JAKARTA (Arrahmah.com) – The Wahid Institute mengeluarkan catatan akhir tahunnya terkait praktik intoleransi atas dasar agama dan keyakinan di Indonesia selama 2011. Menurut catatan itu, Front Pembela Islam (FPI) sebagai menjadi organisasi yang paling tertuduh banyak melakukan intimidasi dan ancaman kekerasan atas nama agama.
“Pelaku intoleransi paling banyak adalah orang-orang yang mengugnakan atribut FPI. Baik itu memang FPI atau yang menggunakan atribut FPI. Kemuadian ada masyarakat yang terorganisir namun sulit diidentifikasi.”
Peneliti Wahid Institut Rumadi menilai Pemerintah dapat mencegah tindak kekerasan dan perilaku intoleran FPI jika memiliki komitmen. Hal ini misalnya terlihat pada 2008, dimana tindak kekerasan ormas pimpinan Rizieq Shihab tersebut relatif menurun. Saat itu, Rizieq dan Panglima Komando Laskar Islam Munarman divonis penjara pengadilan.
Organisasi pimpinan Habib Rizieq itu tercatat melakukan 38 kali kekerasan atau sekitar 18 persen. Kelompok massa terorganisir melakukan kekerasan sebanyak 32 kali atau 15 persen. Selanjutnya, kekerasan terbanyak ketiga dilakukan oleh Pemkab/ Pemkot, yaitu sebanyak 22 kali atau 10 persen. Sedangkan Massa tidak teridentifikasi 19 kali atau 9 persen, MUI 17 kali atau 8 persen, polisi 16 kali atau 8 persen, dan perorangan 14 kali atau 7 persen.
“Kalau dilihat dari apa yang dilakukan FPI, isu yang mereka usung adalah memberantas kemaksiatan dengan cara-cara kekerasan seperti dulu pernah ada operasi kafir,” kata Rumadi dalam jumpa pers di kantor The Wahid Institute, Jakarta, Kamis (29/12).
“Menurut bahasa saya mereka mencegah kemungkaran dengan cara-cara mungkar, mestinya dengan cara-cara yang makruf.” Ujarnya tanpa mendefinisikan dengan jelas makruf yang dimaksud seperti apa.
Selain itu, kekerasan dengan mengatasnamakan agama ini merupakan bentuk intoleransi paling tinggi selama 2011, yaitu sekitar 48 kasus atau 25 persen. Tindakan berikutnya yang juga tinggi adalah pernyataan dan penyebaran kebencian terhadap kelompok lain, yaitu sekitar 27 kasus atau 14 persen, pembakaran dan perusakan properti 26 kasus atau 14 persen, diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan sebanyak 26 atau 14 persen.
“Jawa Barat menjadi wilayah tertinggi dengan 105 kasus atau sekitar 57 persen. Daerah berikutnya adalah Jawa Timur 17 kasus atau 9 persen, Jawa Tengah 15 kasus atau 8 persen, DKI Jakarta 13 kasus atau 7 persern, dan Riau 9 kasus atau 5 persen,” terang Rumadi.
Selain itu, Rumadi mengatakan selama tahun 2011 ini, kategori korban intoleransi terbanyak dialami oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) karena keyakinan mereka dianggap berbeda dari mainstream umat Islam dengan 65 kasus (26 persen). “Korban berikutnya adalah individu yang dianggap berbeda dari mainstream 42 kasus (17 persen), pemilik usaha atau pedagang 24 kasus (10 persen), umat Kristen 20 kasus (8 persen),” ucapnya.
Tidak terlalu mengagetkan, lembaga yang ingin menghidupkan pemikiran Abdurrahman Wahid alias Gusdur ini, memang sudah sejak lama mengkritisi tindak tanduk FPI. Tanpa pernah melakukan klarifikasi terhadap suatu peristiwa yang terkait dengan tindakan FPI dalam memberantas kemaksiatan, Wahid Institute sudutkan FPI sebagai pelaku kekerasan.
Namun, amat disayangkan Wahid Institute tidak pernah menyoroti gerakan evangelis atau kristenisasi sebagai pemicu utama terjadinya gesekan antar umat beragama. Padahal, ICG mengidentifikasi akar persoalan konflik antar umat beragama berawal dari brutalnya aksi pemurtadan yang merupakan bukti nyata intoleransi beragama kelompok kristen.
Wallahu A’lam Bishshowab
(Bilal/arrahmah.com)