi kesulitan apa pun, akan meninggalkan sahabatnya, dan akan merangkul musuhnya jika itu menguntungkan atau sesuai dengan kepentingan politik pemerintahan Trump.”
Friedman menutup tulisannya dengan menegaskan bahwa jika Trump ingin membawa perubahan yang fundamental, ia berkewajiban untuk memiliki rencana yang solid, berdasarkan kebijakan ekonomi yang masuk akal, serta didukung oleh tim yang terdiri dari orang-orang paling cerdas dan kompeten—bukan mereka yang hanya pandai menjilat dari kalangan sayap kanan ekstrem.
(Samirmusa/arrahmah id)