Arrahmah Analysis – Sudah melihat The Kingdom? Film besutan Peter Berg ini berkisah tentang heroisme dan kedigdayaan Amerika memerangi Islam, yang dalam hal ini adalah tim FBI di bawah pimpinan Ronald Fleury (Jamie Foxx) dan beranggotakan Grant Sykes (Chris Cooper), Janet Mayes (Jennifer Garner), dan Adam Leavitt (Jason Bateman) yang memburu dan menghabisi aktivis-aktivis Islam di Saudi Arabia.
Digambarkan dalam film khas Hollywood produksi 2007 ini hanya dalam waktu tiga hari, tim berhasil membongkar dan memorakmorandakan jaringan Al-Qaida selepas aksi syahid mereka di kompleks pasukan Salib. Tentu saja, film ini sangat streotif Barat dan merupakan propaganda sistemis kaum kuffar salibis melalui jaringan media internasional mereka, Hollywood.
Siapa pun tahu bahwa penguasa-penguasa Hollywood, raksasa industri film dunia nyaris seluruhnya dikuasai jaringan Yahudi AS. Hollywood sendiri memang didirikan oleh pebisnis Yahudi dan sampai hari ini dikuasai oleh mereka. Mulai dari pencari bakat, tukang lampu, penulis skrip, sutradara, artis, hingga produser, seluruhnya dikuasai orang-orang Yahudi.
Wajar, dalam Protocol of Zionis yang diresmikan dalam Konferensi Zionis Internasional di Basel Swiss (1897) telah dicanangkan bahwa industri hiburan merupakan salah satu sarana efektif bagi bangsa Yahudi untuk menguasai dunia, termasuk film tentunya.
Terlepas dari kenyataan di atas, untuk sebuah film Hollywood, The Kingdom termasuk tidak laku di pasaran dan hanya mampu meraih kurang dari $7 juta. Padahal di beberapa bioskop Jakarta, The Kingdom diputar sampai di dua studio. Di Amerika sendiri, The Kingdom juga tidak sukses alias jeblok.
Sebagian pengamat menyatakan, masalahnya, film-film perang Hollywood itu muncul dan mencoba menganalisa sebuah perang yang masih berlangsung. Dalam The American Prospect, 27 November 2007, Sudhir Muralidhar memandang bahwa film-film itu gagal karena memang gagal bercerita.
Hal di atas bisa dimaklumi, karena informasi dan data “perang” yang sesungguhnya memang terbatas dan bersifat sangat rahasia alias ditutup-tutupi kebenarannya. Di samping itu, sineas Hollywood sebagian besar -sebagaimana rakyat Amerika pada umumnya- sangat subyektif dengan selalu menempatkan Amerika sebagai “sang jagoan” dan Islam sebagai “sang teroris” yang selalu kalah. Streotif semacam ini pulalah yang mendasari The Kingdom.
Operasi Badar Riyadh
Dalam The Kingdom, tidak begitu jelas tempat dan waktu kejadian dari peristiwa yang oleh Amerika langsung dicap sebagai aksi terorisme. Banyak kejanggalan dan keanehan yang lucu dan terlihat dipaksakan untuk mencitrakan buruknya aktivitas mujahidin di Saudi Arabia.
Dalam film produksi Universal Studios ini di bagian awal hanya digambarkan suasana sebuah kompleks warga kafir Amerika di Saudi, di mana mereka asik bermain base ball di sebuah lapangan luas dan kemudian mendapatkan serangan dari dua orang aktivis Islam yang menyamar menjadi polisi penjaga kompleks tersebut. Salah seorang dari mereka kemudian melakukan amal istisyhadiyah (aksi bom syahid) dan menewaskan beberapa orang di sana.
Pada malam harinya, di tengah kepanikan para polisi, petugas keamanan, dan para korban yang dilarikan ke rumah sakit, sekali lagi terjadi ledakan besar yang meninggalkan lubang menganga cukup besar dan dalam.
Kejadian inilah yang kemudian memicu Agen-agen FBI membentuk tim elit dan berangkat ke Saudi Arabia untuk membekuk para ‘teroris’. Petunjuk tempat di film ini hanya terlihat ketika terjadi interogasi dari General Security Building, yang berlokasi di Riyadh, Saudi Arabia.
Dalam interogasi tersebut, seseorang tampak sedang dipukuli habis-habisan dan diberikan pertanyaan apakah dia mengenal Abu Hamzah, yang dianggap sebagai dalang aksi teror tersebut.
Sepanjang film tidak kita temukan alasan dan akar pemasalahan mengapa bisa terjadi serangan ke kompleks kaum kafir di jazirah Arab tersebut. Padahal banyak tempat dan waktu di dalam film tersebut jika memang berniat menceritakan, lewat lisan dan keterangan dari para Mujahid misalnya.
Hanya ada sinopsis singkat di bagian awal, dan hanya selintas menceritakan kesejarahan kerajaan Saudi Arabia, hubungannya dengan Amerika, dan munculnya aksi-aksi syahid. Keterbatasan data dan informasi inilah yang melengkapi manipulasi sistemik khas Hollywood untuk menggiring opini masyarakat dunia bahwa setiap apa pun yang dilakukan mujahidin adalah salah dan setiap apa pun yang dilakukan Amerika adalah betul.
Faktanya, di Saudi Arabia sendiri telah terjadi beberapa aksi-aksi serangan yang dilakukan oleh Mujahidin di sana, khususnya Al-Qa’idahh Jazirah Arab. Salah satunya, dan yang cukup dikenal adalah Operasi Badar Riyadh. Operasi ini terjadi pada tanggal 11 Rabiul Awwal 1424 H bertepatan dengan tanggal 12 May 2003.
Dalam operasi ini, sekelompok Mujahidin menyerang kompleks pasukan Salib di wilayah timur Riyadh dalam sebuah operasi yang penuh kekuatan. Beberapa perkantoran Amerika menjadi target, terutama tiga kompleks Amerika.
Pertama adalah kompleks intelejen Amerika Vinyl Company, salah satu kompleks terbesar dan terahasia di dunia. Kedua adalah Al-Hamra, sebuah komplek perumahan di Gharnatah (Seville). Ketiga, adalah komplek The Jadawil.
Operasi ini mengakibatkan kerugian besar pada pasukan Salib, Alhamdulillah, dan mengacaukan perkantoran-perkantoran Amerika. Dalam operasinya, Mujahidin mengingatkan Amerika agar jangan pernah bermimpi untuk dapat merasa aman hingga kaum Muslimin dapat hidup dalam keamanan di Palestina dan hingga seluruh pasukan Salib keluar meninggalkan jazirah Arab Muhammad saw.
Operasi Badar Riyadh adalah sebuah mata rantai dari rangkaian panjang perang melawan pasukan Salib yang telah ditetapkan oleh jihad global, Mujahidin Al-Qa’idah, di Afghanistan, Iraq, dan tempat-tempat lainnya. Mujahidin telah membawa keluar operasi-operasi yang signifikan melawan kepentingan-kepentingan Amerika di mana pun mereka berada.
Keluarkan Musyrikin Dari Jazirah Arab
“Keluarkanlah orang-orang musyrik dari jazirah Arab.” (Muttafaq ‘Alaih). Hadits inilah yang menjadi landasan dan “harga mati” sikap kaum muslimin terhadap kaum kuffar Amerika.
Syaikh Usamah dalam Taujih Manhajiahnya mengutip Imam Hamud bin ‘Uqlaa asy-syu’aibi-seorang ulama mujahid-yang mengatakan: “Para ulama’ dan fuqaha’ yang diterima pendapatnya menyatakan; bahwasanya orang-orang yahudi, nasrani dan musyrik tidak boleh bertempat tinggal di jazirah Arab, baik untuk selamanya atau sementara, kecuali ada sebagian ulama’ yang membolehkannya selama tiga hari kalau ada dharuroh (darurat).
Dan tidaklah diperkenankan orang muslim mengizinkan mereka untuk masuk dan tinggal di dalamnya berlandaskan hadits-hadits shohih dari nabi shollAllahu ‘alaihi wasallam dan atsar-atsar yang diriwayatkan dengan benar dari para sahabat. (Al-qoulul mukhtar fii hukmil isti’anah bil kuffar/ Fashl hukmu iqomatul yahud wan nashoro wal musyrikin fil jazirotil harobiyyah).
Sementara itu, Syaikh Bakar Abu Zaid mengatakan: “Batas Jazirah Arab baratnya adalah laut Qalzum, dan Al Qalzum itu adalah nama sebuah kota yang berada di ujung utara laut itu, laut itu terkenal dengan nama laut Merah, dan sebelah selatan laut Arab, dan juga disebut laut Yaman, dan sebelah timur teluk Basra (teluk Arab), tiga laut ini yang disepakati oleh para muhaditsin, fuqaha’, ahli sejarah, ahli geografi dan yang lain. Sedangkan batas sebelah utara adalah pantai timur dari laut Merah sampai ujung timur dari ujung-ujung Syam – sekarang Yordan – dan sebagian dari wilayah Irak, dan batas tidaklah masuk dalam wilayah. (Khashaisul jaziratul arabiyah)
Saat ini, jumlah pangkalan militer Amerika di dunia adalah yang terbanyak. Jumlah pangkalan dan markas militer AS di seluruh dunia mencapai 300 pangkalan, tersebar di 30 negara untuk menjamin kepentingan-kepentingan Amerika.
Sampai tahun 1975 M, jumlah tentara Amerika di seluruh pangkalan militer di 30 negara ini mencapai 504.000 personal. Untuk kawasan Eropa dan NATO saja, sebanyak 250.000 sampai 300.000 tentara Amerika ditempatkan di Eropa Barat, ditambah Armada AL Amerika Kedua di Samudra Atlantik, Armada AL Amerika Keenam di laut Mediterania dan 7000 rudal dengan hulu ledak nuklir. Pada tahun tersebut, sebanyak 41.000 personal telah ditarik ke negara Amerika, sehingga tersisa 463.000 personal.
Pasca perang Teluk Kedua 1991, Menteri Pertahanan Amerika, Colin Powel, menegaskan, AS akan menutup 150 pangkalan militernya yang telah bertahan selama 45 tahun di Eropa, dan memindahkannya ke pangkalan-pangkalan militer rahasia dan baru di Kuwait, Qatar, Saudi, Oman, Bahrain dan Uni Emirat Arab.
Selanjutnya, menurut seorang pejabat Amerika yang dikutip kantor berita AP, saat ini ada sekitar 5.000 serdadu Amerika yang diposkan di Arab Saudi dan kebanyakan mereka ditempatkan dekat Riyadh. Kerjasama militer Amerika dan Arab Saudi sudah menjadi kebutuhan kedua belah pihak dan akan berlanjut terus terutama dalam masalah pelatihan dan impor peranti keras. Saat ini, di Pangkalan Udara Prince Sultan, Saudi Arabia terdapat sekitar 100 pesawat tempur.
Majalah Washington Post edisi jum’at 28/9/2001 memuat pernyataan penguasa Amerika, bahwa pemerintah Saudi telah memutuskan untuk mengijinkan (setelah mendapat restu dari para ulama kaki tangan penguasa) tentara Amerika yang bertebaran di dalam negaranya –termasuk angkatan udara- untuk bekerja sama dalam memerangi umat Islam di Afghanistan, dan majalah itu menunjukkan bahwasanya kementrian pertahanan Amerika telah kosong lantaran sikap ini dengan pertimbangan memindahkan markas komandonya ke negara teluk yang lain.
Sebagaimana menteri luar negeri kerajaan Saudi Al-Faishol menyatakan pada hari Rabu 26/9/2001, bahwa negaranya akan melaksanakan kewajibannya dan bahwasanya ‘perang melawan teroris’ ini harus tidak terbatas pada penangkapan pelaku-pelaku peledakan, akan tetapi mencakup juga jaringan-jaringan bawah tanah yang membantu para teroris.
Sebenarnya, hubungan kerja sama antara Amerika dan Arab Saudi sudah terjadi bahkan sebelum Operasi Badai Gurun dalam Perang Teluk 1991 (yang membebaskan Kuwait dari pendudukan Irak) dan terus berlangsung setelah perang dengan Irak.
Mantan presiden Amerika, Richard M. Nixon dalam memoarnya menulis: “Untuk pertama kalinya, eksistensi militer AS secara besar-besaran di kawasan ini terjadi pada pertengahan 1367 H/1948 M, melalui Doktrin Truman, yang memberi mandat pembentukan divisi pasukan khusus keenam, yang semula mengendalikan armada AL Amerika Keenam.
Segera setelah keluarnya mandat itu, pesawat-pesawat tempur Amerika mulai mempergunakan pangkalan-pangkalan Libya, Turki dan Arab Saudi melalui perjanjian peminjaman dan penyewaan. Presiden Rosevelt telah memasukkan kerajaan Arab Saudi ke dalam undang-undang ini, sebagai bukti itikad baik Amerika kepada kerajaan Arab Saudi.”
Arab Saudi kembali membuka wilayahnya untuk pasukan kuffar Salib pada tahun 1990, ketika lebih dari 500 ribu serdadu Amerika datang ke jazirah Arab tersebut. Jumlah ini menambah puluhan ribu serdadu Inggris, dan Prancis, yang sudah lebih dulu datang sebagai reaksi terhadap invasi Irak ke Kuwait.
Setelah Kuwait dibebaskan dalam Operasi Badai Gurun, Amerika tetap mempertahankan beberapa ribu serdadu angkatan udaranya dan belasan pesawat tempur untuk membuat zona larangan terbang di atas Irak.
Sejak itu, pemerintahan kafir Washington mulai membangun pusat komando udara di tempat itu, dan menghabiskan dana senilai US$ 45 juta demi menjadikannya sebagai pusat komando operasi udara canggih, yang mengkoordinasi serangan udara ke Irak dan Afganistan pada akhir 2001.
Al-Qa’idah dan Upaya Membendung Pasukan Salib
Tidak ada asap kalau tidak ada api. Kehadiran Al-Qa’idah di Jazirah Arab sedikit banyak dipicu oleh keberadaan pasukan kuffar Amerika yang memanfaatkan berbagai momen di negeri tersebut.
Namun hakikatnya tetaplah sama, yakni kelanjutan dari perang Salib, untuk memusnahkan kaum Muslimin. Hal ini dipertegas oleh pimpinan perang Salib itu sendiri, Bush. Presiden Amerika itu tidak mampu menyembunyikan keyakinannya, bahwa perang ini adalah perang Salib.
Dalam sebuah konfrensi pers yang kemudian dimuat dalam majalah National Review yang dilaksanakan pada hari Ahad 16/9/2001, bertepatan dengan 28/6/1422 dia mengatakan: “This crusade, this war on terrorism, is going to take a long time”. (Ini adalah perang Salib, perang melawan teroris ini akan memakan waktu yang lama).
Dan ucapannya: “Sekarang bukan waktunya untuk mencari tempat-tempat persembunyian para pelaku operasi-operasi teroris, yang bertanggung jawab terhadap semua operasi ini dan mereka adalah setiap orang yang tersenyum ketika mendengar serangan terhadap New York dan Wasingthon… kita harus menyerang mereka di negara-negara mereka dan membunuh para pemimpin mereka dan memaksa mereka masuk agama kristen!”
(Haqiqutul harbis sholibiyah al-jadidah, Syaikh Yusuf Al Uyayri)
Abdel Bari Atwan dalam bukunya The Secret History of Al-Qa’idah menjelaskan bahwa sejak bulan Mei 2003, Al-Qa’idah telah menetapkan untuk memperluas jaringan kerja mereka, yakni mengaktifkan Al-Qa’idah di Jazirah Arab. Keberadaan Al-Qa’idah di Jazirah Arab adalah untuk mengkritisi pemerintahan Saudi Arabia, terutama kebijakannya memperbolehkan kehadiran pasukan asing di tanah suci dan juga konsentrasi terhadap target-target asing.
Sebenarnya, di Saudi Arabia terdapat dua pihak yang menginginkan terjadinya perubahan terhadap rezim Saudi. Pertama adalah oposisi liberal dari kalangan mereka yang kembali setelah mengalami pendidikan di universitas-universitas Amerika dan Eropa (20 tahun sejak akhir tahun 1960-an, di saat Saudi Arabia mengalami masa kejayaan minyaknya). Lebih dari sekitar 17.000 orang Saudi yang telah belajar di universitas-universitas tersebut.
Ketika mereka kembali ke negara asal mereka, mereka menemukan bahwa rezim Saudi sangatlah totaliter, dan mereka mulai mengajak kepada reformasi politik dan demokrasi. Kelompok oposisi liberal ini mengupayakan perubahan dengan melakukan petisi, mengirim surat, serta menulis artikel-artikel.
Kelompok oposisi yang lain adalah Jihadis, yakni para Mujahid, dimana mereka menuntut perubahan dengan senjata, yakni menjadikan jihad sebagai satu-satunya solusi bagi krisis pemerintahan di Saudi Arabia.
Setelah mereka kembali dari jihad yang telah mereka lakukan melawan kuffar Uni Soviet, mereka biasa disebut dengan julukan Afghan Arab Fighters (Pejuang-Pejuang Arab di Afghan). Berbeda dengan tuntutan-tuntutan dari kelompok oposisi liberal Saudi Arabia, kelompok jihadis ini menginginkan perubahan berdasarkan syariat Islam dan meminta agar syari’at Islam diterapkan secara kaafah, yang mana saat ini rezim Saudi dan para ulama pembela mereka belumlah melaksanakannya. Mereka juga menghendaki hilangnya seluruh simbol-simbol dan tren Barat, personal dan elemen-elemen mereka dari ‘The Land of the Two Holy Places’ Haramain atau dua tanah suci, yakni Mekkah dan Madinah.
Dengan latar belakang ini menjadi jelas mengapa terjadi serangan-serangan secara intens terhadap target-target Amerika, terutama kompleks-kompleks di mana tinggal pasukan kuffar Amerika, maupun para ekspatriat yang juga merupakan warga negara kafir Amerika.
Di bulan Juni 1996, sebuah bom dalam truk besar meledak di barak militer Dahran, yang menewaskan 19 orang prajurit Angkatan Udara Amerika dan melukai lebih dari 370 lainnya. Setahun sebelumnya, aksi syahid dilakukan di fasilitas militer Amerika di Ibu Kota Riyadh yang menewaskan beberapa orang. Militer Amerika lantas memindahkan operasinya ke Pangkalan Udara Prince Sultan di Gurun Kharj, sekitar 80 kilometer di sebelah selatan Riyadh.
Setelah itu terjadi peristiwa peledakan di Al Khobar, 1995, dan Operasi Badar Riyadh, 12 Mei 2004, di wilayah Timur Riyadh.
Sejak awal, kehadiran pasukan Amerika di Haramain (dua kota suci), Mekkah dan Madinah, telah meningkatkan sentimen anti-Amerika dan protes agama di seluruh dunia. Sejumlah pejabat Arab Saudi bahkan mengatakan, kehadiran militer Amerika di wilayah itu telah menjadi kesulitan politik baik secara domestik maupun di dunia Arab lainnya.
Sedari awal Syaikh Usamah bin Ladin sudah memperingatkan bahaya kehadiran pasukan kafir Amerika di Jazirah Arab. Bahkan beliau pernah menawarkan para Mujahid yang tergabung dalam Afghan Arab untuk berada di front terdepan menghadap pasukan Irak yang hendak melakukan invasi ke Kuwait pada saat itu.
Namun niat baik Syaikh Usamah itu ditolak mentah-mentah rezim Saudi dan bahkan Syaikh Usamah dianggap telah berkhianat kepada kerajaan. Sejak saat itulah Syaikh Usamah mengambil sikap berseberangan dengan rezim Saudi dan secara konsisten membongkar tipu daya dan muslihat yang dilakukan oleh rezim Saudi.
Syaikh Usamah memberikan porsi yang sangat besar untuk menjelaskan kejahatan dan pengkhianatan pemerintah Arab Saudi dan rezim-rezim di dunia Islam lainnya. Dengan adanya kecaman-kecaman pedas Syaikh Usamah terhadap rezim Saudi dapat dipahami betapa jengkel dan marahnya pemerintah Saudi, sehingga akhirnya mau bekerja sama dengan kafir Amerika, berwala kepada mereka untuk memburunya.
Beberapa pengkhianatan yang dilakukan rezim Saudi menurut Syaikh Usamah adalah:
1. Mengizinkan penempatan tentara Amerika di Saudi. Dikatakan Syaikh Usamah, “Tanah ini sekarang dipenuhi tentara Amerika dan sekutu-sekutu mereka. Rezim yang berkuasa tidak mampu lagi memerintah tanpa dukungan dan bantuan mereka. Rezim ini telah mengkhianati umat Islam dan mendukung orang kafir, membantu mereka menghadapi umat Islam.”
Dengan membuka jazirah Arab bagi orang-orang kafir, maka rezim ini telah bertindak menentang sabda Nabi Muhammad saw., “Usirlah orang-orang musyrik dari Jazirah Arab.” (HR Bukhari). Juga sabda beliau saw., “Jika aku hidup lebih lama lagi, Insya Allah aku akan mengusir orang-orang Yahudi dan Nasrani dari Jazirah Arab.” (Al-Jami’ush-Shagir, hadits sahih).
Dengan mengizinkan bercokolnya tentara Amerika di Tanah Suci, menurut Syaikh Usamah, maka sama saja, Raja Arab Saudi telah mengalungkan Salib di dadanya sendiri. “Tanah dan negeri ini sekarang terbuka bagi orang-orang kafir dari Utara sampai Selatan dan dari Timur sampai ke Barat.”
Syaikh Usamah juga membantah peryataan pemerintah Saudi bahwa keberadaan tentara Amerika di sana adalah bersifat sementara untuk melindungi kedua tempat suci umat Islam. Sudah sekian tahun tentara Amerika tetap bercokol di Saudi. Apalagi pemerintah Saudi juga menolak menggantikan tentara Amerika dengan tentara Islam.
Padahal, setelah terjadinya peristiwa peledakan di Al Khobar, 1995, Menteri Pertahanan Amerika William Pery menyatakan, “Kehadiran tentara Amerika adalah untuk menjaga kepentingan Amerika.”
2. Penahanan terhadap sejumlah ulama dan intelektual seperti Syaikh Salman Audah dan Syaikh Safar al-Hawalli yang menentang keras kehadiran pasukan Amerika di Saudi Arabia.
Hawali menulis sebuah buku yang memaparkan sejumlah bukti bahwa kehadiran tentara Amerika di Jazirah Arab adalah sebuah rencana pendahuluan untuk melakukan pendudukan militer.
Bahkan, ia juga mengungkap pengkhianatan Raja Abdul Aziz dalam menyerahkan Al-Aqsha kepada kaum kafir. Pada tahun 1936, para Mujahidin Palestina memulai perjuangan jihad terhadap Inggris. Karena kewalahan, Inggris meminta Raja Abdul Aziz agar melobi para Mujahidin Palestina untuk menghentikan jihad mereka.
Melalui dua anaknya, Abdul Aziz memberikan jaminan kepada para Mujahidin bahwa Inggris akan memenuhi tuntutan mereka untuk meninggalkan wilayah Palestna. “Demikianlah, Raja Abdul Aziz menyerahkan kiblat pertama umat Islam, Masjidil Aqsha, kepada musuh,” kata Syaikh Usamah mengutip pendapat al-Hawalli.
Bisa dibayangkan, dengan pernyataan Syaikh Usamah yang demikian, tentu akan merahlah telinga Raja Fahd, yang menyebut dirinya sebagai “Pelayan Dua Tempat Suci” (Khadimul Haramain).
Namun, Syaikh Usamah memandang pengkhianatan rezim ini berdampak sangat buruk terhadap nasib umat Islam. Merekalah yang – demi mempertahankan kekuasaannya – rela melindungi kepentingan-kepentingan penjajah kafir. “Rezim ini harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap apa yang telah terjadi selama ini, yaitu berkuasanya Amerika di kedua Tanah Suci,” tegas Syaikh Usamah.
Syaikh Usamah tidak merasa telah berkhianat kepada sang Raja. “Saya tidak pernah berkhianat kepada Raja. Tetapi Raja sendiri yang berkhianat kepada Ka’bah, kiblat kami. Raja telah menyerahkan Tanah Suci ini dikotori oleh najis orang-orang kafir.”
Bayangkan, Rezim Saudi telah membagi-bagi kekayaannya yang merupakan hasil minyak untuk membiayai perang Afghan mencapai $ 20 billion. Bahkan semua pembiayaan tentara Amerika di Jazirah dibebankan kepada negara-negara Arab. Seperti diketahui bersama, lebih dari 60% cadangan minyak dunia berada di Arab Saudi dan Jazirah Arab. Namun sayang sekali kekayaan yang begitu besar ini dinikmati oleh musuh-musuh Allah.
Dalam satu hari, Arab Saudi mampu mengeluarkan minyak sejumlah 6-8 juta Barel. Padahal harga minyak terus melambung tinggi. Sayangnya, pendapatan negara ini tak bisa dinikmati oleh umat Islam sepenuhnya, karena beban kerajaan sangat besar, yakni untuk menggaji tentara Amerika yang konon satu bulannya bisa mencapai $ 10.000.
Ini baru untuk membiayai tentara saja. Belum lagi ketika markas militer mereka di Dhahran dan Al Khabar dibom. Seluruh biaya pembangunan ulang ditanggung oleh pihak kerajaan. Tak heran bila sudah sejak beberapa tahun yang lalu (1997), kerajaan Saudi sampai berhutang sebanyak 340 miliar riyal Saudi kepada Uni Emirat Arab. Ironis!
Ke mana dana minyak ini dimanfaatkan militer Amerika Serikat? Lebih ironis lagi, yakni untuk mengembargo Irak. Akibatnya: 1,5 juta umat Islam Irak meninggal karena kekurangan bahan makanan dan obat-obatan. Ini belum terhitung 400.000 nyawa umat Islam Irak yang meninggal karena gempuran Amerika dan sekutunya dalam perang Teluk serta ditambah dengan perang yang terjadi saat ini.
Lalu untuk membantu Israel mengokohkan eksistensinya di Palestina. Setiap sumbangan Amerika ke Israel akan diwujudkan Israel dalam bentuk peluru untuk membunuh umat Islam Palestina yang berjihad membebaskan kiblat pertama umat Islam tersebut.
Selain itu untuk membunuh umat Islam di Afghanistan dan menghancurkan pabrik obat umat Islam di Sudan. Membantu tentara Salib Filipina membantai umat Islam Moro. Membiayai seluruh gerakan kristenisasi di seluruh penjuru dunia.
Jadi betapa jelas peranan rezim Saudi dalam membantu perang Salib global yang dilancarkan Amerika dan sekutu-sekutunya. Dan kehadiran Al Qa’idah dengan serangan-serangannya yang intensif di Jazirah Arabia semata-mata hanyalah untuk membebaskan dan membersihkan dua kota suci, Mekkah dan Madinah dari najis-najis kafir Amerika dan yang lainnya. Allahu Akbar.
Khatimah
Syaikh Yusuf al-Uya’iri rahimahullah, salah seorang pimpinan Al-Qa’idah Jazirah Arab yang syahid di tangan rezim Saudi pernah mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang kafir meskipun memutar balikkan kepada kaum muslimin dan mereka namakan perbuatan mereka dengan nama yang lain dengan keyakinan mereka, namun tetaplah bahwa perubahan nama itu tidak akan mengubah hakikat sesuatu…
Namun Allah menampakkan dan mengeluarkan dari hati mereka permusuhan mereka terhadap orang-orang Islam dan hakikat peperangan mereka terhadap Islam, dan bahwa nama ‘perang melawan teroris’ atau ‘keadilan tanpa batas’ atau ‘memerangi musuh kebebasan’ atau ‘penjahat’ atau ‘musuh kebudayaan’ semua itu hanyalah penutup kedengkian Salib yang tersimpan dan yang memenuhi hati mereka.
Meskipun kedengkian telah memenuhi hati mereka dan satu-satunya kemauan mereka adalah merealisasikan keyakinan mereka sebagaimana yang Allah kabarkan.
Amerika telah mencoba pada tiga puluhan tahun yang lalu untuk merealisasikan tujuannya setelah peperangan pada tanggal 10 Ramadhan atau bertepatan di bulan Oktober 1973, ketika presiden Nixon menantang di hadapan para pemimpin mereka untuk menyerang negeri Haramain, namun ketika itu usahanya gagal atas karunia Allah.
Akan tetapi bersamaan dengan dimulainya perang teluk kedua Amerika membuat kamp-kamp militer yang penting dan membahayakan, yang tersebar di seluruh negeri Haramain, khususnya dekat ibu kota dan bagi mereka tinggal pembagian saja.
Dan pada hari ini menurut mereka waktu pembagian itu telah tiba. Maka hanya kepada Allah saja kita pasrahkan segala urusan dan Allah adalah sebaik-baik tempat bersandar.
Syaikh Usamah berpesan kepada kita semua, kaum muslimin untuk menghadapi kaum kuffar Amerika:
“Wahai manusia janganlah kalian anggap besar mereka, janganlah kalian anggap besar Amerika dan bala tentaranya, sungguh demi Allah kami telah memukul mereka berkali-kali dan mereka kalah berulang-kali dan mereka adalah orang yang paling pengecut ketika bertemu musuh.”
“Dan telah nyata dalam peperangan dan perlawanan kami melawan Amerika bahwasanya mereka dalam peperangan selalu mengandalkan menyerang mental, karena melihat alat-alat propaganda begitu besar yang mereka miliki, dan begitu juga mereka mengandalkan bombardir dari udara menyembunyikan titik kelemahan mereka yaitu takut dan pengecut serta hilangnya ruh untuk berperang pada tentara Amerika.”
Wallahu’alam bis shawab!
29 Januari 2008
By: M. Fachry
International Jihad Analysis
Ar Rahmah Media Network
The State of Islamic Media