SRINAGAR (Arrahmah.id) — Kelompok The Resistance Front (TRF) mengaku bertanggung jawab atas serangan mematikan terhadap 26 wisatawan di wilayah Pahalgam, Kashmir beberapa hari lalu.
Serangan ini menjadi serangan paling mematikan terhadap wisatawan dalam beberapa dekade terakhir.
Siapakah TRF?
Dilansir Arab News (25/4/2025), TRF pertama kali muncul pada Oktober 2019 sebagai entitas daring yang mengklaim serangan granat di Lal Chowk, Srinagar, yang melukai delapan warga sipil. Berdirinya TRF bertepatan dengan pencabutan Pasal 370 dan 35-A oleh pemerintah India pada 5 Agustus 2019, yang mencabut status otonomi parsial Jammu dan Kashmir.
Kelompok ini memanfaatkan kekosongan komunikasi akibat blokade informasi untuk memantapkan eksistensinya melalui aplikasi terenkripsi seperti Telegram.
Menurut Observer Research Foundation (ORF), TRF dirancang untuk menyamarkan keterlibatan langsung Pakistan dan memperkenalkan wajah baru pemberontakan yang tampak lokal dan sekuler. Nama “The Resistance Front” dipilih sebagai upaya untuk menghindari stigma kelompok jihad dan justru menekankan karakter perlawanan nasionalis.
Strategi ini juga bertujuan menarik simpati dan sumber daya dari komunitas internasional yang skeptis terhadap simbol-simbol Islam radikal.
Meski TRF mengusung narasi sebagai gerakan lokal, sejumlah lembaga keamanan India menilai TRF adalah kedok baru dari kelompok bersenjata Lashkar-e-Taiba (LeT) yang berbasis di Pakistan. Dokumen dari South Asia Terrorism Portal (SATP) menyebutkan bahwa kepemimpinan TRF melibatkan figur-figur seperti Sajid Jatt dan Sajjad Gul yang sebelumnya terkait erat dengan LeT.
Pakistan secara resmi membantah keterlibatan langsung dalam serangan, namun India menuduh negara tetangganya itu terus mendukung pemberontakan bersenjata di Kashmir dengan dalih moral dan diplomatik.
Berdasarkan laporan Al Jazeera (24/4), TRF mengklaim serangan di Pahalgam sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan pemberian status domisili kepada pendatang luar yang dianggap sebagai upaya perubahan demografi oleh pemerintah India.
TRF dikenal menjalankan strategi yang disebut sebagai “hybrid militancy”. Strategi ini melibatkan rekrutmen individu-individu yang tidak terdata dalam catatan kepolisian—dikenal sebagai over ground workers (OGWs)—sehingga sulit dilacak oleh aparat.
Mereka melakukan serangan terarah terhadap target spesifik seperti minoritas, warga non-lokal, aparat keamanan, serta individu yang dianggap berkolaborasi dengan negara India.
Menurut laporan Al Jazeera dan ORF, pada tahun 2020 TRF mulai mengklaim tanggung jawab atas sejumlah pembunuhan tokoh masyarakat, termasuk jurnalis, pejabat pensiunan, dan pemilik usaha yang dianggap mendukung integrasi India.
Di media sosial, TRF merilis justifikasi ideologis atas aksi-aksinya, misalnya dengan menyebut korban sebagai agen RSS atau pelaksana proyek kolonialisme di Kashmir. Hal ini menunjukkan upaya TRF membingkai dirinya sebagai perlawanan terhadap penjajahan, bukan kelompok jihad.
Serangan di Pahalgam hanyalah salah satu dari banyak aksi TRF. Pada Juni 2024, mereka juga mengklaim serangan terhadap bus peziarah Hindu di Reasi, Jammu, yang menewaskan sembilan orang dan melukai puluhan lainnya.
Kelompok ini dikenal pula menyebarkan ‘daftar target’ kepada publik, termasuk wartawan, aktivis, dan warga sipil, dengan tuduhan sebagai pengkhianat atau kolaborator.
Dalam selebaran yang beredar pascaserangan, TRF menyatakan bahwa insiden di Pahalgam adalah bentuk perlawanan terhadap apa yang mereka sebut sebagai “penjajahan demografis” oleh pemerintah India.
Mereka menuding kelompok wisatawan yang menjadi sasaran adalah bagian dari misi intelijen yang disamarkan, termasuk personel dari Biro Intelijen India (IB), Research and Analysis Wing (RAW), dan pihak militer.
TRF juga mengecam langkah-langkah Delhi yang dianggap menghapus identitas lokal Kashmir, seperti pemberian status domisili kepada non-lokal, penyerapan tenaga kerja lokal oleh pendatang, hingga pengalihan tanah kepada investor luar.
Dalam pernyataan mereka, TRF menegaskan bahwa aksi kekerasan akan terus ditingkatkan terhadap pihak-pihak yang dianggap berperan dalam “melemahkan perjuangan perlawanan Okupasi Ilegal India di Jammu dan Kashmir (IIOJK)”.
“Insiden Pahalgam harus menjadi panggilan bukan hanya untuk Delhi, tetapi juga kepada semua yang mendukung taktik Delhi. Sudah diperingatkan untuk tidak memolitikkan konflik IIOJK dengan manipulasi pariwisata dan menekankan pekerjaan pembangunan,” tulis TRF. (hanoum/arrahmah.id)